- Back to Home »
- resensi »
- Perebutan Akses dan Kontrol
Posted by : secawan kopi tubruk
Kamis, 20 Juni 2013
Perebutan Akses dan Kontrol
Sumber Daya Alam sebagai basis ekonomi
merupakan medan pertarungan dalam memperebutkan akses dan kontrol. Tiga
kekuatan yang bertarung: masyarakat, negara, pasar.
Judul = Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasan, dan Politik Ekologi
Penulis = Darmanto dan Abidah B. Setyowati
Penerbit = Kompas Populer Gramedia (KPG)
Tebal = 458 halaman
Sumber
Daya Alam (SDA) merupakan salah satu titik vital kehidupan masyarakat.
Distribusi keuntungan dari SDA akan selalu diperebutkan oleh beragam aktor. Masyarakat
lokal akan berusaha meneguhkan klaim kepemilikan. Namun, bagaimana masyarakat lokal dapat meneguhkan klaim kepemilikan SDA ketika
mereka berhadapan dengan negara dan pasar? Tindakan apakah yang mereka lakukan
untuk mendapatkan distribusi keuntungan dan untuk tujuan apa?
Buku duet Darmanto
dan Abidah B. Setyowati Berebut
Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan
dan Politik Ekologi (KPG,
2012) menggambarkan sketsa realitas itu. Melalui pendekatan etnografi, buku ini
melihat secara detail masyarakat adat Siberut sebagai kajian utama. Buku ini
memijakkan analisisnya pada teori akses dari Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Pelluso
untuk melihat dinamika beragam aktor dalam konstelasi memperebutkan hutan
Siberut.
Buku ini menarasikan
rumitnya perebutan akses dan kontrol terhadap hutan yang mewujud dalam perilaku
kehidupan sehari-hari. Konsep
akses dimaknai sebagai proses siapa mendapatkan keuntungan dari SDA,
dengan cara bagaimana dan kapan. Akses ialah ‘bundelan dan
jaringan’ yang berisikan makna, proses, dan relasi sosial yang membuat
aktor-aktor ‘mendapatkan kemampuan untuk mendapatkan kontrol dan memerihara
akses terhadap sumber daya alam’.
Hanya berdasarkan
klaim berdasarkan hak atas property (property rights) tidaklah cukup
untuk menjamin bahwa sumber daya alam akan jatuh ketangan masyarakat lokal.
Kemampuan aktor mendapatkan SDA ditentukan oleh ragam faktor seperti akses terhadap
teknologi, modal, pengetahuan, otoritas (politik maupun kultural), serta relasi
sosial, yang hidup dalam bundel-bundel dan jaringan kekuasaan. Sehingga
tidaklah aneh jika masyarakat Siberut mesti berjuang untuk mendapatkan
keuntungan dari hutannya. Dengan
teori akses, analisis bisa menghindarkan jebakan simplifikasi relasi pada
oposisi biner: negara plus rezim kapitalis hutan versus masyarakat dengan
kearifan lokalnya.
Buku
ini ingin mengatakan bahwa hubungan antara manusia dan hutan selalu dilandasi
oleh masalah produksi dan kekuasaan. Jauh sebelum kolonialisme maupun sebelum
terikat dengan pasar yang lebih luas, masyarakat Siberut telah terlibat relasi
yang saling menguasai dengan hutan. Dalam kepercayaan lokal, hubungan simbolik
manusia dengan hutan berarti juga negosiasi dengan roh-roh yang menguasai
hutan. Dalam corak produksi yang subsisten maupun nonsubsisten dan struktur
sosial yang egaliter, negosiasi ini berlangsung terus-menerus sehingga bersifat
mendua. Namun, disisi lain hutan juga memiliki sisi material yang dibutuhkan
untuk keberlanjutan hidup.
Ketengangan
antara sisi simbolik dan sisi material hutan ini secara berkesinambungan telah
membentuk hutan Siberut menjadi lanskap yang tidak homogen dan tidak bebas dari
intevensi manusia. Secara sosial, kekuasaan terhadap hutan berada ditangan
setiap uma, sebuah keluarga besar (extended
family) yang juga merupakan unit kepemilikan lahan dan sumber daya.
Perebutan klaim-klaim kepemilikan hutan antar uma itulah yang sering
menimbulkan konflik terus menerus. Dengan corak sosial yang egaliter dan
otonom, hubungan kekuasaan antar uma terhadap hutan juga bersifat negosiatif.
Di
Siberut, hubungan antara hutan dan penduduknya menjadi berbeda setelah
keluarnya UU No.5 tahun 1967b tentang ketentuan pokok kehutanan (UU kehutanan).
Setelah adanya UU ini, Orde Baru (Orba) membuka 503 izin konsesi hutan, salah
satunya di Siberut. Dengan UU ini, Orba menekankan pembangunan ekonomi,
terutama Sumber Daya Alam. Dalam rangka melegitimasi penguasaan atas Siberut,
negara mengumumkan seluruh area di Siberut adalah kawasan hutan.
Kehadiran
negara dan pasar kepelosok Siberut ini mengguncangkan tatanan kehidupan masyarakat
yang sudah ada. Masyarakat Siberut merasa hak kepemilikannya telah dilanggar. Namun,
tidak ada perlawanan terbuka. Kecemburuan dimanifestasikan dengan
tindakan-tindakkan lokal. Meningkatnya kekuatan pasar dan menguatnya intervensi
negara untuk mengatur perdagangan sumber daya hutan telah menggeser pandangan
orang Siberut tentang nilai hutan. Hutan ternyata memliki nilai ekonomi tinggi.
