- Back to Home »
- resensi »
- Kehendak yang Mesti di Perbaiki
Posted by : secawan kopi tubruk
Kamis, 20 Juni 2013
Kehendak yang Mesti di Perbaiki
Judul Buku: The Will to Improve
Penulis : Tania Murray Li
Penerbit : Marjin Kiri
Penerjemah : Hery Santoso dan Pujo Semedi
Tahun terbit: 2012
Tebal Buku : 536 halaman
Kehendak untuk memperbaiki mesti ditinjau ulang oleh para wali
masyarakat.
Masyarakat
sebagai suatu entitas yang beragam, selalu dijadikan objek sasaran berbagai
progam pembanguan dari berbagai tokoh yang beragam, dari tingkat lokal hingga
internasional. Progam pembangunan ini selalu diproduksi dan tidak akan pernah
usai, sejak zaman kolonial hingga
kini. Tujuan berbagai progam pembangunan itu adalah untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat. Namun, anehnya progam-progam pembangunan ini tidak mampu
menuntaskan persoalan. Keberadaan progam-progam ini justru membawa masalah baru
bagi masyarakat.
Disinilah buku The Will to Improve tulisan Tania Muray Li menjawab sengkarut
persoalan yang lahir dari ‘kehendak untuk memperbaiki’ tersebut. Kehendak untuk memperbaiki, dikonsepkan
dan dilaksanakan oleh para aktor yang disebut Tania sebagai ‘wali masyarakat’. Para wali masyarakat adalah sebuah
kedudukan yang dibangun berdasarkan klaim bahwa merekalah yang paling tahu
tentang masyarakat karena mereka memiliki pengetahuan.
Para wali masyarakat ini melakukan intervensi dalam kehidupan
masyarakat setempat melalui gelanggang kekuasaan yang dinamakan Foucault
dengan ‘rasionalitas khas
kepengaturan’, yaitu upaya merumuskan “jalan paling tepat untuk menata
kehidupan manusia” dalam rangka mencapai “serangkaian hasil akhir yang
spesifik” dan diraih melalui “berbagai taktik multibentuk” (hal. 11).
Kepengaturan bertindak secara persuasif. Kekuatan untuk mengarahkan orang
bekerja dengan cara mengarahkan minat, membentuk kebiasaan, mendorong
internalisasi nilai-nilai, merumuskan cita-cita dan kepercayaan bersama.
Dengan memanfaatkan fakta etnografis dan historis perubahan
masyarakat di Poso, Tentena, Taman Nasional Lore Lindu di pegunungan Sulawesi
Tengah sebagai fokus penelitian, Tania menjaskan secara kronologis perjalanan
kehendak untuk memperbaiki. Disana, selama seabad terakhir berbagai progam
beserta intervensi kepengaturan diciptakan.
Progam-progam pengaturan masyarakat, yang dilahirkan pemerintah
kolonial hingga rezim neoliberal sering saling tumpang tindih. Hal ini terjadi
kaena progam-progam tersebut memiliki persoalan mendasar dan mengidap
keterbatasan. Inilah kritik yang ditegaskan Tania. Keterbatasan pertama,
sedikitnya perhatian kepada rezim penguasa yang justru ditempatkan sebagai
mitra pembangunan, seburuk apapun pemerintahannya. Keterbatasan kedua, nihilnya
atensi terhadap relasi kekuasaan yang terselubung antara wali masyarakat dan
masyarakat binaan.
Masyarakat bukanlah bejana kosong yang dapat diisi apa saja,
sedangkan para wali masyarakat pun bukan kaum yang bebas nilai dari kepentingan
kelompok. Hubungan tersebut mempertegas batas diantara keduanya yang
bersebrangan dan tak terjembatani. Bisa dikatakan, pemberdayaan masih merupakan
sebuah hubungan kekuasaan. Keterbatasan ketiga, pendekatan ini mengesampingkan
faktor-faktor struktural yang menjadi sumber kesenjangan dari ranah teknis
mereka. Batas inilah dasar yang membuat progam perbaikan dari dulu hingga kini,
bisa masuk akal dan berakar kuat, tetapi selalu bermasalah. (halaman 496)
Menariknya dalam buku ini, Tania tidak memberi satu kesimpulan
tunggal tentang yang harus kita lakukan. Melalui penjelasannya yang disusun
dengan deskripsi yang apik dan kaya data, dia hanya mengajak kita berpikir
hingga ke akar permasalahan, berpikir lebih luas, dan berpikir agar usaha
perbaikan dapat dikerjakan lebih manusiawi. Oleh karena itu, sudah selayaknya
buku ini kita baca.