- Back to Home »
- Jurnalistik »
- Jebakan Hutang
Posted by : secawan kopi tubruk
Rabu, 15 Mei 2013
Tolak hutang bersakit-sakit
dahulu, pilih hutang maka bersakit-sakit kemudian.
“Yah pak, jangan diambilin dagangan saya,” ucap seorang wanita berumur
sekitar 50 tahun.
“Loh, salah siapa lunas sampai tengat waktu. Saya kan sudah bilang konsekuensinya
dari awal kalau belum lunas tepat waktu,” ucap seorang laki-laki
bertubuh pendek berkemeja biru.
Tak ayal,
laki-laki bertubuh pendek berkemeja biru itu bersama seorang laki-laki bertubuh
besar berkaos merah berlalu dari wanita itu dengan membawa beberapa barang.
Kunyit, krupuk, bawang merah, dan kentang. Rupanya barang-barang itu langsung
diambil dari kios wanita tersebut. Wanita itu bernama darno. Darno merupakan
salah satu pedagang di pasar kecil di daerah Cipinang Muara. Kedua pria itu
adalah rentenir. Pria berkemeja biru adalah pemilik dana, sedangkan pria
berkaos merah adalah pekerja penagih hutang (debt collector).
Darno meminjam
uang sebesar lima juta untuk biaya rumah sakit anaknya yang terkena DBD. Tenggat
pelunasan bulan ferbuari lalu.
Darno memang biasa
meminjam kepada renternir. Itu untuk membantu keberlangsungan kiosnya. “saya
tidak punya banyak modal,” Darno beralasan. Sialnya, berhutang menjadi kebiasaan
Darno. “saya terjebak hutang”. Untung dagangan jadinya cuma buat bayar bunga
utang,” ujar Darno seperti binggung.
Tidak lama setelah
kejadian penarikan barang di kios Darno. Seorang renternir perempuan terlihat
mendatangi kios yang bersebelahan dengan Darno. Ciri-ciri perempuan itu mengenakan
topi dan membawa-bawa buku besar. “Sri....,” ujar perempuan yang akrab disapa uni.
“Ngga ada uni,
lagi sepi hari ini,” ujar seorang wanita bernama Sri.
“Masa ngga ada
mulu. Udah tiga hari lu belum bayar,” Uni menggomel.
“Janji dah uni,
besok dibayar sekalian jadi lima hari. Minggu kan ramai,” Sri terlihat memelas.
“Yaudah. Besok
bayar!” Uni berlalu begitu saja dari kios Sri dan bergeser kekios-kios lain.
Sri, wanita
berumur 38 tahun, juga tidak lepas dari hutang. kebutuhan rumah tangga yang
besar memaksa Sri harus berhutang. “Saya bingung bayar listrik nunggak dua
bulan (November dan Desember-red). Ditambah lagi waktu itu WC penuh. Saya ngga
punya simpanan, jadi ya terpaksa hutang,” sri mengeluh.
Tak banyak yang
dapat dilakukan orang berpenghasilan minim seperti sri selain berhutang demi
memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Namun, hutang bukan solusi terbaik. Bunga
hutang turut menggerus laba dari berjualan bumbu dapur yang memang sudah tipis.
Akibatnya jatah untuk membiayai kebutuhan sehari-hari juga turut berkurang. “Semenjak
ada kewajiban bayar hutang, uang saku anak saya dikurangi. Terus makan pake
ayam atau ikan cuma sebulan sekali jadinya. Diiritlah buat bayar utang,” Sri
bercerita.
Pengurangan
anggaran kebutuhan sehari-hari untuk membayar hutang juga dialami Daus,
pedagang kelapa. Bedanya, Daus bukan berhutang dalam bentuk uang, tapi dalam
bentuk kredit barang. Istrinya membeli beberapa barang elektronik dengan
mencicil. Televisi, rise cooker, dan
kipas angin mini, dibeli dengan harga yang beda 20% dari harga asli. Oleh
karena itu, daus mengurangi anggaran kebutuhan sehari-hari. “Coba istri saya
sabar. Tiga empat bulan juga udah terkumpul uang buat beli tunai. Kredit nyiksa
baget. Anak saya ngerengek bosen diempanin telor dan mie mulu,” ujar Daus sembari
menghisap rokok yang juga terkena impas pengiritan.
Darno, Sri, Daus
merupakan contoh kecil bahayanya jerat hutang. Imbas terbesarnya ialah
pengurangan anggaran kebutuhan sahari-hari, seperti makan. Padahal kecukupan
gizi didapat dari makanan. Kekurangan gizi terkait kesehatan, pertumbuhan,
kecerdasan, dan produktivitas.
Jebakan hutang juga
dihadapi pemerintah Indonesia, termasuk dampak pengurangan kebutuhan primer.
Alasan kenaikan harga BBM karena besaranya beban pengeluaran untuk subsidi
tidak tepat. Dibandingkan dengan harga subsidi BBM jika tidak dinaikan yang
mencapai Rp178,62
triliun, anggaran untuk
pembayaran utang luar negeri lebih besar lagi. Angaran
membayar angsuran pokok hutang dan bunga hutang dalam dari APBN 2011 tercatat
Rp267,509 triliyun. Pengurangan subsidi publik tidak hanya terjadi pada BBM,
tapi beberapa sektor lain. Seperti listrik, pendidikan, kesehatan.
Hutang luar negeri mulai tercatat di APBN ketika rezim orde
baru bercokol di Indonesia, dengan pendonor IMF dan World Bank. Alasannya untuk
pembangunan. Pembangunan memang berlangsung, tetapi penuh dengan kolusi dan
korupsi. Belum lagi pembangunan itu tidak sepenuhnya dibutuhkan oleh rakyat.
Seperti Daus yang berhutang hanya untuk kebutuhan sekunder.
Lembaga pendonor internasional sama mengerikan dengan
rentenir yang hanya mencari keuntungan. Melalui jebakan hutang, Indonesia harus
memprivatisasi beberapa BUMN. Seperti Darno yang kehilangan aset-aset sumber
pendapatannya. Akhirnya hutang menjadi alat menjerat kehidupan masyarakat dan
negara. Oleh karena itu, jangan pernah sekali-kali berhutang pada renternir.
Sekali terjebak, kita sulit keluar.