- Back to Home »
- Jurnalistik »
- Sudah Miskin Bertamah Miskin
Posted by : secawan kopi tubruk
Rabu, 15 Mei 2013
Negara semakin
menyengsarakan rakyat dengan penghapusan subsidi publik demi kepentingan
korporasi asing.
Seorang wanita
lansia sedang duduk terkantuk-kantuk sembari menjaga barang jualannya. Wanita
lansia itu bernama Amini. Dia merupakan salah satu pedagang di pasar kecil di
daerah Cipinang Muara. Masyarakat sekitar biasa menyebutnya pasar deprok atau
pasar impres.
Amini
terkantuk-kantuk karena daganganya sepi pembeli. Tak hanya satu dua hari.
Namun, sudah seminggu ini dagangnya kurang laku dijual. “Saya ngga tahu ya,
kenapa semakin lama semakin sepi aja dagang. Apalagi saat ada kabar BBM mau
naik,” keluh Amini.
Sudah menjadi
rahasia umum jika harga BBM naik maka harga kebutuhan pokok naik. Dia
menghawatirkan dampak setelah harga kebutuhan pokok terdongkrak akan berakibat
pada sepinya pembeli. “Biasanya saja,
saya cuma dapat 20 ribu sehari. Uang segitu bikin bingung buat ngurus rumah,” ujar
wanita berumur 56 tahun itu.
Tidak jauh dari
kios Amini, terlihat seorang seorang laki-laki sedang melayani pembeli.
Laki-laki itu bernama Daryanto. Disampingnya berdiri istrinya sedang mengendong
anak keenam mereka.
Daryanto merasa
semakin sulit saja kehidupannya rumah tangganya jika kenaikan BBM. “Sebelum BBM
naik aja hidup kami udah kaya gini. Mana pernah kami makan ayam kalau bukan
lebaran,” ujarnya.
Namun, yang
dikeluhkan Daryanto bukan hanya dampaka kenaikan BBM. Dia juga memikirkan
pendidikan keenam anaknya nanti. “Anak saya yang pertama baru masuk SMA.
Biayanya lima juta. Itu aja udah dapat keringanan dan boleh dicicil. Jangan
mikir bisa kuliah dah,” ucapya sembari mengambil anaknya.
Untuk memenuhi
kebutuhan hidup rumah tangganya, Daryanto memang hanya mengandalkan dari penjualan
buah. Istrinya hanya ibu rumah tangga. Padahal keduanya pernah mengeyam bangku
kuliah. “Abis kena PHK krisis 98, saya ngga dapet kerja kantor. Susah nyari
lowongan, padahal saya punya ijazah kuliah,” laki-laki berumur 38 tahun itu
bercerita. Rupanya, kemajuan ekonomi pasca krisis 1998 yang digadang-gadang
pemerintah bukan untuk rakyat kecil seperti Daryanto.
Berharap pada BLT
sebagai kompensasi kenaikan BBM, bagi Daryanto hal itu hanya sia-sia belaka.
Seringnya berpindah rumah kontrakan mungkin menjadi salah satu penyebab dia
tidak mendapat BLT. “Teman sepengajian saya yang sama-sama sulit juga ngga
dapet, padahal dia jarang pindah-pindah kontrakkan.”
Daryanto
menceritakan bahwa temannya juga hidup susah. Teman sepengajiannya memiliki
empat orang anak dan pendapatan keluarganya hanya berasal dari komisi penjualan
batubara. Istrinya juga hanya menjadi ibu rumah tangga. “Tuh BLT ngga merata
kan. Lagi pula, kita kok jadi kaya orang ngemis,” tuturnya sambil tertawa.
Masih dalam tempat
yang sama. Di kios yang tak jauh dari Daryanto, terlihat ada keributan kecil.
Seorang laki-laki bertubuh pendek berkemeja biru bersama seorang laki-laki
bertubuh besar berkaos merah membawa beberapa barang dari sebuah kios. Kios itu
milik Darno.
Darno merupakan
wanita lansia yang umurnya tak jauh berbeda dari Amini, sekitar 50 tahun.
Rupanya, kedua pria itu adalah rentenir. Orang-orang pasar biasa menyebutnya bank
keliling. Pada rentenir itu, Darno meminjam uang.
Bulan Oktober 2011,
Darno meminjam uang sebesar lima juta rupiah dengan tempo pelunasan bulan
febuari lalu. Akibat sudah melewati batas waktu pembayaran belum lunas,
beberapa barang dagangan Darno disita pemilik dana. Seperti kunyit,
krupuk,bawang merah, kentang. Padahal, disitulah sumber pendapatan darno.
Amini yang melihat
kejadian itu turut berkomentar, “bank keliling yang itu memang kejam. Kalau
belum bayar dagangan kita langsung disita, ngga mikir kalau kita susah bayar
karena susah cari uang.”
Dalam pasar itu,
Darno memang dikenal banyak meminjam kebeberapa bank keliling untuk mengatasi
ketiadaan modal dagang. Namun, kali ini dia meminjam dalam jumlah besar untuk
membiayai rumah sakit anaknya yang dirawat karena terkena DBD.
Amini, Daryanto,
dan Darno merupakan mata rantai terakhir dalam jalur perdagangan komoditas
pangan, pedagang pengecer, sebelum sampai kekonsumen. Mereka hanya gambaran
sekelumit nasip rakyat kecil dalam satu tempat saja.
Mereka
termajinalkan karena sulitnya akses pendidikan murah, kesehatan murah, dan
naiknya harga BBM. Padahal semua itu
merupakan tanggung jawab negara untuk mensubdisi sektor publik. Dalihnya negara
tidak punya sumber pendapatan untuk pembiayaan sektor publik.
Tidak benar jika
negara tidak mempunyai sumber pendapatan untuk mensubsidi sektor publik. Indonesia
merupakan negara adengan sumber daya alam berlimpah (SDA). Sayngnya, keuntungan
dari hasil eksplorasi SDA tidak sepenuhnya masuk ke APBN. Keuntungan itu justru
lebih banyak diambil perusahaan penggarap SDA.
Sebagai contoh,
keuntungan bersih PT
Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua, setiap tahun
dapat mencapai 70 triliyun rupiah. Namun, total
kontribusi Freeport hingga Juni 2011 ke negara hanya sebesar 12,8 miliar. Jumlah tersebut
terdiri atas royalti USD 1,3 miliar, deviden USD 1,2 miliar, PPh badan USD 7,9
miliar, PPH karyawan dan pajak lainnya USD 2,4 miliar.
Artinya SDA
indonesia dikeruk hanya untuk kepentingan pihak swasta asing. Itu baru Freeport. Sudah banyak
sekali Perusahaan Trans Nasional Corporation (TNC) yang menancapkan
kepentingannya di Indonesia. Contohnya Chevron, Exxon Mobil, Total E&P
Indonesie, dll.
Sealin itu, faktor
menghilangnya anggaran subsidi publik karena APBN juga dibebani dengan angsuran
pembayaran hutang luar negeri. Anggran untuk pembayaran hutang luar negeri ini
yang sebetulnya menguras APBN. Angaran membayar angsuran pokok hutang dan
bungan hutang dalam dari APBN 2011 tercatat Rp267,509 triliyun. Jauh lebih
besar dari subsidi untuk BBM yang harga sebesar Rp178,62 triliun, perhitungan subsidi tanpa kenaikan harga BBM.
Sebagai kompensasi
kenaikan BBM satu April mendatang, pemerintah menelurkan progam BLT yang
berganti nama menjadi Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Pemerintah menganggarkan dana BLSM
sekitar Rp 25 triliun untuk 18 juta penduduk miskin. Padahal
penduduk miskin Indonesia mencapai 36,8 juta. Oleh karena itu, BLSM sangat
tidak efektif dan merata. Belum lagi BLSM hanya menciptakan mental rakyat menjadi
pengemis.