Popular Post

Posted by : secawan kopi tubruk Kamis, 20 Juni 2013


Dari Tanah Abang Terus Bermetamorfosis*


Oleh: Citra Nuraini

Ketiadaan pakem dan tuntutan zaman memaksa samrah terus mengubah bentuknya.

Sabtu siang, pukul 12.00, gerimis membasahi Jalan Manunggal XVII. Disebuah rumah berukuran 15x4 meter, bernomer 35, bercat putih, seorang laki-laki membaringkan badannya di karpen merah kemang-kemang. Suara orang mengaji terdengar dari saluran radio khusus orang Betawi, radio Rodja. Seorang wanita menghampiri laki-laki tersebut dan membangunkannya, “Pak-pak, ada tamu.”
Laki-laki itu bangkit, tersenyum dan mengenakan peci hitam. Menutupi rambut hitamnya. Sarung kotak-kotak melengkapi baju koko panjang merah muda yang sedikit acak-acakan ditubuhnya. Laki-laki ini bernama Ali Sabeni. Laki-laki kelahiran tahun 1934 ini merupakan pemain samrah tertua yang masih hidup.
“Tahun ’60-an, saya sedang giat-giatnya bermain musik. Terus saya bertemu keluarga bekas pemain samrah tahun ’20-an, orang tua generasi kedua. Katanya bikin ini musik namanya samrah. Ini musik asli Tanah Abang. Nah itu awalnya samrah,” ungkap Sabeni.
Samrah dilahirkan di Tanah Abang pada abad 18 awal. Kala itu, Tanah Abang meruakan pusat perdagangan para pendatang dari Cina, melayu, India, Arab, Pakistan, dan Malaya. Di Tanah Abang, para pendatang tak cuma berdagang. Mereka menetap dan berbaur dengan masyarakat pribumi. Embrio membentuk kelompok musik muncul ketika anak muda Betawi beserta tetangganya dari Arab, Melayu, dan India berkumpul dan bermusyawarah.
Kelompok musik ini mereka namakan samrah. Nama samrah diambil dari bahasa arab ‘samarokh’ yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Kata ‘samarokh’ diucapkan oleh orang Betawi menjadi ‘sambrah’ atau yang lebih dikenal ‘samrah’.
Dengan niat membentuk kelompok musik, mulailah mereka membawa alat musik dari negaranya masing-masing.   Orang Betawi membawa gendang calte, malaka, dan tamborin. Lalu, orang Arab membawa ols, orang Melayu membawa fiur atau biola, dan orang India membawa harmonium.
Mereka menyajikan lagu-lagu yang sifatnya berbalas pantun. Pengaruh melayu yang kuat kala itu membuat lagu pengiringnya menggunkaan lagu melayu. Seperti Lagu Anak Ikan, Anak raja Turun Beradu, dan sebagainya.
Agar lebih menarik, orkes ini turut menghadirkan penari. Tari samrah bisa dilakukan berpasangan atau perorangan. Gerakannya mirip tari melayu yang mengandalkan langkah kaki dengan lenggang yang berirama, posisi membungkuk, dan jongkok.
Bedanya, tari samrah punya gerakan salawi, yaitu jongkok hampir seperti duduk bersila. Salawi lebih dari sekedar membugkuk, sehingga membutuhkan keterampilan sendiri. Biasanya penari samrah turun berjoget dengan diiringi orkes samrah dan nyanyian seorang biduan. Iramanya pun bisa lembut dan cepat.
Kedua kesenian ini sering dipentaskan pada pernikahan Betawi yang mengenal tradisi malam mangkat dan maulid. Di malam itulah para undangan berkumpul untuk mendengarkan pembacaan maulid Al-barjanzi. Setelah itu, mereka mementaskan music dan tari dilanjutkan dengan cerita.
Kala itu, cerita dibacakan oleh penonton atau tamu undangan. Sebagai hiburan dan hobi saja. Jadi sifatnya spontan. Makanya, petunjukan dapat dilakukan diatas panggung maupun tanpa panggung, yakni hanya dengan pentas berbentuk arena sesuai dengan keadaan tempat.
Pun dengan kostum, di betawi, orang biasa dating menggunakan jas, kain plakat, dan peci saat menghadiri pernikahan. Pakaian itu yang kemudian menjadi seragam utama.
Tak cukup bermusik dan menari para pemainnya juga turut membuat tonil samrah demi menyempurnakan kesenian Samrah. Tonil ini merupakan pengembangan dari teater bangswan yang disebut Durmuluk. Durmuluk berasal dari melayu riau dengan cerita shibulhikayat dan komedia stambul.
Lengkaplah kesenian samrah berisi musik, tari, dan tonil. Orkesnya ideal beranggotakan 10 orang, 8 pemain musik dan 2 penyanyi. Sedangkan tari samrah dan tonil samrah tidak mempunyai pakem.
