- Back to Home »
- cerpen »
- Jejak Dokter di Gaza
Posted by : secawan kopi tubruk
Rabu, 15 Mei 2013
“Tolong, biarkan aku masuk, aku seorang dokter. Aku
ingin memasuki gaza sebagai rasa tanggungjawab kemanusianku,” aku mengemis kepada seluruh
otoritas mesir di perbatasan.
Setelah
mendapat berita Israel menyerang Palestina selama beberapa hari, yang
menyebabkan ratusan jiwa tewas dan luka-luka, warga pelestina membutuhkan
bantuan medis, obat-obatan, dan makanan. Aku bersama beberapa orang dokter dari
Norwegia diberangkatkan ke Gaza
untuk membantu mereka. Tapi kami tertahan di perbatasan, padahal kami berjarak
beberapa meter dari wilayah yang ingin kami bantu. Puluhan dokter dari seluruh
dunia termasuk Malaysia, Indonesia, Turki, Yunani, dan lainnya mendapatkan
perlakuan serupa di perbatasan selama beberapa hari.
“Otoritas mesir menghentikan
kami,” ujar seorang dokter dari Yunani.
“Situasi di gaza sangat
menakutkan,” Omran Ibrahim, psikiater dari mesir tidak dapat memasuki gaza,
padahal dia berharap dirinya dapat memberikan bantuan apapun yang dapat ia
lakukan untuk penduduk gaza. “Banyak penduduk gaza yang mengalami gangguan
psikis, terutama anak-anak,” ujarnya, saat berbincang-bincang di tengah siruasi
yang tidak mengenakan.
“Menurutmu apakah ini menunjukan
lambatnya sikap pemerintahan mesir untuk membantu penduduk gaza?”
“Kurasa tidak, otoritas mesir
telah berupanya sebisa mungkin untuk membantu penduduk gaza. Masalah sulitnya
akses obat-obatan, tim medis, dan makanan masuk ke gaza adalah karena blokade
tentara Israel,” bantah Ibrahim.
“Entah, aku tidak tahu mengapa
otoritas mesir lambat bertindak. Ini sudah satu minggu lebih. Sejak awal agresi
Israel, ahli bedah dan dokter-dokter Mesir dilarang ke gaza. Kami tidak tahu
mengapa pemerintah mesir melarang membuka gerbang rafah, mereka hanya mengizinkan
pengiriman korban ke gerbang rafah, itu pun dalam jumlah terbatas. Kita hanya
bisa berdoa,” ucap Khaely,
dokter Mesir.
“Aku sudah mendapat izin tapi
aku tidak akan masuk sendirian karena aku ke sini bersama tim dari Indonesia. Jadi aku tidak akan
masuk jika timku tidak diizinkan masuk. Kami akan terus berusaha untuk dapat
masuk ke gaza,” ujar seorang dokter dari Indonesia.
“Para dokter hanya dapat
melihat kekejaman Israel, tanpa bisa melakukan apapun. Kami tidak dapat masuk
ke gaza,” aku menjawab pertanyaan seorang reporter. “Seperti yang kalian lihat,
ratusan dokter menunjukkan kesiapan mereka untuk masuk ke Jalur Gaza. Sebagian
mereka sudah bermalam di sisi perbatasan Mesir, berharap bisa masuk dari
gerbang Rafah. Namun otoritas Mesir menahan mereka.”
***
“Anda
berdua dari mana? Sepertinya anda seorang dokter?” tanya wanita pemilik kedai berumur
sekitar tigapuluhan, disusul senyum.
“Kami
berempat dari Norwegia. Kami memang dokter yang sengaja diberangkatkan menuju
gaza,” jawab Ali, dokter ortopedi yang rekan setimku dari Norwegia
“Sepertinya kalian juga susah
untuk mendapat izin masuk gaza. Sudah beberapa hari, banyak tamu-tamu di sini
yang berstatus dokter dan jurnalis.”
“Seperti
yang anda lihat. Kami terperangkap di sini sudah beberapa hari, ini membuat
kami stress.”
“Ini
tehnya silahkan diminum, mungkin dapat menghilangkan stress anda. Maaf jika aku
banyak bertanya. Jika butuh aku, silahkan panggil. Namaku Shifa.” Shifa
membalikan punggungnya.
Aku mengangkat
gelas yang tadi diletakan Shifa. Sebelum
teh berhasil ku masukan kedalam tenggorokan, teh tumpah. Aku terkejut.
“Nguing.
Dumm.” suara yang dasyat tedengar menggetarkan bumi.
“Astaga.
Anda tidak apa-apa?” Shifa menghampiri kami sambil membawa serbet.
“Aku
baik-baik saja. Suara apa itu?”
“Itu
suara pesawat Israel yang menjatuhkan misilnya. Dari tempat ini suara-suara
seperti itu sudah biasa terdengar. Kedai ini hanya berjarak 300 km dari pintu
gerbang perbatasan. Aku juga pernah melihat asap pekat di angkasa. Di tempat
ini, anda dipaksa terbiasa dengan hal-hal itu.” Shifa bercerita lebih banyak
kepada kami.
Tempat ini dinamai Saladin Square karena salah
satu jalan yang bermuara di perempatan itu namanya Jalan Saladin. Bahkan,
kawasan ini secara keseluruhan disebut Distrik Saladin. Jalan inilah
yang berujung di Gerbang Saladin, gerbang yang menjadi pintu masuk ke Jalur
Gaza. Namun, sejak tahun 2000, gerbang ini ditutup. Yang disebut Saladin Square atau Salahuddin Square adalah sebuah perempatan jalan di pusat kota Rafah
Mesir. Sebuah perempatan jalan yang di setiap sisi perempatan berdiri toko-toko
dan warung-warung yang kusam catnya. Ada toko kelontong, warung makan, toko
serba ada kecil, ada toko pakaian, dan ada pula toko buah.
”Nguing....,”
lagi-lagi suara pesawat Israel.
Hari ini
kami sudah melihat beberapa kali pesawat Israel melintas daerah Rafah.
”Saya
sejak kecil tinggal di daerah ini. Jadi, sudah begitu terbiasa mendengar suara
ledakan bom, suara tembakan, merasakan tanah bergetar, dan melihat pesawat
Israel yang melintas tempat ini. Namun kali ini, suara-suara itu sering lebih terdengar.”
Isa, supir taksi yang kami tumpangi menceritakan keadaan di sini.
Setelah
kami akan kembali menemui otoritas mesir, memohon lagi agar mendapatkan izin
memasuki gaza.
***
“Uwee,
eeee,” tangis seorang bayi yang sedang kuobati.
“Sabar ya, obat
biusnya habis,” aku berusaha menenangkannya.
“Anda baru dapat
izin masuk ya?” tanya William, dokter dari Inggris.
“Ya, aku terkejut dengan
kondisi disini. Ini lebih buruk dari yang kubanyangkan.”
“Beginilah kondisi disini. Setiap
hari para dokter harus tahan banting mendengar jeritan dan rintihan para
korban. Kita harus kerja 24 jam karena semakin hari pasien bertambah banyak.”
“Apa kau tidak merasa
kelelahan?”
“sebetulnya aku sangat lelah,
tapi semangat kemanusiaan menggerakan kekuatan ekstra dalam dirimu. Kau bisa
lihatkan, pasien-pasien itu bertumpuk menunggu giliran diobati.”
“Dan kita menunggu obat-obatan
datang?”
“Yea,. apa boleh buat, bantuan
banyak tertahan di gerbang rafah. Jeda tiga jam tidaklah cukup untuk kondisi
buruk ini,” William hanya geleng-geleng kepala, pusing menghadapai situasi ini.
Setelah tertahan selama
seminggu lebih di perbatasan, akhirnya tim kami mendapatkan izin memasuki gaza.
Bersama dokter lainnya kami bekerja di Rs al-Awda di Jabaliya, bagian gawat
darurat. Kondisi Rumah Sakit ini sudah sangat memprihatinkan, para dokter
melakukan bedah di koridor-koridor rumah sakit, pasien bergeletakan di
mana-mana, banyak korban sekarat sebelum mereka akhirnya mendapatkan perawatan.
Persedian beberapa macam obat-obatan dan bius habis sehingga kami harus
melakkan pertolongan seadanya.
***
Setelah
beberapa hari disini aku dapat melihat dengan jelas kekejaman israel.
Kebanyakan korban adalah anak-anak. Yang lebih buruknya, mereka menggunakan
senjata fosfor putih. Bukan hanya aku yang berpendapat demikian, dokter-dokter
lain juga berpendapat sama. Indikasi penggunaan fosfor putih dapat dilihat dari
keadaan pasien, kebanyakan pasien menderita luka terbakar. Israel sudah tak
berprikemanusiaan, bahkan mereka seolah tak lagi punya hati untuk sekedar
memberi pelakuan yang baik kepada orang–orang yang telah dibunuhnya.
“Oh, Tuhan aku tidak pernah
melihat pemandangan mengerikan seperti ini,” aku berkat sambil tersedu.
Aku
biasa menangani korban terluka dan tewas akibat serangan Israel di jalur gaza
dalam berbagi kondisi, tapi tidak dengan satu ini. Aku hampir tak percaya yang
kulihat.
“Dokter,
saat anakku sadang bermain dihalaman rumah, tentara israel menembak secara
membabi buta. Melihat dia tergeletak mengenaskan, kami berusaha meraihnya.
Tapi, serdadu Israel mengusir kami dengan hujan peluru. Kami meninggalkan Saad sendirian dan tentara
israel melepaskan anjingnya. Dokter, ternyata anakku dijadikan santapan anjing
mereka.” Mahmud, ayah Saad, bocah laki-laki berusia dua tahun, bercerita sambil
menangis.
“Anjing-anjing
itu hanya meninggalkan satu bagian utuh bayi malang itu,” aku berkata, dengan
air mata berderai, saat menuturkan cerita tragis ini kepada wartawan.
Muhammad
yusuf, tetangga saad yang juga melihat peristiwa ini, menilai tentara Israel
sangat mengetahui apa yang mereka lakukan. “Mereka manghalau dan mencegah
keluarga yang ingin mengambil manyat Saad, karena mengetahui anjing-anjing mereka
akan memakannya,” katanya, menahan amarah.
Setelah
peristiwa Saad, keluarga Husan Omran juga mengalami hal yang sama. Saat Husan
Omran dan saudaranya sedang mencoba menguburkan tiga anaknya yang tewas, secara
tiba-tiba tentara israel mencegah acara penguburan itu dengan berondongan
peluru. Saat mereka menjauh, tentara israel melepaskan anjing-anjing pelacaknya
ke arah tubuh-tubuh itu.
“Apa
yang terjadi ini sangat mengerikan dan tidak terbanyangkan, “ kata Husan Omran.
“Mereka bukan hanya tewas didepan mata kami, tapi kami juga dicegah untuk
menguburkan mereka. Orang-orang Israel melepaskan anjing-anjing ke arah
tubuh-tubuh mereka, seakan yang mereka lakukan belum cukup,” katanya sambil
menangis.
***
“Druuu,
wung....,” suara pesawat terdengar jelas diseluruh rumah sakit ini.
“Tidak,
kita akan diserang,” seorang pasien berteriak panik.
‘Tenang-tenang
jangan panik, rumah sakit tidak akan diserang,” William bersaha menenangkan
pasien.
Aku
terpaku, tubuhku menggigil. “Gawat, Israel akan menyerang kita. Mereka tidak
pandang bulu,” aku mondar-mandir, panik dan takut.
“Hai,
kau harus tenang, kau dokter. Jika kau tidak tenang, pasien akan lebih panik,”
bentak Ahmed, kolegaku, sesama dokter dari Norwegia.
Aku
berusaha lebih bersikap tenang. Walaupun ini rumah sakit Israel tidak akan
segan menembakan misilnya, sudah beberapa klinik dan rumah sakit yang menjadi
sasaran. Kemarin aku mendapat kabar, di Jabaliya seorang dokter Palestina
dibunuh tentara Israel. Dia dan timnya sedang menolong korban serangan israel,
saat memasuki gedung yang tadinya sudah diserang tentara israel, ternyata
beberapa menit kemudian sebuah helikopter menembakan misilnya ke gedung. Dokter
bersama timnya dan beberapa wanita dan anak-anak tewas seketika. Tentara Israel
memang biadab, tak ada lagi sejengkal pun tempat yang aman untuk berlindung dari
kebuasan mesin-mesin perang Israel. Mereka menghancurkan mesjid-mesjid,
rumah-rumah, kantor berita dan rumah sakit. Yang lebih sadisnya mereka
menghancurkan sekolah milik PBB tempat penduduk berlindung. Ya, tak ada tempat
yang terlepas dari serangan israel termasuk rumah sakit ini.
***
“Dokter
ayo cepat!”
“Aku
segera masuk ke dalam ambulan.”
Aku dan kolegaku, Ahmed, masuk
ke ambulan yang berbeda. Aku menuju sekolah Al falluj, utara Jabaliya, sekolah
itu terkena serangan udara israel. Sedangkan Ahmed menuju ke sebuah rumah
runtuh, di dekat mesjid kota Jabaliya, didalamnya terdapat sebuah keluarga.
Dari kejauhan, kami melihat ambulan yang di tumpangi Ahmed ditembaki arteleri Israel.
Aku tak tahu lagi apa yang terjadi dengan mereka.
“Ayo cepat, anak ini sudah
sekarat,” aku keluar dari ambulan membawa seorang anak yang terluka.
“Wuing, dum.”
Aku melihatnya jelas. Pesawat
Israel menjauh setelah melepaskan misilnya di sekitar rumah sakit Al-Awda.
Kedua misilnya terjatuh dihalaman parkir yang penuh kendaraan, 15 meter dari
pintu gawat darurat. Pintu gawat ikut hancur, petugas medis sibuk memadamkan api
di sekitar pelataran parkir. Beberapa menit aku terpaku. Astaga, aku terlupa,
anak ini harus segera ku tolong.
“Halo paman yang baik hati!”
anak ini tersenyum.
“Jangan bicara dan bergerak
dulu, kamu sedang sekarat. Aku akan menolongmu.”
“Tidak usah, sudah tidak
apa-apa kok,” dia melepaskan pelukanku.
“Tapi kamu terluka parah,
lihat tubuhmu terbakar. Loh mana luka bakarmu?”
“Terimakasih telah membantuku.
Aku ingin menemui ibu.” Anak ini berdiri sempurna. Dia pergi meninggalkanku.
Saat ingin mengejarnya, aku
melihat Ahmed datang bersama ambulan yang lain. Kakinya terluka. Aku ingin
segera mengobatinya.
“Ahmed! Aku akan mengobatimu.”
aku menghampirinya.
“Abu khaely!” Dia menangis.
“Ada apa? Kenapa kau memanggil
namaku sambil menangis? Ada apa denganku? Aku baik-baik saja. Lihatlah, tak ada
luka sekecil apapun pada tubuhku!” Aku tersenyum pada Ahmed.
Petugas medis membawa Ahmed ke
ruang gawat darurat, mereka tidak memperhatikan aku. Beberapa meter dari ruang
gawat darurat orang-orang sedang sibuk mengangkut mayat yang terkena misil Israel.
Saat misil diluncurkan, banyak ambulan yang sedang keluar masuk membawa korban.
Korban dokter dan petugas medis yang tewas bertambah. Aku melihat tubuhku
dibawa masuk ke dalam rumah sakit.
Jakarta, 2010
Mengenang peristiwa
penyerangan Israel ke Jalur Gaza pada akhir masa kepemimpinan Bush.