- Back to Home »
- Essai »
- Ramayana, Terus Bermetamorfosis dan Bermimikri
Posted by : secawan kopi tubruk
Rabu, 15 Oktober 2014
Ramayana, Terus Bermetamorfosis dan Bermimikri
Oleh : Citra Nuraini
“Jika epik Ramayana tak bermetamorfosis dan tak
bermimikri, akankah epik ini terus bertahan?”
Dalam perkembangan kebudayaan dunia, epik Ramayanan merupakan
salah satu karya yang paling banyak memiliki varian dan versi. Epik ini mulanya
berasal dari sastra lisan India kemudian di tuliskan untuk pertama kali
oleh Valmiki dua puluh empat abad yang lalu (tepatnya sekitar abad ke-4 SM)
dalam bahasa sansekerta.
Ramayana versi asli yang ditulis oleh Valmiki dalam perkembangannya, banyak mengalami gubahan ke dalam
berbagai versi[1]. Dalam kepustakaan zaman
Sansekerta, misalnya, ada buah karya Raghuvamsha (Kalisada), Setubanda
(Pravasasena), Janakiharana (Kumarasada), Uttaramacarita (Bhavabuti),
Prasannaraghava (Joyadeva), serta Anargharaghava (Nurari). Malah, saat bahasa
India mengalami perkembangan, kisah Ramayana pun kian masyhur dengan
buah karya semisal Kumban Ramayana (dalam bahasa Tamil), Ranganata
Ramayana (bahasa Telegu), Krittivasa (bahasa Bengali), Balaramdasa
Ramayana (bahasa Oriya), Ramacaritamanasa (bahasa Hindi), Adhyatma
Ramayana (bahasa Malayalam), Tovare Ramayana (bahasa Kanari) dan Bhavaratha
Ramayana (bahasa Marathi).
Di india
sendiri, karya ini mengalami penulisan ulang. Tahun 1981, Penulis
India P. Lal menerjemahkan Ramayana dari tulisan asli Walmiki dalam
bahasa Sansekerta
ke dalam bahasa Inggris, dengan judul The Ramayana of Valmiki. P Lal mencoba
menyingkat karya asli Walmiki menjadi sepertiganya, tetapi dia tidak
memperluas, mengadaptasi, menafsirkan. Namun, yang ia lakukan hanyalah
memperpendek dengan jalan menyunting dengan taat mengikuti naskah Sansekerta
asli. Ramayana of Valmiki kemudian
diterjemahkan kembali ke bahasa Indonesia oleh Djokolelono tahun 1995.
Epik ini masuk ke Indonesia bersama dengan masuknya agama
Hindu ke nusantara. Cerita Ramayana di Indonesia berkembang pada abad
ke-9 M hingga masa kerajaan Majapahit. Pada masa awal, cerita Ramayana terdapat dalam relief di Candi
Prambanan. Namun, relief
ini tidak bisa dipisahkan dari upacara keagamaan. Akan
tetapi, cerita tersebut tidak lengkap hanya memuat bagian kelima dari buku
Valmiki yaitu Sundara Kanda.
Kisah ini di nusantara
juga mengalami banyak adaptasi. Dalam khazanah sastra Jawa, Ramayana awalnya di sajikan dalam bentuk Kakawin Ramayana, dan
gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua
berdasarkan kakawin. Terdapat tiga varian
cerita yaitu Kakawin Ramayana,
Carit Ramayana, dan Serat Kanda. Di Serat
Kanda, kisah Ramayana diadaptasi oleh kaum muslim di
Jawa. Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan Kakawin Ramayana dalam
bahasa Jawa kuna. Hikayat Sri Rama ditemukan di Semenanjung Malaya dan Sumatra.
Cerita ini memiliki kesamaan dengan Serat
Kanda.
Akhirnya, epik Ramayana tidak hanya mengadopsi konsep-konsep
agama hindu. Kisah ini pun mulai mengadopsi konsep – konsep Islam. Bahkan,
dalam satu teks bisa ditemukan percampuran antara konsep hindu dan islam. Karya-karya
ini pun semakin jauh dari versi yang ditulis Valmiki.