Pada
1970-an muncul wacana konservasi di tingkat internasional dan nasional. Pulau
Siberut menjadi salah satu tempat yang menjadi sasaran konservasi karena
banyaknya laporan mengenai tingginya tingkat keanekaragaman hayati. Secara
eksplisit, wacana konservasi mengakui dan menerima hak-hak adat penduduk
Siberut dan melihatnya bersesuaian dengan agenda konservasi, sementara wacana
eksploitasi pada kutup lain, melihat masyarakat sebagai ancaman. Penduduk
Siberut tidak pernah ambil pusing dengan dualitas sikap negara karena sikap
mereka sendiri ambivalen. Disatu sisi, orang-orang Siberut menerima wacana
konservasi beserta progamnya, disatu sisi mereka tetap merambas hutan.
Pasca
Orba, kenyakinan dan klaim orang Mentawai sebagai pemilik tanah dan hutan
meningkat kuat dan membuat mereka menuntut klaim negara atas kepemilikan tanah.
Kebijakan desentralisasi dari Jakarta telah membuat kepulauan Mentawai
mendapatkan otonomi sebagai kabupaten yang telah lama mereka perjuangkan.
Otonomi ini menguatkan identitas bersama dan meningkatkan kepercayaan diri
orang Mentawai ketika berhadapan dengan komponen dari luar pulau.
Adanya
kebijakan desentralisasi serta menguatnya jaringan LSM dan masyarakat sipil
lainnya, serta pengakuan global terhadap masyarakat yang mengalami
marginalisasi akibat proses modernisasi, membawa wacana indigenous people (masyarakat adat). Kebijakan desentralisasi memungkinkan mereka membuka akses
penduduk lokal membangkitkan identitas sebagai masyarakat adat.
Dalam
perkembangannya, masyarakat Siberut belajar untuk melihat posisinya sendiri
dalam kebijakan negara dan juga wacana yang berkembang di tingkat regional
maupun global. Orang Mentawai di Siberut perlahan menjadi lebih sadar tentang
berbagai dampak pembangunan dan mulai merasa bahwa kebijakan negara
kadang-kadang merugikan mereka. Kondisi ekonomi politik baru menumbuhkan
kesadaran kolektif masyarakat Mentawai tentang dominasi sasareu (pendatang). Identitas kolektif sebagai sebuah kesatuan
atas nama Mentawai muncul dari perasaan tertekan itu.
Sehingga,
orang Siberut secara aktif mengartikulasi wacana hak-hak adat untuk memperbesar
mereka membangun alinasi yang lebih luas dan meningkatkan posisi tawar ketika
berhadapan dengan kekuasaan luar yang lebih kuat. Orang Siberut memiliki
penafsiran terhadap makna adat yang berbeda dengan para konservasionis dan
aktivis LSM.
Cara memandang masyarakat
Pada
kenyataannya, meskipun pengaturan negara, rezim kayu, dan program konservasi
senantiasa mengganggu tatanan masyaraat Siberut, masyarakat Siberut tidak
serta-merta melawannya secara kolektif, terorganisir, dan tunggal. Di tengah
dominasi aktor-aktor luar itu, masyarakat Siberut melancarkan proses negosiasi
yang mewujud dalam sikap melawan sekaligus akomodasi. Dalam negosiasi itu,
masyarakat Siberut mengalami diaspora, sikap-sikap ambivalen, inkonsisten,
bahkan bertentangan. Dulu teriak tolak pertambangan kayu, kini membelanya.
Sekarang menolak konservasi, padahal dulu mendukung. Dulu aktif di LSM pembela
hak masyarakat adat menolak penambangan kayu, sekarang jadi karyawan tambang.
Mereka
menerima program konservasi dan menjual lahan hutannya kepada penambang kayu
sekaligus tetap menerabas dan membuka ladang di sana. Mereka tidak sepenuhnya
melawan negara karena mereka menggantungkan janji-janji pembangungan dengan
segala fasilitasnya. Dari perusahaan kayu, mereka bisa mengantongi uang tunai
dengan penjualan hutan. Dari LSM, identitas adat mereka terlegitimasi untuk
tetap mengklaim kepemilikan hutan.
Aksi,
strategi, dan taktik untuk meraih akses dan kontrol atas hutan terkesan acak,
tidak patuh, oportunis, dan egois. Semua itu dinilai semata-mata demi mencapai
kehidupan yang lebih baik (modern): makan nasi, punya kendaraan bermotor,
televisi dan bersekolah tinggi.
Buku
ini, melawan pemikiran bahwa masyarakat adat adalah sekelomok manusia ‘murni’,
bijak dan arif, menjaga harmonisasi dengan alam, jauh dari peradaban modern,
cenderung religius, dan memiliki kearifan lokal. Paradigma ini hanya ada
dianggan-angan kita, karena kita memandangnya dari jarak jauh.
Kita
selalu memandang suatu masyarakat hanya dari paradigma jarak jauh. Tidak ada
perbedaan sikap antara kalangan aktivis dan pemerintah dalam melihat Siberut.
Keduanya sering menyederhanakan masalah dalam membahas isu konservasi sebagai
isu ekonomi politik, para aktivis cenderung berkesimpulan adanya masalah
‘budaya’ orang mentawai.
Hal
ini merefleksikan bahwa bukannya orang luar yang harus menerima relitas
masyarakat yang terus berubah-ubah akibat ketidakpastiaan kondisi hidup dan
menerima kenyataan itu sebagai dasar atau pengetahuan baru. Akan tetapi,
masyarakatlah yang harus sesuai dan dicocokan dengan konstruksi dari luar, baik
atas nama konservasi maupun pembangunan.