- Back to Home »
- cerpen »
- Stasiun Penantian
Posted by : secawan kopi tubruk
Rabu, 15 Mei 2013
Tengah
malam, tepat ketika akan berganti hari baru, terlihat beberapa, puluhan,
ratusan, bahkan jutaan orang berada di stasiun. Mempunyai tujuan sama, menunggu
kereta yang sama, kereta bercat hijau dengan satu gerbong.
***
“Uah,”
aku menguap panjang di kursi peron.
Tepat
tengah malam, stasiun ini telah sepi. Tak ada lagi pedagang asongan, pengemis,
pengamen, dan petugas stasiun. Semua seperti lenyap ditelan bumi. Stasiun ini
sudah menjadi rumahku sejak kecil, tak ada hal yang aneh bagiku di sini.
Beberapa orang
duduk di kursi yang aku tiduri. Seorang laki-laki berperut buncit, seorang
laki-laki berseragam polisi dan seorang wanita muda. Wajah mereka pucat. Seorang
laki-laki berjaket usang datang dan duduk di sebelah kananku. Sudah seminggu
ini aku melihatnya menunggu kereta tengah malam.
“Aku
menunggu istriku pulang, dia bekerja di Jakarta,” suatu hari, saat hanya kami
berdua, dia memulai percakapan denganku. “Dia bekerja sampai larut malam demi
menambah penghasilan aku yang pas-pasan, aku sangat mencintainya,” laki-laki
berjaket usang itu terus bercerita, walau aku tak menanggapinya.
“Bapak
mau pergi kemana?” laki-laki berjaket usang itu bertanya pada lelaki berperut
buncit di samping kiriku, sekedar basa-basi.
Laki-laki
berperut buncit itu diam, tidak merespon. Laki-laki berjaket usang itu mengulang
pertanyaan. Laki-laki berperut buncit itu tetap diam, wajahnya semakin memucat,
bibirnya menjadi ungu, matanya melotot.
Laki-laki
berjaket usang itu mengalihkan pandangan pada seseorang laki-laki berseragam
polisi di samping kanannya, melupakan laki-laki gendut tadi, “Pak Polisi,
sedang tugas malam?”
Tak ada jawaban.
Laki-laki berjaket usang itu tidak mengulang pertanyaannya dan memutuskan untuk
diam. Dia menjadi enggan untuk bertanya pada seorang wanita muda di samping
laki-laki berseragam polisi. Keheningan melanda. Seorang laki-laki paruh baya
berpakaian compang-camping mendekati kursi. Dia tersenyum, entah kepada siapa.
Sebuah kereta datang dari arah timur, tanpa informasi dari pengeras suara,
kereta bercat hijau. Kereta itu menarik
satu gerbong dengan dua pintu, satu di depan dan satu di belakang. Pintu
terbuka, kereta terlihat kosong. Laki-laki paruh baya tadi bangkit dari kursi
dan masuk ke dalam gerbong. Sejenak dia melambai ke arah kami, laki-laki
berjaket usang itu membalas. Kulirik Laki-laki berperut buncit di sampingku,
wajahnya memucat bahkan mirip mayat, tubuhnya menggigil, dan nafasnya
tersengal. Sosok setinggi dua meter, bertubuh besar, berwajah seram, keluar
dari dalam kereta dan berjalan kearah kami. Dia menyeringai, empat taring tajam
di dalamnya seperti sudah siap merobek tubuh kami. Vampir, hantu, jin, iblis,
preman, manusia biasa? Aku diam. Laki-laki berjaket usang itu bergidik.
“Sudah
waktunya, ayo berangkat!” bentak sosok itu sambil dengan kasar meraih laki-laki
berperut buncit itu dan menyeretnya ke dalam kereta.
“Jangan. Tidak. Sakit,” laki-laki berperut
buncit berteriak di dalam kereta.
“Pak, segera tolong laki-laki itu, dia dalam
kesulitan,” laki-laki berjaket usang itu berbicara cepat kepada laki-laki
berseragam polisi.
Laki-laki
berseragam polisi itu tetap diam, wajahnya tampak memperlihatkan ketakutan.
“Ayolah Pak, jangan diam saja, dia
menjerit-jerit di sana. Itu kekerasan, kalau Bapak takut, Bapak bisa gunakan
pis….” sebelum laki-laki berjaket usang itu menyelesaikan kalimatnya, sosok itu
telah menarik dan menyeret laki-laki berseragam polisi itu dengan cepat.
Laki-laki berseragam polisi itu
berusaha melepaskan diri tapi tidak mampu, dia terlihat begitu kesakitan,
matanya membelalak, mulutnya terbuka seakan ingin berteriak. Sementara laki-laki
berjaket usang itu masih terpaku, wanita muda itu bangkit dan berjalan menuju
sosok seram itu. Sebelum ditarik kedalam kereta, sosok itu memukul payudara,
perut dan kemaluan wanita muda itu. dia tidak menjerit apalagi melawan.
Laki-laki berjaket usang itu memuntahkan isi perutnya ketika pintu kereta
tertutup, padahal sebagian tubuh wanita muda itu masih di luar pintu. Kereta
pergi meninggalkan kami, aku dan laki-laki berjaket usang yang masih tertegun, berada
dalam kesunyian stasiun.
***
Di
stasiun ini aku banyak melihat macam-macam orang menunggu kedatangan kereta dan
turun dari kereta. Inilah tempat aku tidur dan mencari makan.
Aku
mendekati laki-laki berjas hitam, “meong.”
“Kucing
sialan, bulumu mengotori pakaianku.” Dia menendangku, aku terlempar jauh dari laki-laki
berjas itu.
Aku
mendekati kumpulan laki-laki berpakian putih-putih, “meong.”
“Kucing
kau kurus sekali, pasti tidak ada yang memperhatikanmu. Manusia jaman sekarang
memang sudah jauh dari ajaran agama makanya mereka tidak peduli sesama.”
Laki-laki berjengot lebat itu mengelus kepalaku, dia menolehkan pandangannya
kepada laki-laki berpeci putih. “Bisa tolong belikan makanan untuk kucing ini,
dia harus kita bantu.” Laki-laki berjenggot tebal itu menyerahkan uang dari
dompetnya dan memberikannya pada laki-laki berpeci putih, “tolong belikan
beberapa potong ayam di warteq itu.”
Laki-laki
berpeci putih membawa sebuah bungkusan, dia membukanya, beberapa potong ayam. “Ini
untukmu kucing kurus, berterimakasihlah pada guruku, dia orang yang sangat
pemurah dan bijaksana,” laki-laki berpeci putih itu berkata seraya menoleh ke arah
laki-laki berjenggot lebat. Laki-laki berjenggot lebat itu tersenyum.
Esok
harinya, aku mengemis pada setiap orang di stasiun ini, berharap ada yang
berbaik hati seperti laki-laki berjenggot lebat kemarin.
“Meong,”
aku mengemis pada wanita bergaun hijau.
“Hus,
bulumu menempel di kulitku, bisa rusak kulitku,” dia menghindariku dan
melangkah ke tempat lain.
“Meong,”
aku mengemis pada laki-laki berseragam coklat.
“Hus,
kucing jelek. Kalau lapar jangan mengemis padaku, pemerintah tidak mengurusi
binatang kelaparan. Aku hanya mengurusi manusia yang kelaparan yang tidak ada
habis-habisnya, yang selalu menuntutku, menganggu kanyamanan hidupku saja.” Laki-laki
berseragam coklat itu berceloteh sambil mengibas-ngibaskan kakinya.
“Meong,”
aku mengemis kepada seorang wanita.
“Alhamdulillah
kita selamat dari razia semalam.” Dia sedang bercakap-cakap dengan wanita berpakaian
hitam di sampingnya, tidak melihat aku berdiri di depannya.
“Meong,”
aku mengemis sambil menggesek-gesekan tubuhku di kakinya.
“Ooh, kucing
manis, dari tadi kamu di sini ya, maaf aku tidak tahu.” ucap wanita itu sambil
mengelus kepalaku.
Wanita
itu mengeluarkan sebuah bungkusan dan botol minuman dari tasnya. Dia membuka
bungkusan itu, sepotong ayam dan nasi. Dia melepas sepatunya dan menuangkan air
kedalam sepatunya. “Makan dan minumlah!”
“Hei, itu
makan yang baru kau beli? Mengapa kau berikan kepada kucing itu? Kau sendiri
belum makan,” wanita berpakaian hitam itu mendengus.
“Kasihan
dia kurus sekali.”
“Kau ini
jangan sok peduli. Kita sebagai manusia tidak ada yang memedulikan kemiskinan
kita, bahkan ketika kita bekerja demi bisa menghidupi keluarga, kita justru
dihujat.”
Wanita
itu hanya tersenyum dan mengelus kepalaku yang sedang sibuk menikmati makanan.
***
Stasiun
ini telah sepi, tepat tengah malam, aku tidur di kursi peron. Seorang laki-laki
berjalan menuju kursi. Rupanya laki-laki berjaket usang. Sudah seminggu aku
tidak melihatnya. Laki-laki berjaket usang itu duduk disampingku.
Sebuah
kereta bercat hijau dengan satu gerbong meluncur perlahan. Laki-laki berjaket
usang itu terlihat tegang, wajahnya menyiratkan rasa takut. Kereta itu tidak berhenti di stasiun ini, dia terus
meluncur meninggalkan stasiun ini. Laki-laki berjaket usang itu menghela nafas
panjang. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
“Halo, Sih, ada apa?”
“Mas, maaf kamu harus menunggu satu
jam lagi, aku baru keluar setengah jam lagi,” suara itu terdengar parau.
“Ya, aku tunggu kamu. Sih, ada apa
denganmu, suaramu terdengar parau?”
Tenang saja, aku baik-baik saja.”
Diam beberapa detik. “Mas, aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu. Ada apa, Sih?”
“Tidak ada apa-apa. Sudah dulu, Mas.”
“Ya.”
Laki-laki
berjaket usang itu menyandarkan kepalanya di kursi, matanya memandang langit,
seperti memikirkan sesuatu. Dia menoleh ke arahku, mengangkat tubuhku
kepangkuannya.
“Kucing
manis sudah seminggu kita tidak bertemu. Sih sedang tidak lembur bekerja, jadi
aku tidak harus menjemputnya di stasiun ini. Seminggu ini, sisa waktu sepulang
bekerja kami habiskan bersama, membayar kebersamaan yang hilang karena
kesibukan bekerja.” Laki-laki berjaket usang ini terus berceloteh.
Beberapa
orang berdatangan, mereka duduk di kursi yang sama denganku. Laki-laki berjaket
usang ini berhenti berbicara. Tiba-tiba
terlihat sebuah kereta bercat hijau dengan satu gerbong meluncur ke arah kami.
Melihat kereta itu, wajah mereka mendadak pucat dan memperlihatkan kepasrahan.
Kereta berhenti, ke dua pintu gerbong terbuka lebar, seperti sudah dikomando
mereka serentak naik ke dalam gerbong. Tidak terlihat sosok setinggi dua meter
yang menyeramkan itu, laki-laki berjaket usang ini menarik nafas tenang. Stasiun
sudah lengang. Hanya ada aku dan laki-laki berjaket usang ini, yang masih setia
menghuni peron.
Setengah
jam berlalu dalam kelenggangan, kereta itu belum juga meninggalkan stasiun.
Seperti ada yang ditunggu. Laki-laki berjaket usang memperhatikan kereta bercat
hijau itu, wajahnya memperlihatkan rasa penasaran. Laki-laki berjaket usang
melepaskan aku dari pangkuaannya, dia bangkit dan berjalan menuju pintu
gerbong, memasuki kereta bercat hijau dengan satu gerbong tersebut. Entah
mengapa, aku mengikuti laki-laki berjaket hitam itu. Begitu masuk, istingku
merasakan keanehan. Kutatap wajah laki-laki berjaket hitam itu, terlihat dia
sangat terkejut. Kereta satu gerbong dengan dua pintu itu ternyata panjang
sekali. Ternyata di dalam kereta ini telah duduk puluhan, ratusan, ribuan,
bahkan jutaan penumpang. Ekspresi wajah mereka beraneka ragam.
Aku
mengamati penumpang satu persatu, begitu pula laki-laki berjaket usang itu, dia
terlihat sedang mengamati penumpang satu persatu. Ada beberapa orang yang
menggunakan tanda pengenal yang sekias tampak seragam. “Islam, Kristen, Hindu,
Budha, tidak tahu, tidak tahu, “ laki-laki berjaket usang itu membaca makna
tanda pengenal tersebut. Mereka tampak tenang, tak terpancar kegelisahan
apalagi ketakutan dari raut wajah mereka, hanya ada pancaran kepasrahan.
Aku terus
berjalan mengikuti laki-laki berjaket usang itu sambil memperhatikan penumpang
satu persatu. Ada beberapa orang berpakaian putih-putih, ada yang tersenyum,
ada yang terdiam, ada yang tampak ketakutan. Aku melihat laki-laki berjenggot lebat
dan laki-laki berpeci putih yang pernah kutemui. Laki-laki berjenggot lebat
terlihat gelisah sementara laki-laki berpeci putih tampak tenang. Aku ingin menemuinya,
mengemis makanan lagi, tapi kakiku tidak mau diajak menuju dirinya. Menyerah
karena kaki tidak mau digerakan, aku terus mengikuti laki-laki berjaket usang
itu. Aku melihat beberapa orang berjas, termasuk laki-laki berjas yang pernah
menendangku, hampir semua raut wajah mereka terlihat suram. Aku melihat
beberapa orang berseragam coklat, termasuk laki-laki berseragam coklat yang
pernah ku temui, beberapa di antara mereka memangku bangkai tikus yang sudah
belatungan. Makanan basi. Kami mempercepat langkah, menjauhi orang-orang dengan
bangkai tikus itu. Aku melihat wanita bergaun hijau, matanya melotot. Aku juga melihat
wanita yang memberiku makan dan minum bersama wanita berpakaian hitam kemarin.
Wanita itu berdiri dari kursinya, mendekatiku dan mengelus kepalaku,
“terimakasih kucing manis.” Aku tidak mengerti maksudnya. Wanita itu duduk kembali
di kursinya, dia masih tersenyum padaku. Wanita berbaju hitam di sampingnya
terlihat ketakutan.
Aku terus
mengikuti laki-laki berjaket usang. “Dimana pintu keluarnya? Sudah berapa jam
aku disini? Aku harus menjemput istriku.” Wajah laki-laki berjaket usang itu
terlihat ketakutan. Laki-laki berjaket usang itu tiba-tiba berlari, aku
tertinggal. Terlambat, aku tidak dapat mengikutinya. Akhirnya aku terus
berjalan sendirian.
Aku
berhenti berjalan, lelah. Aku menjatuhkan tubuh kelantai, ingin menidurkan diri.
Belum sempat mataku terpejam sempurna, tiba-tiba tubuhku terayun diudara. Sosok
menyeramkan setinggi dua meter.
“Disini
bukan tempatmu, kucing. Kamu tidak bisa naik kereta ini. Ini khusus manusia.
Untukmu ada kereta yang berbeda,” dia berbicara cepat. Dia meletakan tubuhku di
luar gerbong. Ah, ternyata pintu gerbong sedekat ini.
Aku
melihat laki-laki berjaket usang berdiri di depan pintu gerbong, dia tengah
berbicara dengan seorang wanita.
“Mas, aku
bahagia hidup bersamamu. Terimakasih atas kesetianmu. Carilah wanita yang dapat
membahagiakanmu dan dapat memberimu anak,” wanita itu tersenyum, dia
melambaikan tangan kepada laki-laki berjaket usang. Pintu gerbong tertutup dan
kereta bercat hijau dengan satu gerbong itu meluncur dengan cepat. Kereta itu
menuju arah matahari tenggelam.
***
Seusai azan subuh berkumandang, dari pengeras suara mesjid terdengar lantunan
syair-syair, memenuhi stasiun ini.
Eling-eling manungso
Pulangne tumpok kereto jowo
Rodo papat rupo manungso
Tak tunggune neng stasiun