Perkembangan selanjutnya dalam
kesusastraan Indonesia terkini dalam
penciptaan karya-karya lain yang menjadikan Epik Ramayana sebagai sumbernya, diantara lainnya adalah Anak
Bajang Menggiring Angin, karya Shindunata (1983), Kitab Omong Kosong, Karya
Seno Gumira Ajidarma (2004), Ramayana
karya Purwadi (2004) dan Rahuvana Tattwa, karya Agus Sunyoto (2006).
Namun, novel-novel ini tidak lagi bertahan dengan pakem
kisah. Bahkan kisahnya
sendiri digugat dan didekonstruksi. Lebih jauh
beberapa novel ini merupakan gugatan dan dekonstruksi kisah Ramayana. Rahuvana Tattwa, Agus Sunyoto
menggunakan perspektif dekonstruksi ras Rahuvana (Rahwana) dalam citra ras yang
lain. Seno Gumira Ajidarma dalam Kitab Omong Kosong yang
mengisahkan Ramayana dalam perspektif pertentangan kelas dengan
memunculkan tokoh Satya dan Maneka sebagai tokoh baru yang tertindas akibat
persembahan kuda yang dilakukan oleh Rama.
Bukan
hanya dari sastra ke sastra bentuk-bentuk alih wahana Ramayana. Di nusantara
pementasan wayang banyak mengadaptasi dari kisah Ramayana. Dalam wayang kulit
dan wayang golek naskah akan bergantung pada sang dalang. para dalang ini
berperan dalam mengubah cerita Ramayana ke dalam bentuk naskah pedalangan. Naskah
pedalangan satu dengan lainnya tentu berbeda. Uniknya, naskah pedalangan ini ditulis
sesudah cerita dipentaskan. Dinilah muncul para punakawan dalam kisah
Ramayanana maupun Mahabarata. Mereka ialah Semar, Gareng, Petruk, Togog. Sehingga
punakawan ini merupakan tokoh-tokoh yang hanya muncul dalam kisah Ramayana
versi Indonesia. Melalui mediun wayang yang dipentaskan, kisah Ramayana
mengalami alih wahana kembali. Sehingga pola trasformsinya: lisan – tulisan –
lisan – tulisan.
Dalam
seni pertunjukan kisah ini telah banyak diadaptasi. Misalnya dalam bentuk
teater dan pertunjukan musikal yang pernah ditayangkan di sebuah stasiun TV
swasta. Karya ini pun telah diangkat ke layar lebar oleh sutradara Garin
Nugroho dengan judul film Opera Jawa. Film Opera Jawa ini mengangkat mengambil
alur cerita Ramayanan tapi dalam suasana dan setting cerita di Indonesia masa
kini.
Sejak
tahun 1960-an di pelataran salah satu candi di Prambanan menyajikan sendratari
Ramayana. Mulanya bentuknya sangat sederhana. Sendratari ini masih bertahan
hingga kini. Kemudian berkembang lebih modern dengan tata kostum, tat arias,
tata panggung yang lebih baik. Pementasan sendratari ini pernah di tampilkan di
salah satu stasiun TV swasta.
Baik
baik dalam bentuk sastra dan wayang, masyarakat yang disasar merupakan
masyarakat dengan usia remaja hingga dewasa. Akhirnya, cerita pun beradaptasi
untuk menarik minat anak-anak. Kisah Ramayana telah bisa diceritakan untuk
anak-anak dengan dialih wahanakan dalam bentuk komik. Di Indonesia kisah
ramayanan di tuangkan dalam bentuk komik pertama kali oleh R. A. Kosasih.
Kosasih menyususn komiknya masih dengan tetap berpedoman pada alur cerita asli
Ramayana. Komik kosaih ini masih
merupakan murni hasil dari gambar tangan.
Lalu muncul komik ramayanan tahun 2000an. Bedanya komik ini menggunakan
teknologi desain yang lebih canggih, bukan lagi hasil dari gambar tangan
semata. Kisahnya sudah mengalami sedikit perubahan. Salah satunya komik yang
diterbitkan oleh Cavaran Studio pada 2011 yang ditulis oleh Andik Prayogo dan
dilukis oleh M. Handoko.
Alih wahana dalam kebudayaan
Menurut
Sapardi Djoko Damono (2012) Alih wahana adalah perubahan dari satu
jenis kesenian ke kesenian lain. Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan
dari satu bahasa ke bahasa lain, tapi juga bisa dari satu kesenian ke kesenian
lain.
Perubahan tersebut didasari bahwa dalam pengalihwahanaan
suatu karya perlu adaptasi dari wahana aslinya ke wahana yang baru. Perpindahan
wahana (media) mencakup empat modalitas (Lars Ellestrom 2010: 15), yakni
modalitas materi, modalitas panca indera, modalitas ruang temporal, dan
modalitas semiotik. Lars Ellestrom dalam tulisannya The Modalities of Media: A Model
For Understanding Intermedial Relation (2010)
menyatakan bahwa “Media
dan bentuk seni yang terus-menerus digambarkan dan didefinisikan berdasarkan
satu atau lebih dari modalitas. Kategori-kategori dari materialitas, waktu dan
ruang, visual dan auditori, dan tanda alam dan konvensional, telah dibentuk
kembali lagi dan lagi, tetapi mereka cenderung terlibat dalam cara yang
mendasar”. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa dalam perubahan wahana
ada unsur-unsur yang menjadi alasan perubahan-perubahan pada wahana karya yang
baru. Hal tersebut terkait dengan materialitas, fisik, dan segi tanda.
Berbagai
jenis wahana bisa memuat kisah yang sama atau berbeda. Dalam masing-masing
wahana kisah apa pun tunduk pada keluasaan atau keterbatasan masing-masing
wahana. Berbagai perubahan itu terkait
dengan dinamika dalam kebudayaan. (du Gay, Hall, Janes, Mackay, dan Negus (1997).
Dalam hal ini ketika karya itu hadir dalam berbagai bentuk dia akan selalu
terhubung dengan proses produksi, konsumsi, regulasi, repersentasi, dan
identitas. Dalam perkembangan kebudayaan kita bisa melihat bagaimana karya ini
direpresentasikan, identitas macam apa yang dihubungkan dengannya, bagaimana
karya itu diproduksi, bagaimana dikonsumsi, dan mekanisme apa yang mengatur
distribusi dan penggunaannya.
Ideologi
agama telah mendorong relief di candi.
Ideologi yang berkaitan dengan legalitas kekuasaan mengahasilkan babad dan
kisah wayang. Ideologi pasar telah menghasilkan komik ‘gaya baru’ – meskipun
yang disebut ini selalu dikaitkan dengan ‘upaya untuk memelihara’ budaya
bangsa, yang tidak bisa dipisahkan dengan pertimbangan untuk mencari laba. Berbagai-bagai
dorongan itu telah mengubah pesan yang sama dalam berbagai wahana atau malah
melahirkan wahana baru untuk pesan yang sama yang tentu ‘diboncengi’ oleh pesan
lain. (Sapardi Djoko Damono: 2012).
Akhirnya,
setelah berabad-abad epik Ramayana lahir dan bertahan, kisah ini tak lagi hadir dengan pakem ketika
valkimi menuliskannya. Kisah Ramayana bermetamorfosis dalam beragam wahana
sehingga dia terus hidup di zaman ketika teknologi dan media berubah. Kisah ini
bermimikri mendasar pada kebudayaan setempat. Sehingga, perubahan teks yang
sedemikian rupa menuntut penafsiran konteks ketika karya itu bermetamorfosis
dan bermimikri. Bermetamorfosis dan bermimikri mungkin inilah jawaban agar
sebuah karya dapat bertahan.
[1] Nur Mursidi, “Epik Ramayana dalam Berbagai Narasi”, www.sinarharapan.co.id, diakses pada
Oktober 2013.