- Back to Home »
- Jurnalistik »
- Dusun Nisan
Posted by : secawan kopi tubruk
Rabu, 15 Mei 2013
Apakah dusun
Popoan akan
menjadi nisan saat tak ada lagi yang mau menempatinya?
“Krek-krek”, terdengar denyit pompa besi dari
kamar mandi umum di sekitar pepohonan kelapa.
Dari kamar mandi umum itu, terlihat
seorang perempuan mengayuh pompa hijau berlumut hingga embernya terisi penuh
air. Perempuan itu meraih ember dan mengangkatnya dengan tangan kirinya.
Tangan kanannya mengengam erat tongkat yang berguna sebagai penopang
tubuhnya. Dari
sumur, dia berjalan
tertatih-tatih tanpa alas kaki menuju sebuah rumah bambu bercat putih. Wajahnya
berkeriput, rambut putih, tubuh membungkuk, itulah postur tubuh Darmin. Kebaya lusuh dan kain coklat menempel di
tubuhnya yang telah berusianya 90 tahun. Air tersebut hendak ia dipergunakan
untuk memancing pompa airnya agar dapat bekerja. Di usia tuanya dia masih harus
bersusah payah mengerjakan pekerjaannya
sendiri. Darmin tinggal seorang diri di rumahnya
yang berukuran 4x5 meter.
“Anak-anaknya semuanya pergi merantau ke kota besar. Hanya sesekali mereka datang,” ujar
Yanti, tetangga Darmin, sambil mengayunkan pompa.
Darmin merupakan salah satu dari beberapa penduduk Dusun
Popoan yang berlanjut usia. Dusun
Popoan terletak di
Kelurahan Triwarno, Kecamatan Banyu Urip, Purworejo. Dusun yang dikelilingi sawah ini menjadi saksi
para lansia berjuang hidup tanpa anak-anaknya. Masih ada beberapa penduduk yang
seusia dengan Darmin. Ia
memiliki sedikit penduduk, hampir semuanya lanjut usia.
Dari gapura pintu masuk desa, terdapat jalan setapak
sepanjang tujuh meter yang membelah dusun. Jalan yang dibangun oleh warga
secara gotong royong. Dengan menelusuri jalan setapak tersebut maka akan
terlihat beberapa kondisi rumah-rumah yang dikelilingi pepohonan. Beberapa rumah terlihat berpenghuni. Beberapa
rumah lainnya terbengkalai, kosong, setengahnya tahap pembongkaran, bahkan ada
yang telah berubah menjadi pepohonan.
Lima meter dari kamar
mandi umum, terlihat sebuah bangku panjang di bawah
pepohoan kelapa. Seorang laki-laki terbaring di atasnya. Celana
pendek di atas dengkul dan singleut putih melekat di tubuhnya.
Rambutnya hitam bercampur uban, kumis tipis melekat diwajah keriputnya. Namanya Nasroh.
Usianya memang tidak setua Darmin tapi nasipnya sama dengan Darmin.
Dia tinggal seorang diri di rumahnya. Kepala Nasroh mendongkak
ke langit yang semakin memanas.
Laki-laki ini sempat merantau ke Jakarta. Kawasan Pulo Gadung pernah
menjadi tempatnya bekerja, di pabrik peleburan besi. Dia mengontak
rumah di Cipinang Besar Selatan bersama
istrinya. Setelah istrinya meninggal dunia, dia kembali kampung.
“Awalnya saya nyari penghidupan yang lebih baik di Jakarta tapi nggak
betah. Emang si jadi petani disini kurang mencukupi kalau tidak ada pekerjaan
lain,” tambah laki-laki berambut putih ini.
Nasroh menambahkan, ketika bermukim di Jakarta sawahnya yang hanya
berukuran 0,3 hektare dikelola saudaranya. “sekarang si ngelola sendiri.
Tinggal buruhin aja orang dari kecamatan
tetangga. Mereka kan bukan daerah sawah,” ungkap laki-laki beranak dua ini.
“Waktu saya kecil keadaannya lebih ramai, sekarang dusun makin lama makin
sedikit karena anak-anak yang baru lulus langsung pergi ke Jakarta,” ujar Laki-laki
berumur 50 tahun ini.
Ini terjadi karena penduduk yang telah lulus Sekolah Menengah Atas pergi
merantau ke kota besar terutama Jakarta. Merantau ke kota-kota besar telah
menjadi kultur. Alasan utamanya karena pekerjaan sebagai
petani tidak menentu, kadang hasilnya memuaskan dan kadang tidak. Selain itu
bagi mereka Jakarta dan kota besar lainnya masih menyediakan lapangan pekerjaan
bagi lulusan baru. Terutama bagi sekolah-sekolah kejuruan yang bidangnya
seperti akuntan dan seketaris.
Matahari telah mencapai puncak. Tiba-tiba seorang perempuan berseragam
putih abu-abu melintasi Nasroh. “Dia satu-satunya remaja yang ada disini,”
tangannya menunjuk perempuan berseragam abu-abu itu.
Perempuan itu bernama Dian. Siswi kelas satu Sekolah Menengah Kejuruan ini,
termasuk salah satu yang berniat ke Jakarta setelah lulus. “Saya masuk SMK biar
cepet dapet kerja di Jakarta setelah lulus,” Dian
bercerita sambil membersihkan sepatu hitamnya.
Kakaknya, yang terpaut umur dua tahun darinya, setelah lulus SMK langsung
merantau ke Jakarta. Kebetulan, sang kakak langsung bekerja di
Yamaha Musik. Sang orang tua tidak berkeberatan jika kedua anaknya
merantau. “kata Ibu dari pada jadi petani yang hasilnya ngga tentu. Hasil panen
kemarin saja cuma dapat 70%,” ujar perempuan berkulit putih ini.
Budaya
merantau setelah lulus meninggalkan masalah sendiri bagi Dusun Popoan. Jika semua
generasi muda meninggalkan dusun popoan ini dan generasi tua sudah terlelap,
lalu siapa yang akan menghidupi dusun ini. Akhirnya dusun ini akan menjadi
nisan.
(Citra, Jakarta, 2012)