Walaupun demikian, samrah hanya berisi lelaki. Pengaruh islam yang kuat pada masyarakat betawi tengah membuat permeuan dianggap haram berkumpul dengan lelaki, terlebih berkesenian.
Dari Tanah Abang, Samrah terus berkembang ke daerah Betawi tengah lainnya. Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar, dan Petojo. Uniknya, orkes Samrah mampu berdiri sendiri, sedangkan tari Samrah dan Tonil samrah tidak bisa ditampilkan tanpa irama orkes Samrah.
Selama perkembangannya, samrah tak selalu mulus. Pada 1940-an, masa pendudukan Jepang sempat jadi batu kerikil. Pemerintah kolonial jepang bersifat represif terhadap pribumi, tak terkecualkarena nilai keagamaan di Betawi i Samrah.
Pada 1950-an, samrah muncul kembali dan memulai metamorfosisnya. Dimulai dengan dominasi harmonium pada orkes samrah. Selain itu, permepuan mulai ambil peran dalam samrah, karena nilai keagamaan di Betawi kala itu lebih beragam.
Tak berhenti sampai disana, makin kuatnya pengaruh kebudayaan melayu di nusantara membuat samrah lebih dikenal sebagai orkes melayu. Namun, penggunaan harmonium mulai jarang, karena sulit didapat. Alternatifnya, digunakanlah arkodeon. “Teman-teman samrah sekarang ini tidka memakai harmonium tapi arkodeon, yang suaranya hamper mirip,” ungkap Rudi Haryanto, Kepala Bagian Pengembangan Kebudayaan Betawi (LKB).
Makin berkembangnya kondisi Jakarta juga terus membuat samrah bermetamorfosis. Orkes samrah tak lagi menggunakan lagu melayu, melainkan bahasa betawi dengan beragam dialek. Bentuk seperti ini membuat nama orkes samrahkembali lebih popular ketimbang orkes melayu.
Walaupun demikian, kini dalam pementasan samrah, group yang masih bertahanpunya pilihan sendirisebagai lagu pengiring. Ali sabeni menilai, lagu-lagu pengiring music samrah ialah lagu-lagu melayu tinggi. “itu kan lagu-lagunya melayu lama, orang betawi lama. Jadi kalao orang tanah abang dialeknya kaya orang melayu,” ujar Ali sabeni.
Pendapat berbeda disampaikan Fifi Muntaco, anak Firman Muntaco salah satu seniman Samrah yang terkenal pada masa jayanya. Music samrah memiliki lagu pengiringnya tersendiri. Lagu-lagu itu memiliki dialek melayu betawi tersendiri, berbeda dengan dialek melayu tinggi. baginya, musik samrah dengan dialek melayu tinggi lebih mirip orkes melayu. “Kalau menurut ajaran orang tua saya. Itu bukan samrah. Itu music melayu. Walau samrah pengaruhnya dari melayu, itu melayu. Samrah punya music sendiri,” sanggah fifi.
Jika dulu tempo musiknya cenderung lambat dan mendayu-dayu, maka tempo music music dan lagu saat ini lebih cepat. Metamorfosis, disorong oleh perubahan zaman dan ketiadaan pakem bagi samrah.
Group Ali Sabeni yang biasa menyenyikan lagu melayu asli, saat penontonya dari kalangan anak muda, lagu-lagu melayu modern yang bertempo lebih cepat turut dipilihnya. Seperti: Asmara Dewi, bahtera Laju, bayangan, Bimbang ragu, Lembaran Bunga, diambang Sore, Lagu rindu.
Selain dari segi lagu dna tempo music, perubahan juga terjadi pada alat-alat musiknya. Penyesuain juga terjadi karena onderdil alat music produk tua sulit didapat, seperti harmonium yang diganti arkodeon. Kini, group samrah tidak ada yang benar-benar akustik, salah satu alat ada yang menggunakan listik. “sekarang tidak ada yang benar-benar akustik. Pasti ada listrik-listriknya,” ujar fifi.
Dari segi pakaian pementasan pun turut beragam, nama pakaianya jung serong (unjungnya serong). Terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas merah tutup dengan pentolan satu warna dan sepotong kain yang dililitkan dibawah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyembul kebawah.
Sejak awal, smarah memang tak punya pakem. Oleh karena itu, sangat memungkinkan baginya untuk melakukan inovasi dan penyesuaian. Apalagi buat group samrah yang masih bertahan guna bertahan hidup.       

 * Diterbitkan dalam rubrik seni budaya majalah Didaktika edisi 41

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Secawan Kopi Tubruk - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -