- Back to Home »
- Jurnalistik »
- Bagai telur di Ujung Tanduk
Posted by : secawan kopi tubruk
Kamis, 20 Juni 2013
Bagai telur
di Ujung Tanduk*
Oleh: Citra Nuraini
Ketiadaan
jaminan hidup bagi para penggiatnya, ditambah sulitnya regenerasi membuat
samrah makin hilang eksistensinya.
“Fi
bayarin arkodeon saya lima juta,” ucap ali sabeni.
“yah
cing, saya sudah punya. Buat apa punya dua. Emang untuk apa cing?” ucap seorang
wanita.
“buat
berobat,” balas sabeni.
Ali
sabeni berniat menjual satu-satunya arkodeon miliknya, alat musik yang biasa
menemaninya mencari nafkah, kepada fifi muntaco. Sabeni butuh uang buat
berobat. Dia menderita sakit jantung.
Mengharap
punya uang banyak dari samrah? Tidak mungkin. Jangankan memiliki tabungan,
untuk biaya hidup saja sudah susah. Harga sekali tampil samrah Cuma sekitar 3
sampai 4 juta. Uang tersebut dibagi 10 orang, tiap orang mendapat 300-400 ribu.
Dari
uang yang didapat, masih harus dipotong untuk transportasi dan makan. Terlebih
panggilan untuk pentastidka menentu, kadnag sebulan hanya beberapa kali tampil
atau malah sama sekali tak ada.
Makanya
untuk menambal kebutuhan hidup, semasa muda Ali Sabeni juga bekerja sebagai
tukang las. “kalau Samrah dijadikan buat penghasilan hidup, tidka cukup,” ujar
laki-laki beranak tujuh ini.
Malangnya,
kini sabeni telah berusia 77 tahun. Ia sudah lemah untuk bekerja, panggilan
untuk pentas pun jarang didapat. “sekarang belum tampil-tampil, sudah tua tidak
ada yang menyentuh (memperhatikan-red),” ujar sabeni.
Padahal
keinginan berkesenian sabeni tidak perlu diragukan. Baginya music tidak ada
istilah tua muda. Jika masih sanggup, dia akan terus bermusik. Istrinya,
sutinah malah sering jengkel melihat kondisi sabeni. “saya sakit hati, saya
bilang sini pak alat musiknya dijual. Tidak ada yang memperhatikan. Biar hilang
saja samrah, habis,” geramnya.
Walau
tak serupa, tapi nasip susahnya jadi seniman juga dirasakan fifi muntaco.
Perempuan berumur 44 tahun ini satu-satunya anak firman muntaco yang mau
meneruskan samrah.
“waktu
itu, tahu-tahu udah berkumpul kakek-kakek dirumah. Kata bapak itu pemain samrah,
kemudian jadi group,” kenang fifi. Pada 12 januari 1992, firman meninggal.
Tampuk kepemimpinan sanggar dipimpin fifi hingga kini, yang sebelumnya diberi
nasihat untuk membesarkan samrah. “Bapak berpesan setelah tampil di acara salam
canda di TVRI bulan Oktober 1991,” tambahnya.
Sialnya,
usaha untuk mempertahankan samrah malah ditentang zaman. Samrah yang didominasi
lagu melayu jadi kurang popular buat masyarakat kini. “Pernah ada yang bilang
tarifnya jangan mahal-mahal karena lagunya tidka dikenal. Makanya, kami juga
fleksibel bisa lagu dangdut atau pop,”tambah fifi.
Lagu
pengiring orkes samrah berupa lagu-lagu melayu tahun 50-an hingga 60-an. Cirri
tempo lagu masa itu cenderung lebih lambat. “kaya lagu Jembata pate, tidak enak
dinyanyikan. Orang pada ngantuk mendengarnya,” tutur fifi. Alat musinya pun
sulit dimainkan, arata-arata bernada minor, yang menghasilkan irama lambat.
Demii
mempertahankan hidup, kini para penggiat samrah harus putar otak. Sanggar fifi
sendiri akhirnya menyediakan pertunjukan lain seperti hadroh (kesenian rebana),
palang pintu (tradisi penyembutan calon pengantin dalam adat pernikahan
betawi), tanjidor, organ tunggal. Pembuatan ondel-ondel dan makanan betawi pun
dikerjakannya.
“kerja
saya serabutan. Semua saya kerjakan, yang penting bisa dapat uang. Akhirnya
berbagai hal kita layani agar dapat terus hidup,” ujar permepuan kelahiran
tahun 67 ini.
Sebagaimana
layaknya mempertahankan kesenian tradisional, samrah juga menghadapi masalah
regenerasi. Sabeni pernah mengajak warga untuk turut melestarikan samrah, ”saya
suruh anak-anak muda dating, belajar sama saya.”
Ajakan
Sabeni tak digubris, harapannya meredup. Hingga kini, group pimpinannya
mayoritas beranggotakan anak dan cucunya. Anaknya, zulbachtiar memainkan
gendang, Zulfah jadi penyanyi orkes, dan NurulFadilah terkadang menggantikan
Sabeni memainkan arkodeon. Cucunya, Abdul hair memetik gitar, fiffa septian
memainkan tamborin.
Sisanya,
tiga orang pemusik di luar keluarganya. Kesulitan regenerasi dirasakan betul
oleh sabeni buat mencari penari. Penari yang dulu menarikan tari samrah di
group sabeni, kini telah menikah, dan belum ada penggantinya.
“memang
hamper rata-rata polanya kekeluargaan. Karena memang mereka kesulitan
mensosialisasikan ini kepada masyarakat sekitar jadi tentunya keluarganya dulu
yang diperkenalkan,”ujar Rudi haryanto.
Fifi
lebih giat mencari regenerasi. “bareng teman-teman, saya cari anak-anak muda
yang suka music,” cerita fifi. Bahkan, dalam perekrutan, dia mensyaratkan
minimal orang yang mau bergabung bisa memegang dua jeis alat music.
“Merekrutnya dari temen, guru music, keluarga, ada juga anggota yang bawa
orang,” paparnya.
Ada
juga orkes Samrah pimpinan Widya. Awalnya group samrah yang anggotanya
didominasi pemuda memang berniat mempertahankan samrah. Namun belakangan
sanggar pelangi turut menampilakn kesenian betawi lain seperti gambang kromong.
Alasannya sama, kesulitan financial. “kalau tidak ada kerjaan, saya ngamen.
Jadi seniman budaya itu miskin,” tutur malih, anggota snaggar pelangi.
Samrah
kian surut. Padahal eksistensi samrah, tonggak kehidupan para pengiatnya dan
demi mempertahankan budaya local. Namun, melebarkan sayap diluar samrah, justru
melunturkan eksistensi samrah. “kalau ada jaminan dari pemda, senimandaerah
bisa totalitas di music,” ujar malih.
Tujangan
material sempat diberikan pemerintah kepada sanggar-sanggar. “Pada zaman rudi
saleh (ketua LKBtahun 1980-red) ada 50.000 tiap bulan. Sekarang sudah tidak
ada, ungkap Ali. Sedangkan menurut fifi, tunjangan yang diberikan berupa dana
akhir tahun. Dia mendapat 250.000 dari LKB.
Seketaris
Divisi Kajian dan Pengembangan Dinas Pariwisata DKI Endrarti fariani
membenarkan ada tunjangan kepada sanggar-sangar sejak tahun 1970. Namun, sejak
2004 dana hibah diberhentikan dengan alasan tidak efektif. Akhirnya dana
pengembangan kebudayaan hanya diberikan pada wadah yang menampunya, seperti
LKB.
Selain
bantuan dana. Ada harapan untuk memproduksi lagu-kagu samrah dalam jumlah
besar. ”kelemahannya samrah itu, musiknya sedikit, rekamannya sedikit. Pernah
LKB merekam tapi terbatas.,” keluh fifi.
Sosialisasi
juga diperlukan guna lebih mempopulerkan samrah seperti pada 1980-an. Kala itu
Samrah cukup bergensi. Pelatihan-pelatihan juga amat diperlukan mengingat
lagu-lagu smarah adalah lagu-lagu lama. “karena dipelajarinya juga agak susah,”
jelas fifi.
Mengingat
samrah bagai telur di ujung tanduk, pemeirntah perlu secepatnya bergerak
menyelamatkan marah sebagai usaha pelestarian budaya local. Dan tentunya
ketegasan para penggiatnya, untuk tak mendua dan fokus kepada samrah.
*diterbitkan dalam rubrik seni budaya majalah Didaktika edisi 41