Popular Post

Posted by : secawan kopi tubruk Rabu, 15 Oktober 2014

Jurus Tanpa Bentuk Samrah[1]
Oleh: Citra Nuraini

Jurus-jurus yang dilakukan kesenian Samrah merupakan cara agar mereka dapat bertahan. Namun, jurus-jurus mereka sering kali menimbulkan persoalan baru. Akhirnya, dihadapan pemerintah dan masyarakat, jurus yang mereka lakukan hanyalah jurus tanpa bentuk.

Kesenian Betawi tengah menghadapi dinamika sebagai kesenian tradisional. Salah satu kesenian yang nasipnya bagai telur di ujung tanduk ialah kesenian Samrah.  Samrah dilahirkan di Tanah Abang pada abad 18 awal. Kala itu, Tanah Abang meruakan pusat perdagangan para pendatang dari Cina, melayu, India, Arab, Pakistan, dan Malaya. Di Tanah Abang, para pendatang tak cuma berdagang. Mereka menetap dan berbaur dengan masyarakat pribumi. Embrio membentuk kelompok musik muncul ketika anak muda Betawi beserta tetangganya dari Arab, Melayu, dan India berkumpul dan bermusyawarah.
Kelompok musik ini mereka namakan Samrah. Nama Samrah diambil dari bahasa arab ‘samarokh’ yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Kata ‘samarokh’ diucapkan oleh orang Betawi menjadi ‘sambrah’ atau yang lebih dikenal ‘Samrah’. Dengan niat membentuk kelompok musik, mulailah mereka membawa alat musik dari negaranya masing-masing.   Orang Betawi membawa gendang calte, malaka, dan tamborin. Lalu, orang Arab membawa ols, orang Melayu membawa fiur atau biola, dan orang India membawa harmonium.
Inilah kemudian yang dinamakan orkes Samrah. Orkes ini mengiringi tari dan nyanyian. Mereka menyajikan lagu-lagu yang sifatnya berbalas pantun. Pengaruh melayu yang kuat kala itu membuat lagu pengiringnya menggunkaan lagu melayu. Seperti Lagu Anak Ikan, Anak raja Turun Beradu, dan sebagainya.
Tari Samrah bisa dilakukan berpasangan atau perorangan. Gerakannya mirip tari melayu yang mengandalkan langkah kaki dengan lenggang yang berirama, posisi membungkuk, dan jongkok. Bedanya, tari Samrah punya gerakan salawi, yaitu jongkok hampir seperti duduk bersila. Salawi lebih dari sekedar membugkuk, sehingga membutuhkan keterampilan sendiri. Biasanya penari Samrah turun berjoget dengan diiringi orkes Samrah dan nyanyian seorang biduan. Iramanya pun bisa lembut dan cepat.
Dari Tanah Abang, Samrah terus berkembang ke daerah Betawi tengah lainnya. Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar, dan Petojo. Selama perjalanannya, Samrah tak selalu mulus. Pada 1940-an, masa pendudukan Jepang sempat menjadi batu kerikil bagi perkembangan Samrah. Pemerintah kolonial Jepang bersifat represif terhadap pribumi hingga kebidang kesenian. Pemerintah kolonial Jepang melarang berbagai kesenian untuk dipentaskan, tak terkecuali terhadap kesenian Samrah.
Setelah Kemerdekaan, kesenian Samrah kembali muncul kepermukaan. Bahkan mengalami kesenian Samrah mulai popular. Samrah mengalami masa keemasan di sekitar tahun 1970-1980. Di masa itu, sejumlah nama seniman Samrah telah dikenal masyarakat. Mereka ialah: Harun Rasyid, Firman Muntaco, M. Ali Sabeni, M. Zein, dan Sarmada.
Beberapa nama tersebut kini telah meninggal, tinggal Ali Sabeni yang kini berumur 79 tahun. Meski begitu Sabeni masih menjaga grup Samrahnya agar tetap berdiri. “Tahun ’60-an, saya sedang giat-giatnya bermain musik. Terus saya bertemu keluarga bekas pemain Samrah tahun ’20-an, orang tua generasi kedua. Katanya bikin ini musik namanya Samrah. Ini musik asli Tanah Abang. Nah itu awalnya saya membuat Samrah,” ungkap Sabeni.
Grup yang telah ditinggalkan sang pendiri, kini ada yang diteruskan oleh anaknya. Salah satunya ialah grup Firman Muntaco yang kini dipimpin oleh Fifi Muntaco. “waktu itu, tahu-tahu udah berkumpul kakek-kakek dirumah. Kata bapak itu pemain Samrah, kemudian jadi grup,” kenang Fifi. Pada 12 januari 1992, firman meninggal. Tampuk kepemimpinan sanggar dipimpin Fifi hingga kini, yang sebelumnya diberi nasihat untuk membesarkan Samrah. “Bapak berpesan setelah tampil di acara salam canda di TVRI bulan Oktober 1991,” tambahnya.
Namun, berlakon sebagai seniman Samrah masa kini tak lagi segemilang ketika Samrah sedang berjaya. Bahkan, kini eksistensi Samrah bagai telur di ujung tanduk. Kepala Bagian Pengembangan Kebudayaan Betawi (LKB) Rudi Haryanto mengatakan bahwa eksistensi kesenian Samrah sedang menurun. Terbukti, grup yang murni memainkan Samrah hanya tinggal grup Rumpun Melayu pimpinan Ali Sabeni.
Tak hanya kehilangan masa jaya. Samrah pun mesti bermimikri karena keadaan zaman. Beberapa perubahan terjadi di kesenian Samrah. Salah satunya ialah perubahan pada  alat musik. Penyesuain  terjadi karena onderdil alat musik produk tua sulit didapat, seperti harmonium yang diganti arkodeon. Kini, grup Samrah tidak ada yang benar-benar akustik, salah satu alat ada yang menggunakan listik. “sekarang tidak ada yang benar-benar akustik. Pasti ada listrik-listriknya,” ujar Fifi.
Namun, penggunaan harmonium mulai jarang, karena sulit didapat. Alternatifnya,digunakanlah arkodeon. “Teman-teman Samrah sekarang ini tidka memakai harmonium tapi arkodeon, yang suaranya hamper mirip,” ungkap Rudi Haryanto, Kepala Bagian Pengembangan Kebudayaan Betawi (LKB).
Perububahan selain pada alat musik, perubahan juga terjadi dari segi lagu dan tempo musik. Jika dulu tempo musiknya cenderung lambat dan mendayu-dayu, maka tempo musik dan lagu saat ini lebih cepat. Grup Ali Sabeni yang biasa menyenyikan lagu melayu asli, saat penontonya dari kalangan anak muda, lagu-lagu melayu modern yang bertempo lebih cepat turut dipilihnya. Seperti: Asmara Dewi, bahtera Laju, bayangan, Bimbang ragu, Lembaran Bunga, diambang Sore, Lagu rindu.

Jalan sempit dan ruang negoisasi
Mengharap punya uang banyak dari Samrah? Tidak mungkin. Jangankan memiliki tabungan, untuk biaya hidup saja sudah susah. Harga sekali tampil Samrah Cuma sekitar 3 sampai 4 juta. Uang tersebut dibagi 10 orang, tiap orang mendapat 300-400 ribu. Dari uang yang didapat, masih harus dipotong untuk transportasi dan makan. Terlebih panggilan untuk pentas tidka menentu, kadang sebulan hanya beberapa kali tampil atau malah sama sekali tak ada.
Makanya untuk menambal kebutuhan hidup, semasa muda Ali Sabeni juga bekerja sebagai tukang las. “Kalau Samrah dijadikan buat penghasilan hidup, tidak cukup,” ujar laki-laki beranak tujuh ini. Sayangnya, Ali Sabeni sudah tidak lagi bekerja karena dimakan usia. “Tapi untuk berkesenian, saya tidak mengenal umur,” tegas Sabeni.
Samrah yang didominasi lagu Melayu jadi kurang popular buat masyarakat kini. “Pernah ada yang bilang tarifnya jangan mahal-mahal karena lagunya tidak dikenal. Makanya, kami juga fleksibel bisa lagu dangdut atau pop,”tambah Fifi.
Lagu pengiring orkes Samrah berupa lagu-lagu melayu tahun 50-an hingga 60-an. Ciri tempo lagu masa itu cenderung lebih lambat. “Kaya lagu Jembatan pate, tidak enak dinyanyikan. Orang pada ngantuk mendengarnya,” tutur Fifi. Alat musiknya pun sulit dimainkan, rata-rata bernada minor, yang menghasilkan irama lambat.
Demi mempertahankan hidup, kini para penggiat Samrah harus putar otak. Berbagai jurus tanpa bentuk dilakukan oleh para seniman. Sanggar Fifi sendiri akhirnya menyediakan pertunjukan lain seperti Hadroh (kesenian rebana), palang pintu (tradisi penyembutan calon pengantin dalam adat pernikahan betawi), tanjidor, organ tunggal. Pembuatan ondel-ondel dan makanan betawi pun dikerjakannya.
“Kerja saya serabutan. Semua saya kerjakan, yang penting bisa dapat uang. Akhirnya berbagai hal kita layani agar dapat terus hidup,” ujar perempuan kelahiran tahun 67 ini.
Ada juga orkes Samrah pimpinan Widya yang bernama sanggar Pelangi. Awalnya grup Samrah yang anggotanya didominasi pemuda memang berniat mempertahankan Samrah. Namun belakangan sanggar pelangi turut menampilakan kesenian betawi lain seperti gambang kromong. Alasannya sama, kesulitan finansial. “Kalau tidak ada kerjaan, saya ngamen. Jadi seniman budaya itu miskin,” tutur Malih, anggota Sanggar Pelangi.
Samrah kian surut. Padahal eksistensi Samrah, tonggak kehidupan para pengiatnya dan demi mempertahankan budaya lokal. Melebarkan sayap diluar Samrah adalah jurus pragmatis agar para seniman dapat bertahan. “Kalau ada jaminan dari pemda, seniman daerah bisa totalitas di musik,” ujar malih.
Selain bantuan dana. Ada harapan untuk memproduksi lagu-lagu Samrah dalam jumlah besar. ”Kelemahannya Samrah itu, musiknya sedikit, rekamannya sedikit. Pernah LKB merekam tapi terbatas,” keluh Fifi. Sosialisasi juga diperlukan guna lebih mempopulerkan Samrah seperti pada 1980-an. Kala itu Samrah cukup bergensi. Pelatihan-pelatihan juga amat diperlukan mengingat lagu-lagu Samrah adalah lagu-lagu lama. “Karena dipelajarinya juga agak susah,” jelas Fifi.
Terkait tujangan material, pemerintah sempat memberikan bantuan kepada sanggar-sanggar. “Pada zaman rudi saleh (ketua LKB tahun 1980-red) ada Rp50.000 tiap bulan. Sekarang sudah tidak ada”, ungkap Ali. Sedangkan menurut Fifi, tunjangan yang diberikan berupa dana akhir tahun. Dia mendapat Rp250.000 dari LKB.
Seketaris Divisi Kajian dan Pengembangan Dinas Pariwisata DKI Endrarti fariani membenarkan ada tunjangan kepada sanggar-sangar sejak tahun 1970. Namun, sejak 2004 dana hibah diberhentikan dengan alasan tidak efektif. Akhirnya dana pengembangan kebudayaan hanya diberikan pada wadah yang menampunya, seperti LKB.
Pemberian tunjangan materi memang bukan jurus jitu menyelesaikan akar masalah. Para seniman membutuhkan keberpihakan dari pemerintah daerah. Mereka membutuhkan politik kebudayaan yang jelas dari pemerintah, baik pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Selain itu, mereka mesti berhadapan dengan realitas sosial yang tak mendukung eksitensi kesenian. Tanpa bantuan pemerintah, para seniman akan sulit berhadapan dengan kebudayaan modern yang dianggap menyingkirkan kebudayaan tradisional.[2]
Ketika kondisi ini yang terjadi, maka tak heran jika para seniman mengeluarkan berbagai jurus tanpa bentuk. Jurus menerima permintaan penanggap merupakan salah satu jurus yang akhirnya mesti mereka lakukan. Padahal, disatu sisi para seniman ingin menjunjung tinggi nilai dan pakem kesenian yang diusungnya.
Pun begitu juga dengan upaya melebarkan sayap. Upaha melebarkan sayap dengan turut menampilkan kesenian lain ialah upaya negosisi yang juga punya dampak. Kita mungkin tidak akan mendengar lagi nama-nama besar yang lahir dan dikenal  sebagai seniman Samrah.
Aksi-aksi taktis dan praktis yang dilakukan para seniman Samrah merupakan cara agar mereka dapat bertahan. Mereka tak hanya menghadapi masalah kurang dikenalnya Samrah, tapi mereka juga mengalami masalah dalam hal regenerasi. Regenerasi merupakan pondasi dasar agar suatu kesenian dapat bertahan.
Sabeni pernah mengajak warga untuk turut melestarikan Samrah, ”saya suruh anak-anak muda datang, belajar sama saya.” Ajakan Sabeni tak digubris, harapannya meredup. Hingga kini, grup pimpinannya mayoritas beranggotakan anak dan cucunya. Anaknya, zulbachtiar memainkan gendang, Zulfah jadi penyanyi orkes, dan Nurul Fadilah terkadang menggantikan Sabeni memainkan arkodeon. Cucunya, Abdul hair memetik gitar, Fiffa Septian memainkan tamborin.
Sisanya, tiga orang pemusik di luar keluarganya. Kesulitan regenerasi dirasakan betul oleh sabeni buat mencari penari. Penari yang dulu menarikan tari Samrah di grup Sabeni, kini telah menikah, dan belum ada penggantinya.
“Memang hampir rata-rata polanya kekeluargaan. Karena memang mereka kesulitan mensosialisasikan ini kepada masyarakat sekitar jadi tentunya keluarganya dulu yang diperkenalkan,”ujar Rudi haryanto.
Renegerasi melalui keluarga menjadi satu satu jurus untuk bertahan. Namun, jika jurus ini terus yang dipakai, niscaya jurus ini akhirnya akan tak berbentuk jua. Sebab, jika terus-menerus hanya bertumpu pada keluarga maka ini semakin menandakan bahwa masyarakat kita semakin abai pada kesenian.

NB: essei ini merupakan penulisan kembali dari tulisan reportase.




[1] Meminjam judul novel yang ditulis seno gumira ajidarma: Nagabumi, jurus tanpa bentuk
[2] Disimpulkan dari notulensi diskusi para seniman dengan LKB pada 06 Agustus 2010 dengan tema “eksistensi seni pertunjukan betawi dikampungnye sendiri”.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Secawan Kopi Tubruk - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -