Popular Post

Archive for Mei 2013

Jebakan Hutang

By : secawan kopi tubruk
Tolak hutang bersakit-sakit dahulu, pilih hutang maka bersakit-sakit kemudian.


“Yah pak, jangan diambilin dagangan saya,” ucap seorang wanita berumur sekitar 50 tahun.
“Loh, salah siapa lunas sampai tengat waktu. Saya kan sudah bilang konsekuensinya dari awal kalau belum lunas tepat waktu,” ucap seorang laki-laki bertubuh pendek berkemeja biru.
Tak ayal, laki-laki bertubuh pendek berkemeja biru itu bersama seorang laki-laki bertubuh besar berkaos merah berlalu dari wanita itu dengan membawa beberapa barang. Kunyit, krupuk, bawang merah, dan kentang. Rupanya barang-barang itu langsung diambil dari kios wanita tersebut. Wanita itu bernama darno. Darno merupakan salah satu pedagang di pasar kecil di daerah Cipinang Muara. Kedua pria itu adalah rentenir. Pria berkemeja biru adalah pemilik dana, sedangkan pria berkaos merah adalah pekerja penagih hutang (debt collector).
Darno meminjam uang sebesar lima juta untuk biaya rumah sakit anaknya yang terkena DBD. Tenggat pelunasan bulan ferbuari lalu.
Darno memang biasa meminjam kepada renternir. Itu untuk membantu keberlangsungan kiosnya. “saya tidak punya banyak modal,” Darno beralasan. Sialnya, berhutang menjadi kebiasaan Darno. “saya terjebak hutang”. Untung dagangan jadinya cuma buat bayar bunga utang,” ujar Darno seperti binggung.
Tidak lama setelah kejadian penarikan barang di kios Darno. Seorang renternir perempuan terlihat mendatangi kios yang bersebelahan dengan Darno. Ciri-ciri perempuan itu mengenakan topi dan membawa-bawa buku besar. “Sri....,” ujar perempuan yang akrab disapa uni.
“Ngga ada uni, lagi sepi hari ini,” ujar seorang wanita bernama Sri.
“Masa ngga ada mulu. Udah tiga hari lu belum bayar,” Uni menggomel.
“Janji dah uni, besok dibayar sekalian jadi lima hari. Minggu kan ramai,” Sri terlihat memelas.
“Yaudah. Besok bayar!” Uni berlalu begitu saja dari kios Sri dan bergeser kekios-kios lain.
Sri, wanita berumur 38 tahun, juga tidak lepas dari hutang. kebutuhan rumah tangga yang besar memaksa Sri harus berhutang. “Saya bingung bayar listrik nunggak dua bulan (November dan Desember-red). Ditambah lagi waktu itu WC penuh. Saya ngga punya simpanan, jadi ya terpaksa hutang,” sri mengeluh.
Tak banyak yang dapat dilakukan orang berpenghasilan minim seperti sri selain berhutang demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Namun, hutang bukan solusi terbaik. Bunga hutang turut menggerus laba dari berjualan bumbu dapur yang memang sudah tipis. Akibatnya jatah untuk membiayai kebutuhan sehari-hari juga turut berkurang. “Semenjak ada kewajiban bayar hutang, uang saku anak saya dikurangi. Terus makan pake ayam atau ikan cuma sebulan sekali jadinya. Diiritlah buat bayar utang,” Sri bercerita.
Pengurangan anggaran kebutuhan sehari-hari untuk membayar hutang juga dialami Daus, pedagang kelapa. Bedanya, Daus bukan berhutang dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk kredit barang. Istrinya membeli beberapa barang elektronik dengan mencicil. Televisi, rise cooker, dan kipas angin mini, dibeli dengan harga yang beda 20% dari harga asli. Oleh karena itu, daus mengurangi anggaran kebutuhan sehari-hari. “Coba istri saya sabar. Tiga empat bulan juga udah terkumpul uang buat beli tunai. Kredit nyiksa baget. Anak saya ngerengek bosen diempanin telor dan mie mulu,” ujar Daus sembari menghisap rokok yang juga terkena impas pengiritan.
Darno, Sri, Daus merupakan contoh kecil bahayanya jerat hutang. Imbas terbesarnya ialah pengurangan anggaran kebutuhan sahari-hari, seperti makan. Padahal kecukupan gizi didapat dari makanan. Kekurangan gizi terkait kesehatan, pertumbuhan, kecerdasan, dan produktivitas.
Jebakan hutang juga dihadapi pemerintah Indonesia, termasuk dampak pengurangan kebutuhan primer. Alasan kenaikan harga BBM karena besaranya beban pengeluaran untuk subsidi tidak tepat. Dibandingkan dengan harga subsidi BBM jika tidak dinaikan yang mencapai Rp178,62 triliun, anggaran untuk pembayaran utang luar negeri lebih besar lagi. Angaran membayar angsuran pokok hutang dan bunga hutang dalam dari APBN 2011 tercatat Rp267,509 triliyun. Pengurangan subsidi publik tidak hanya terjadi pada BBM, tapi beberapa sektor lain. Seperti listrik, pendidikan, kesehatan.
Hutang luar negeri mulai tercatat di APBN ketika rezim orde baru bercokol di Indonesia, dengan pendonor IMF dan World Bank. Alasannya untuk pembangunan. Pembangunan memang berlangsung, tetapi penuh dengan kolusi dan korupsi. Belum lagi pembangunan itu tidak sepenuhnya dibutuhkan oleh rakyat. Seperti Daus yang berhutang hanya untuk kebutuhan sekunder.
Lembaga pendonor internasional sama mengerikan dengan rentenir yang hanya mencari keuntungan. Melalui jebakan hutang, Indonesia harus memprivatisasi beberapa BUMN. Seperti Darno yang kehilangan aset-aset sumber pendapatannya. Akhirnya hutang menjadi alat menjerat kehidupan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, jangan pernah sekali-kali berhutang pada renternir. Sekali terjebak, kita sulit keluar.
Tag : ,

Sudah Miskin Bertamah Miskin

By : secawan kopi tubruk

Negara semakin menyengsarakan rakyat dengan penghapusan subsidi publik demi kepentingan korporasi asing.

Seorang wanita lansia sedang duduk terkantuk-kantuk sembari menjaga barang jualannya. Wanita lansia itu bernama Amini. Dia merupakan salah satu pedagang di pasar kecil di daerah Cipinang Muara. Masyarakat sekitar biasa menyebutnya pasar deprok atau pasar impres.
Amini terkantuk-kantuk karena daganganya sepi pembeli. Tak hanya satu dua hari. Namun, sudah seminggu ini dagangnya kurang laku dijual. “Saya ngga tahu ya, kenapa semakin lama semakin sepi aja dagang. Apalagi saat ada kabar BBM mau naik,” keluh Amini.
Sudah menjadi rahasia umum jika harga BBM naik maka harga kebutuhan pokok naik. Dia menghawatirkan dampak setelah harga kebutuhan pokok terdongkrak akan berakibat pada sepinya pembeli.  “Biasanya saja, saya cuma dapat 20 ribu sehari. Uang segitu bikin bingung buat ngurus rumah,” ujar wanita berumur 56 tahun itu.
Tidak jauh dari kios Amini, terlihat seorang seorang laki-laki sedang melayani pembeli. Laki-laki itu bernama Daryanto. Disampingnya berdiri istrinya sedang mengendong anak keenam mereka. 
Daryanto merasa semakin sulit saja kehidupannya rumah tangganya jika kenaikan BBM. “Sebelum BBM naik aja hidup kami udah kaya gini. Mana pernah kami makan ayam kalau bukan lebaran,” ujarnya.
Namun, yang dikeluhkan Daryanto bukan hanya dampaka kenaikan BBM. Dia juga memikirkan pendidikan keenam anaknya nanti. “Anak saya yang pertama baru masuk SMA. Biayanya lima juta. Itu aja udah dapat keringanan dan boleh dicicil. Jangan mikir bisa kuliah dah,” ucapya sembari mengambil anaknya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya, Daryanto memang hanya mengandalkan dari penjualan buah. Istrinya hanya ibu rumah tangga. Padahal keduanya pernah mengeyam bangku kuliah. “Abis kena PHK krisis 98, saya ngga dapet kerja kantor. Susah nyari lowongan, padahal saya punya ijazah kuliah,” laki-laki berumur 38 tahun itu bercerita. Rupanya, kemajuan ekonomi pasca krisis 1998 yang digadang-gadang pemerintah bukan untuk rakyat kecil seperti Daryanto.
Berharap pada BLT sebagai kompensasi kenaikan BBM, bagi Daryanto hal itu hanya sia-sia belaka. Seringnya berpindah rumah kontrakan mungkin menjadi salah satu penyebab dia tidak mendapat BLT. “Teman sepengajian saya yang sama-sama sulit juga ngga dapet, padahal dia jarang pindah-pindah kontrakkan.”
Daryanto menceritakan bahwa temannya juga hidup susah. Teman sepengajiannya memiliki empat orang anak dan pendapatan keluarganya hanya berasal dari komisi penjualan batubara. Istrinya juga hanya menjadi ibu rumah tangga. “Tuh BLT ngga merata kan. Lagi pula, kita kok jadi kaya orang ngemis,” tuturnya sambil tertawa.
Masih dalam tempat yang sama. Di kios yang tak jauh dari Daryanto, terlihat ada keributan kecil. Seorang laki-laki bertubuh pendek berkemeja biru bersama seorang laki-laki bertubuh besar berkaos merah membawa beberapa barang dari sebuah kios. Kios itu milik Darno.
Darno merupakan wanita lansia yang umurnya tak jauh berbeda dari Amini, sekitar 50 tahun. Rupanya, kedua pria itu adalah rentenir. Orang-orang pasar biasa menyebutnya bank keliling. Pada rentenir itu, Darno meminjam uang.
Bulan Oktober 2011, Darno meminjam uang sebesar lima juta rupiah dengan tempo pelunasan bulan febuari lalu. Akibat sudah melewati batas waktu pembayaran belum lunas, beberapa barang dagangan Darno disita pemilik dana. Seperti kunyit, krupuk,bawang merah, kentang. Padahal, disitulah sumber pendapatan darno.
Amini yang melihat kejadian itu turut berkomentar, “bank keliling yang itu memang kejam. Kalau belum bayar dagangan kita langsung disita, ngga mikir kalau kita susah bayar karena susah cari uang.”
Dalam pasar itu, Darno memang dikenal banyak meminjam kebeberapa bank keliling untuk mengatasi ketiadaan modal dagang. Namun, kali ini dia meminjam dalam jumlah besar untuk membiayai rumah sakit anaknya yang dirawat karena terkena DBD.
Amini, Daryanto, dan Darno merupakan mata rantai terakhir dalam jalur perdagangan komoditas pangan, pedagang pengecer, sebelum sampai kekonsumen. Mereka hanya gambaran sekelumit nasip rakyat kecil dalam satu tempat saja.
Mereka termajinalkan karena sulitnya akses pendidikan murah, kesehatan murah, dan naiknya harga BBM. Padahal  semua itu merupakan tanggung jawab negara untuk mensubdisi sektor publik. Dalihnya negara tidak punya sumber pendapatan untuk pembiayaan sektor publik.
Tidak benar jika negara tidak mempunyai sumber pendapatan untuk mensubsidi sektor publik. Indonesia merupakan negara adengan sumber daya alam berlimpah (SDA). Sayngnya, keuntungan dari hasil eksplorasi SDA tidak sepenuhnya masuk ke APBN. Keuntungan itu justru lebih banyak diambil perusahaan penggarap SDA.
Sebagai contoh, keuntungan bersih PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua, setiap tahun dapat mencapai 70 triliyun rupiah. Namun, total kontribusi Freeport hingga Juni 2011 ke negara hanya sebesar 12,8 miliar. Jumlah tersebut terdiri atas royalti USD 1,3 miliar, deviden USD 1,2 miliar, PPh badan USD 7,9 miliar, PPH karyawan dan pajak lainnya USD 2,4 miliar.
Artinya SDA indonesia dikeruk hanya untuk kepentingan pihak swasta asing. Itu baru Freeport. Sudah banyak sekali Perusahaan Trans Nasional Corporation (TNC) yang menancapkan kepentingannya di Indonesia. Contohnya Chevron, Exxon Mobil, Total E&P Indonesie, dll.
Sealin itu, faktor menghilangnya anggaran subsidi publik karena APBN juga dibebani dengan angsuran pembayaran hutang luar negeri. Anggran untuk pembayaran hutang luar negeri ini yang sebetulnya menguras APBN. Angaran membayar angsuran pokok hutang dan bungan hutang dalam dari APBN 2011 tercatat Rp267,509 triliyun. Jauh lebih besar dari subsidi untuk BBM yang harga sebesar Rp178,62 triliun, perhitungan subsidi tanpa kenaikan harga BBM.
Sebagai kompensasi kenaikan BBM satu April mendatang, pemerintah menelurkan progam BLT yang berganti nama menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).  Pemerintah menganggarkan dana BLSM sekitar Rp 25 triliun untuk 18 juta penduduk miskin. Padahal penduduk miskin Indonesia mencapai 36,8 juta. Oleh karena itu, BLSM sangat tidak efektif dan merata. Belum lagi BLSM hanya menciptakan mental rakyat menjadi pengemis.
Tag : ,

Dusun Nisan

By : secawan kopi tubruk

Apakah dusun Popoan akan menjadi nisan saat tak ada lagi yang mau menempatinya?

“Krek-krek”, terdengar denyit pompa besi dari kamar mandi umum di sekitar pepohonan kelapa.
Dari kamar mandi umum  itu, terlihat seorang perempuan mengayuh pompa hijau berlumut hingga embernya terisi penuh air. Perempuan itu meraih ember dan mengangkatnya dengan tangan kirinya.  Tangan kanannya mengengam erat tongkat yang berguna sebagai penopang tubuhnya. Dari sumur,  dia berjalan tertatih-tatih tanpa alas kaki menuju sebuah rumah bambu bercat putih.  Wajahnya berkeriput, rambut putih, tubuh membungkuk, itulah postur tubuh Darmin.  Kebaya lusuh dan kain coklat menempel di tubuhnya yang telah berusianya 90 tahun. Air tersebut hendak ia dipergunakan untuk memancing pompa airnya agar dapat bekerja. Di usia tuanya dia masih harus bersusah payah  mengerjakan pekerjaannya sendiri. Darmin tinggal seorang diri  di rumahnya yang berukuran 4x5 meter.
“Anak-anaknya semuanya pergi merantau ke kota besar. Hanya sesekali mereka datang,” ujar Yanti, tetangga Darmin, sambil mengayunkan pompa.
Darmin merupakan salah satu dari beberapa penduduk Dusun Popoan yang berlanjut usia. Dusun Popoan terletak di Kelurahan Triwarno, Kecamatan Banyu Urip, Purworejo. Dusun yang dikelilingi sawah ini menjadi saksi para lansia berjuang hidup tanpa anak-anaknya. Masih ada beberapa penduduk yang seusia dengan Darmin. Ia memiliki sedikit penduduk, hampir semuanya lanjut usia.
Dari gapura pintu masuk desa, terdapat jalan setapak sepanjang tujuh meter yang membelah dusun. Jalan yang dibangun oleh warga secara gotong royong. Dengan menelusuri jalan setapak tersebut maka akan terlihat beberapa kondisi rumah-rumah yang dikelilingi pepohonan.  Beberapa rumah terlihat berpenghuni. Beberapa rumah lainnya terbengkalai, kosong, setengahnya tahap pembongkaran, bahkan ada yang telah berubah menjadi pepohonan.
   Lima meter dari kamar mandi umum, terlihat sebuah bangku panjang di bawah pepohoan kelapa. Seorang laki-laki terbaring di atasnya. Celana pendek di atas dengkul dan singleut putih melekat di tubuhnya. Rambutnya hitam bercampur uban, kumis tipis melekat diwajah keriputnya. Namanya Nasroh. Usianya memang tidak setua Darmin tapi nasipnya sama dengan Darmin. Dia tinggal seorang diri di rumahnya. Kepala Nasroh mendongkak ke langit yang semakin memanas.
Laki-laki ini sempat merantau ke Jakarta. Kawasan Pulo Gadung pernah menjadi tempatnya bekerja, di pabrik peleburan besi. Dia mengontak rumah di Cipinang Besar Selatan bersama istrinya. Setelah istrinya meninggal dunia, dia kembali kampung.
“Awalnya saya nyari penghidupan yang lebih baik di Jakarta tapi nggak betah. Emang si jadi petani disini kurang mencukupi kalau tidak ada pekerjaan lain,” tambah laki-laki berambut putih ini.
Nasroh menambahkan, ketika bermukim di Jakarta sawahnya yang hanya berukuran 0,3 hektare dikelola saudaranya. “sekarang si ngelola sendiri. Tinggal  buruhin aja orang dari kecamatan tetangga. Mereka kan bukan daerah sawah,” ungkap laki-laki beranak dua ini.
“Waktu saya kecil keadaannya lebih ramai, sekarang dusun makin lama makin sedikit karena anak-anak yang baru lulus langsung pergi ke Jakarta,” ujar Laki-laki berumur 50 tahun ini.
Ini terjadi karena penduduk yang telah lulus Sekolah Menengah Atas pergi merantau ke kota besar terutama Jakarta. Merantau ke kota-kota besar telah menjadi kultur. Alasan utamanya karena pekerjaan sebagai petani tidak menentu, kadang hasilnya memuaskan dan kadang tidak. Selain itu bagi mereka Jakarta dan kota besar lainnya masih menyediakan lapangan pekerjaan bagi lulusan baru. Terutama bagi sekolah-sekolah kejuruan yang bidangnya seperti akuntan dan seketaris.
Matahari telah mencapai puncak. Tiba-tiba seorang perempuan berseragam putih abu-abu melintasi Nasroh. “Dia satu-satunya remaja yang ada disini,” tangannya menunjuk perempuan berseragam abu-abu itu. 
Perempuan itu bernama Dian. Siswi kelas satu Sekolah Menengah Kejuruan ini, termasuk salah satu yang berniat ke Jakarta setelah lulus. “Saya masuk SMK biar cepet dapet kerja di Jakarta setelah lulus,” Dian bercerita sambil membersihkan sepatu hitamnya.
Kakaknya, yang terpaut umur dua tahun darinya, setelah lulus SMK langsung merantau ke Jakarta. Kebetulan, sang kakak langsung bekerja di Yamaha Musik. Sang orang tua tidak berkeberatan jika kedua anaknya merantau. “kata Ibu dari pada jadi petani yang hasilnya ngga tentu. Hasil panen kemarin saja cuma dapat 70%,” ujar perempuan berkulit putih ini.
            Budaya merantau setelah lulus meninggalkan masalah sendiri bagi Dusun Popoan. Jika semua generasi muda meninggalkan dusun popoan ini dan generasi tua sudah terlelap, lalu siapa yang akan menghidupi dusun ini. Akhirnya dusun ini akan menjadi nisan.

(Citra, Jakarta, 2012)


Tag : ,

Jejak Dokter di Gaza

By : secawan kopi tubruk

“Tolong, biarkan aku masuk, aku seorang dokter. Aku ingin memasuki gaza sebagai rasa tanggungjawab kemanusianku,” aku mengemis kepada seluruh otoritas mesir di perbatasan.
            Setelah mendapat berita Israel menyerang Palestina selama beberapa hari, yang menyebabkan ratusan jiwa tewas dan luka-luka, warga pelestina membutuhkan bantuan medis, obat-obatan, dan makanan. Aku bersama beberapa orang dokter dari Norwegia diberangkatkan ke Gaza untuk membantu mereka. Tapi kami tertahan di perbatasan, padahal kami berjarak beberapa meter dari wilayah yang ingin kami bantu. Puluhan dokter dari seluruh dunia termasuk Malaysia, Indonesia, Turki, Yunani, dan lainnya mendapatkan perlakuan serupa di perbatasan selama beberapa hari.
“Otoritas mesir menghentikan kami,” ujar seorang dokter dari Yunani.
“Situasi di gaza sangat menakutkan,” Omran Ibrahim, psikiater dari mesir tidak dapat memasuki gaza, padahal dia berharap dirinya dapat memberikan bantuan apapun yang dapat ia lakukan untuk penduduk gaza. “Banyak penduduk gaza yang mengalami gangguan psikis, terutama anak-anak,” ujarnya, saat berbincang-bincang di tengah siruasi yang tidak mengenakan.
“Menurutmu apakah ini menunjukan lambatnya sikap pemerintahan mesir untuk membantu penduduk gaza?”
“Kurasa tidak, otoritas mesir telah berupanya sebisa mungkin untuk membantu penduduk gaza. Masalah sulitnya akses obat-obatan, tim medis, dan makanan masuk ke gaza adalah karena blokade tentara Israel,” bantah Ibrahim.
“Entah, aku tidak tahu mengapa otoritas mesir lambat bertindak. Ini sudah satu minggu lebih. Sejak awal agresi Israel, ahli bedah dan dokter-dokter Mesir dilarang ke gaza. Kami tidak tahu mengapa pemerintah mesir melarang membuka gerbang rafah, mereka hanya mengizinkan pengiriman korban ke gerbang rafah, itu pun dalam jumlah terbatas. Kita hanya bisa berdoa,” ucap Khaely, dokter Mesir.
“Aku sudah mendapat izin tapi aku tidak akan masuk sendirian karena aku ke sini bersama tim dari Indonesia. Jadi aku tidak akan masuk jika timku tidak diizinkan masuk. Kami akan terus berusaha untuk dapat masuk ke gaza,” ujar seorang dokter dari Indonesia.
“Para dokter hanya dapat melihat kekejaman Israel, tanpa bisa melakukan apapun. Kami tidak dapat masuk ke gaza,” aku menjawab pertanyaan seorang reporter. “Seperti yang kalian lihat, ratusan dokter menunjukkan kesiapan mereka untuk masuk ke Jalur Gaza. Sebagian mereka sudah bermalam di sisi perbatasan Mesir, berharap bisa masuk dari gerbang Rafah. Namun otoritas Mesir menahan mereka.”
***
            “Anda berdua dari mana? Sepertinya anda seorang dokter?” tanya wanita pemilik kedai berumur sekitar tigapuluhan, disusul senyum.
            “Kami berempat dari Norwegia. Kami memang dokter yang sengaja diberangkatkan menuju gaza,” jawab Ali, dokter ortopedi yang rekan setimku dari Norwegia
“Sepertinya kalian juga susah untuk mendapat izin masuk gaza. Sudah beberapa hari, banyak tamu-tamu di sini yang berstatus  dokter dan jurnalis.”
            “Seperti yang anda lihat. Kami terperangkap di sini sudah beberapa hari, ini membuat kami stress.”
            “Ini tehnya silahkan diminum, mungkin dapat menghilangkan stress anda. Maaf jika aku banyak bertanya. Jika butuh aku, silahkan panggil. Namaku Shifa.” Shifa membalikan punggungnya.
            Aku mengangkat gelas yang tadi diletakan Shifa. Sebelum teh berhasil ku masukan kedalam tenggorokan, teh tumpah. Aku terkejut.
            “Nguing. Dumm.” suara yang dasyat tedengar menggetarkan bumi.
            “Astaga. Anda tidak apa-apa?” Shifa menghampiri kami sambil membawa serbet.
            “Aku baik-baik saja. Suara apa itu?”
            “Itu suara pesawat Israel yang menjatuhkan misilnya. Dari tempat ini suara-suara seperti itu sudah biasa terdengar. Kedai ini hanya berjarak 300 km dari pintu gerbang perbatasan. Aku juga pernah melihat asap pekat di angkasa. Di tempat ini, anda dipaksa terbiasa dengan hal-hal itu.” Shifa bercerita lebih banyak kepada kami.
Tempat ini  dinamai Saladin Square karena salah satu jalan yang bermuara di perempatan itu namanya Jalan Saladin. Bahkan, kawasan ini secara keseluruhan disebut Distrik Saladin. Jalan inilah yang berujung di Gerbang Saladin, gerbang yang menjadi pintu masuk ke Jalur Gaza. Namun, sejak tahun 2000, gerbang ini ditutup. Yang disebut Saladin Square atau Salahuddin Square adalah sebuah perempatan jalan di pusat kota Rafah Mesir. Sebuah perempatan jalan yang di setiap sisi perempatan berdiri toko-toko dan warung-warung yang kusam catnya. Ada toko kelontong, warung makan, toko serba ada kecil, ada toko pakaian, dan ada pula toko buah.
”Nguing....,” lagi-lagi suara pesawat Israel.
Hari ini kami sudah melihat beberapa kali pesawat Israel melintas daerah Rafah.
”Saya sejak kecil tinggal di daerah ini. Jadi, sudah begitu terbiasa mendengar suara ledakan bom, suara tembakan, merasakan tanah bergetar, dan melihat pesawat Israel yang melintas tempat ini. Namun kali ini, suara-suara itu sering lebih terdengar.” Isa, supir taksi yang kami tumpangi menceritakan keadaan di sini.
            Setelah kami akan kembali menemui otoritas mesir, memohon lagi agar mendapatkan izin memasuki gaza.
***
            “Uwee, eeee,” tangis seorang bayi yang sedang kuobati.
“Sabar ya, obat biusnya habis,” aku berusaha menenangkannya.
“Anda baru dapat izin masuk ya?” tanya William, dokter dari Inggris.
“Ya, aku terkejut dengan kondisi disini. Ini lebih buruk dari yang kubanyangkan.”
“Beginilah kondisi disini. Setiap hari para dokter harus tahan banting mendengar jeritan dan rintihan para korban. Kita harus kerja 24 jam karena semakin hari pasien bertambah banyak.”
“Apa kau tidak merasa kelelahan?”
“sebetulnya aku sangat lelah, tapi semangat kemanusiaan menggerakan kekuatan ekstra dalam dirimu. Kau bisa lihatkan, pasien-pasien itu bertumpuk menunggu giliran diobati.”
“Dan kita menunggu obat-obatan datang?”
“Yea,. apa boleh buat, bantuan banyak tertahan di gerbang rafah. Jeda tiga jam tidaklah cukup untuk kondisi buruk ini,” William hanya geleng-geleng kepala, pusing menghadapai situasi ini.
Setelah tertahan selama seminggu lebih di perbatasan, akhirnya tim kami mendapatkan izin memasuki gaza. Bersama dokter lainnya kami bekerja di Rs al-Awda di Jabaliya, bagian gawat darurat. Kondisi Rumah Sakit ini sudah sangat memprihatinkan, para dokter melakukan bedah di koridor-koridor rumah sakit, pasien bergeletakan di mana-mana, banyak korban sekarat sebelum mereka akhirnya mendapatkan perawatan. Persedian beberapa macam obat-obatan dan bius habis sehingga kami harus melakkan pertolongan seadanya.
***
            Setelah beberapa hari disini aku dapat melihat dengan jelas kekejaman israel. Kebanyakan korban adalah anak-anak. Yang lebih buruknya, mereka menggunakan senjata fosfor putih. Bukan hanya aku yang berpendapat demikian, dokter-dokter lain juga berpendapat sama. Indikasi penggunaan fosfor putih dapat dilihat dari keadaan pasien, kebanyakan pasien menderita luka terbakar. Israel sudah tak berprikemanusiaan, bahkan mereka seolah tak lagi punya hati untuk sekedar memberi pelakuan yang baik kepada orang–orang yang telah dibunuhnya.
“Oh, Tuhan aku tidak pernah melihat pemandangan mengerikan seperti ini,” aku berkat sambil tersedu.
            Aku biasa menangani korban terluka dan tewas akibat serangan Israel di jalur gaza dalam berbagi kondisi, tapi tidak dengan satu ini. Aku hampir tak percaya yang kulihat.
            “Dokter, saat anakku sadang bermain dihalaman rumah, tentara israel menembak secara membabi buta. Melihat dia tergeletak mengenaskan, kami berusaha meraihnya. Tapi, serdadu Israel mengusir kami dengan hujan peluru.  Kami meninggalkan Saad sendirian dan tentara israel melepaskan anjingnya. Dokter, ternyata anakku dijadikan santapan anjing mereka.” Mahmud, ayah Saad, bocah laki-laki berusia dua tahun, bercerita sambil menangis.
            “Anjing-anjing itu hanya meninggalkan satu bagian utuh bayi malang itu,” aku berkata, dengan air mata berderai, saat menuturkan cerita tragis ini kepada wartawan.
            Muhammad yusuf, tetangga saad yang juga melihat peristiwa ini, menilai tentara Israel sangat mengetahui apa yang mereka lakukan. “Mereka manghalau dan mencegah keluarga yang ingin mengambil manyat Saad, karena mengetahui anjing-anjing mereka akan memakannya,” katanya, menahan amarah.
            Setelah peristiwa Saad, keluarga Husan Omran juga mengalami hal yang sama. Saat Husan Omran dan saudaranya sedang mencoba menguburkan tiga anaknya yang tewas, secara tiba-tiba tentara israel mencegah acara penguburan itu dengan berondongan peluru. Saat mereka menjauh, tentara israel melepaskan anjing-anjing pelacaknya ke arah tubuh-tubuh itu.
            “Apa yang terjadi ini sangat mengerikan dan tidak terbanyangkan, “ kata Husan Omran. “Mereka bukan hanya tewas didepan mata kami, tapi kami juga dicegah untuk menguburkan mereka. Orang-orang Israel melepaskan anjing-anjing ke arah tubuh-tubuh mereka, seakan yang mereka lakukan belum cukup,” katanya sambil menangis.
***
            “Druuu, wung....,” suara pesawat terdengar jelas diseluruh rumah sakit ini.
            “Tidak, kita akan diserang,” seorang pasien berteriak panik.
            ‘Tenang-tenang jangan panik, rumah sakit tidak akan diserang,” William bersaha menenangkan pasien.
            Aku terpaku, tubuhku menggigil. “Gawat, Israel akan menyerang kita. Mereka tidak pandang bulu,” aku mondar-mandir, panik dan takut.
            “Hai, kau harus tenang, kau dokter. Jika kau tidak tenang, pasien akan lebih panik,” bentak Ahmed, kolegaku, sesama dokter dari Norwegia.
            Aku berusaha lebih bersikap tenang. Walaupun ini rumah sakit Israel tidak akan segan menembakan misilnya, sudah beberapa klinik dan rumah sakit yang menjadi sasaran. Kemarin aku mendapat kabar, di Jabaliya seorang dokter Palestina dibunuh tentara Israel. Dia dan timnya sedang menolong korban serangan israel, saat memasuki gedung yang tadinya sudah diserang tentara israel, ternyata beberapa menit kemudian sebuah helikopter menembakan misilnya ke gedung. Dokter bersama timnya dan beberapa wanita dan anak-anak tewas seketika. Tentara Israel memang biadab, tak ada lagi sejengkal pun tempat yang aman untuk berlindung dari kebuasan mesin-mesin perang Israel. Mereka menghancurkan mesjid-mesjid, rumah-rumah, kantor berita dan rumah sakit. Yang lebih sadisnya mereka menghancurkan sekolah milik PBB tempat penduduk berlindung. Ya, tak ada tempat yang terlepas dari serangan israel termasuk rumah sakit ini.
***
            “Dokter ayo cepat!”
            “Aku segera masuk ke dalam ambulan.”
Aku dan kolegaku, Ahmed, masuk ke ambulan yang berbeda. Aku menuju sekolah Al falluj, utara Jabaliya, sekolah itu terkena serangan udara israel. Sedangkan Ahmed menuju ke sebuah rumah runtuh, di dekat mesjid kota Jabaliya, didalamnya terdapat sebuah keluarga. Dari kejauhan, kami melihat ambulan yang di tumpangi Ahmed ditembaki arteleri Israel. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi dengan mereka.
“Ayo cepat, anak ini sudah sekarat,” aku keluar dari ambulan membawa seorang anak yang terluka.
“Wuing, dum.”
Aku melihatnya jelas. Pesawat Israel menjauh setelah melepaskan misilnya di sekitar rumah sakit Al-Awda. Kedua misilnya terjatuh dihalaman parkir yang penuh kendaraan, 15 meter dari pintu gawat darurat. Pintu gawat ikut hancur, petugas medis sibuk memadamkan api di sekitar pelataran parkir. Beberapa menit aku terpaku. Astaga, aku terlupa, anak ini harus segera ku tolong.
“Halo paman yang baik hati!” anak ini tersenyum.
“Jangan bicara dan bergerak dulu, kamu sedang sekarat. Aku akan menolongmu.”
“Tidak usah, sudah tidak apa-apa kok,” dia melepaskan pelukanku.
“Tapi kamu terluka parah, lihat tubuhmu terbakar. Loh mana luka bakarmu?”
“Terimakasih telah membantuku. Aku ingin menemui ibu.” Anak ini berdiri sempurna. Dia pergi meninggalkanku.
Saat ingin mengejarnya, aku melihat Ahmed datang bersama ambulan yang lain. Kakinya terluka. Aku ingin segera mengobatinya.
“Ahmed! Aku akan mengobatimu.” aku menghampirinya.
“Abu khaely!” Dia menangis.
“Ada apa? Kenapa kau memanggil namaku sambil menangis? Ada apa denganku? Aku baik-baik saja. Lihatlah, tak ada luka sekecil apapun pada tubuhku!” Aku tersenyum pada Ahmed.
Petugas medis membawa Ahmed ke ruang gawat darurat, mereka tidak memperhatikan aku. Beberapa meter dari ruang gawat darurat orang-orang sedang sibuk mengangkut mayat yang terkena misil Israel. Saat misil diluncurkan, banyak ambulan yang sedang keluar masuk membawa korban. Korban dokter dan petugas medis yang tewas bertambah. Aku melihat tubuhku dibawa masuk ke dalam rumah sakit.

Jakarta, 2010
Mengenang peristiwa penyerangan Israel ke Jalur Gaza pada akhir masa kepemimpinan Bush.

Tag : ,

Kambing Hitam

By : secawan kopi tubruk

Fatima
20 november 2006
Siang ini kak Rita dating ke rumah mengantarkan sebuah undangan. Ternyata itu undangan ulang tahunnya yang ke 17.
“kaka merayakan pesta ulang tahun ya?” tanyaku.
“tidak hanya sebuah syukuran kok.”
“kok hanya syukuran bukannya kaka mampu mengadakan pesta ulang tahun seperti kak sari saat ualng tahunnya yang ke 17, acara sweetseventin?”
“aku lebih senag mengadakan acara syukuran dari pada mengadakan pesta ulang tahun, boros dan tidak berguna,” ucap kaka Rita merendah.
‘apa semua tman kaka diundang.”
“tidak hanya yang yatim piatu saja, maaf.”
“tidak apa, aku senag dundang kakak kok.”
Kaka rita pamit pulang sambil menampakkan senyum manisnya dan mengucapkan salam. Akubalas salmnya dan tersebtum. Aku senag dengan keprinadian kak rita. Di lingkungan kami, kak rita adalah termauk orang yang disegani, ramah,senag membantu dan tidak sombng.

Ibu
20 november 2006
Siang ini anak pa haji Badri dating ke rumah mencari Fatima.
Aku Tanya Fatima, ‘ima tadi Rita kesini ada urusan apa?”
‘Cuma mengantarkan undangan buat  acara syukuran ulang tahunnya,” ucap Fatima senang.
Akupun ikut senag, Fatima sejuujurnya kamu bukanlah anak yatim, bapakmu hanya tidak mau mengakui kmu sebagai anaknya. Maafkan ibu ima, karena dosa yang ibu lakukan membuat kamu menderita. Rintihku dalam hati.

Fatima
21 november 2006
Kata adalah sebuah senjta yamg tak berwujud yang kapan saja dapat melukai lebih dari sebuah pisau. Saat pulang dari rumah kak rita aku bertemu Ajeng, anaknya pak haji somad, teman sekelas sekaligus teman satu kampung.
“kak rita salah mengundang orang, sharusnya kamu tak patut diundang. Amu kan bukan termasuk anak yatim, bapakmu nggak mati Cuma nggak ngakuin kamu sebagai anak. Alias anak haram,” ejeknya.
“kamu jangan asal ngomong ya,” bantahku.
“pikir aja deh, ibu kerja di nightclub. Amu tahu seperti apa nightclub kan.”
“maaf ya kalau ibuku tidak seperti yang kamu pikirkan. Kenapa kamu sering mengganggu aku sih/ kamu iri padaku kan?” aku tak tahu harus berkata apa lagi.
“yeh siapa yang iri, jangan sok mentang-mentang jadi juara kelas, ketua keputrian remaja mesjid dan seketaris karangtaruna aja udah sombng. Semua orang tahu tentang ibumu, kalau ngga percaya tanya  saja ama yang lain,” ejeknya lebih dalam.
Perihal gunjingan warga terhadap ibu sudah sering aku dengar. Aku memang tidak pernah tahu siapa bapakku, ibu tidak pernah cerita tentang bapak. Jika ku bertanya pada ibu tentang bapak ibu selalu mengalihkan pembicaraan. Apa benar aku ini anak haram. Aku tak mau berburuk sangka terhadap ibu. Jika benara aku lahir tanpa setatus ibu menikah, tidak masalah bagiku, aku akan berusaha sabar. Tapi patutkah aku disebut anak haram. Apakah Allah juga menganggap aku anak haram? Ya Allah beritahukanlah jawabnnya.

Ibu
25 november 2006
Setelah pulang dari rumah Rita, tak seperti biasanya Fatima langsung masuk kamarnya dan mengunci pintu. Dia menangis sesegukan. Aku tak berani mengusiknya karena dia anak yang suka menyendiri. Tadi aku sempat melihat eluar jndela, iam tengah berbincang-bincang dengan Ajeng, ku biarkan saja mereka. Entah kenapa irma bertemu ajeng seringkali dia pulang dengan wajah sedih, mungkin saja Ajeng mengganggu ima, ah aku tak mau cari kambing hitam.

Fatima
4 desember 2006
Jam istirahat di sekolah aku dan teman-teman berbincang-bincang. Kami bercerita tentang pekerjaan orang tua kami. Aku bilang pada mereka ibuku bekerja sebagai penyanyi di nightclub.
Tiba-tina saja ajeng ikut berbicara, “hei teman-teman ibunya ima bukan hanya bernyanyi di nightclub loh, tetapidi kamar, haha” tawanya terasa seperti tawa iblis.
Mendengar ejekannya, aku langsung menangis.
Yanti menenagkanku, “sudahlah jangan dimasukkan kehati.”
“dia Cuma iri sama kamu kok. Mungkin dia bingung mau ngejek kamu, jadi ibumu yang dijadikan kambing hitam.” Tambah tina
Ya Allah berikan kekuatan aku untuk sabar.

18 desember 2006
Hidup manusia memang tak pernah lepas dari masalah, setiap masalah adalah bagian dari cobaan yang diberikan Allah untuk menguji mahluknya yang hadir dalam berbagai bentuk. Ketidakjelasan bapakku, pekerjaab ibu, ejekan ajeng, gunjingan tetangga atau laonnya. Tapi aku yakin Allah tidak akan memberikan cobaan yang melebihi kemampuan hamabnya, maka kau berusaha tabah dan lapang dada.
Kini aku mendapat cobaan baru, masih jelas ditelingaku ucapan kak sari selepas ta’lim remaja mesjid kampungku. “sebentsr lagi kita akan merayakan hari raya kurnban. Sebenarnya aku ingin berkurban tapi tak punya kambing dna uang tabunganku habis buat beli mobil padahal setiap tahun aku ikut menyumbang. Maklumlah nagkutan umum sekarang naik jadi lebih itir bila naik kendaraan sendiriuntuk pulang pergi kekampus. Untuk itu saya mengharapkan bagi yang punya kambing atau uang harap berkurban.”
Hanya Allah yang tahu perkataan itu ditujukan buayt siapa? Tapi aku merasa perkataan itu menyindirku, diantara kami yang mengikuti ta’lim hanya aku yang punya kambing, itupun Cuma dua ekor, warisan dari kakek.
Aneh jika tahgun ini kak sari tidak ikut berkurban. Setahuku bulan lalu kak sari beserta keluarganya berlibur ke bali. Bahkan kata orang-orang n mereka sempat keluar negeri entah kenegara mana. Kabar terakhir yang kudengar kaka laki-laki kak sari, kak tio akan dikuliahkan diluar negeri. Maklumlah dua tahun lalau dia tidak naik kelas. Dari uang saku yang dibelikan iarang tuanya, sudah cukup baggi kak sari untuk ikut berkuran tiipa tahunnya. Enths kurabn kambing atau ikut rombongan sapi. Tapi aku tak mau berburuk sangka.
Samapai dirumah aku ceritakan masalah ini pada ibu, ibu tak banyak bicara namun dari wajahnya aku tahu ibu tiadak rela kambingnya dijadikan kurnban tahun ini.
Ibu hnya berkata,  “kambung kita Cuma dua. Kambing jantan akan ibu jual tiga bulan lagi unutk persiapa kmu masuk SMA, kalu mengandalkan gaji ibun terlalu berat. Sedangjkan kambing betina aklan kita pelihara. Apalagi saat ini sedang bunting”
Akhirnya aku tak ingin membicarakan masalah kambing. Aku tahu biaya untuk menyokalahku cukup berat.

20 desember 2006
Malam ini sepulang dari pengajian, ibu langsung masuk kamar. Aku mendengar ibu menagis tersedu-sedu dimakarnya. Akku tak bersni bertanya karena ibu adalah tipe yang tak mau dikorek masalahnya. Ibu akan bercerita jika akan mengambil keputusan.

Ibu
20 desember
Hari ini ketika pengajian, bu retno menyebut-nyebut namaku dan nama warga kampung yang kebetulan memelhara kambing, setengah memaksa dan menyindir, bu retno meminta kesediaan warga kampung agar mau ikut berkurban.
            Usai pengajian, disaksikan bebera[a orang bu retno berkata kepadaku, “Aku sebenarnya ingin ikut bekurban tapi uangku sudah habis buat membinyayai persiapan kuliah tino di Amerika, maklumlah kuliah di Amerika lebih baik dari di indonesia. Kamukan punya kambing sebaiknya dikurbankan kalau tidak dosa besar yang kamu buat dimasa lalu tidak akan diampuni loh.”
            Aku pura-pura tersenyum dan berkata, “nanti saya pertimbangkan.” Sampai dirumah, aku segera masuk kamar dan menagis sepuasnya.

21 desember
Pagi ini aku keluar rumah untuk berbelanja dipasar, beberapa tetangga menatapku dengan tatapan dingin. Aku tidak apa yang mereka pikirkan? Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, akhirnya aku shalat tahajut mohon petujnjuk.

Fatima
22 desember
Hari ini ibu meminta pendapatku dalam keputusan menyumbangkan kambing untuk bekurban.
“nak kambing jantan kita yang hitam dikurbankan saja, ibu risih dengan para tetangga, mereka membicarakan kita,” kata ibu dengan suara parau.
“tidak boleh”
“Kenapa?”
“karena ibu tidak iklas”
“tidak iklas bagaimana?”
‘alasan ibu bekurban karena risih dengan tetangga bukan karena Allah”
Ibu hanya bungkam menerawang menatap langit-langit ruangan. Mungkin dalam hati ibu membenarakn ucapanku. Ibu menarik nafasa panjang dan berkata, ‘ kamu benar nak, kita harus niat karena Allah. Isnya Allah, Ibu iklas karena Allah.”
Aku lihat mata ibu berbinar dan tersungging senyum bi bibirnya. Hatiku lega. Aku bangga pada ibu.

Ibu
23 desember 2006
Aku datang kemesjid untuk mendaftar kurban. Tapi entah mengapa beberapa orang masih menatapku dengan tatapan aneh. Samar-samar kudengar mereka saling berbisik, :hampir saja dosanyatidak terampuni!”
Usai menydiakan minum untuk suaminya yang bertindak sebagai ketua panitia, bu retno datang menghampiriku. Ia tersenyum dan menepukku,”nah kalau begitu kan lebih baik, selain dapat pahala dosa besarmu akan diampuni.”

Fatima
14 januari 2007
Hari ini selepas arisan ibu-ibu, bu retno mampir kerumahku sekedar untuk berbincang-incang dengan ibu. Dia bercerita tentang anaknya,”kalau kemarin anakku dimasukakn keuniuversitas Amerika sekarang sari kusuruh melanjutkan kuliah di Australia,biar tidak ajuh-jauh dari indonesia.”
Setelah menyuguhkan air minum, bu retno mengajak untk ikut berbincang-bincang. Aku menoalknya secara halus. Dari pada aku mendengarkan ucapan bu retno, lebih baik aku memberi makan si hitam, kambing betina yang sedangbunting.

ibu
14 januari 2007
Hari ini usai arisan, bu retno mampir kerumah. Aku menjamunya dengan senag hati. Dia bercerita tentang sari yang akan kuliah di australia. Setelah menyughkanair minum, fatima beranjak dari kami, walau sudah diajak bu retno dia menolak untuk ikut berbincang-bincang. Dari raut wajahnya, aku tahu ia malasa mendengarkan ucapan buretno.
“ibu, ibu!” tiba-tiba saja fatima berteriak dari arah belakang rumah. Aku segera menghampiriya.
“subahanallah, ibu, si hitam melahirkan sepeluh ekor sekaligus!kata ima dengan wajah tak percaya.

(jakarta, 2007)

Tag : ,

Stasiun Penantian

By : secawan kopi tubruk

Tengah malam, tepat ketika akan berganti hari baru, terlihat beberapa, puluhan, ratusan, bahkan jutaan orang berada di stasiun. Mempunyai tujuan sama, menunggu kereta yang sama, kereta bercat hijau dengan satu gerbong.
***
“Uah,” aku menguap panjang di kursi peron.
Tepat tengah malam, stasiun ini telah sepi. Tak ada lagi pedagang asongan, pengemis, pengamen, dan petugas stasiun. Semua seperti lenyap ditelan bumi. Stasiun ini sudah menjadi rumahku sejak kecil, tak ada hal yang aneh bagiku di sini.
Beberapa orang duduk di kursi yang aku tiduri. Seorang laki-laki berperut buncit, seorang laki-laki berseragam polisi dan seorang wanita muda. Wajah mereka pucat. Seorang laki-laki berjaket usang datang dan duduk di sebelah kananku. Sudah seminggu ini aku melihatnya menunggu kereta tengah malam.
“Aku menunggu istriku pulang, dia bekerja di Jakarta,” suatu hari, saat hanya kami berdua, dia memulai percakapan denganku. “Dia bekerja sampai larut malam demi menambah penghasilan aku yang pas-pasan, aku sangat mencintainya,” laki-laki berjaket usang itu terus bercerita, walau aku tak menanggapinya.
“Bapak mau pergi kemana?” laki-laki berjaket usang itu bertanya pada lelaki berperut buncit di samping kiriku, sekedar basa-basi.
Laki-laki berperut buncit itu diam, tidak merespon. Laki-laki berjaket usang itu mengulang pertanyaan. Laki-laki berperut buncit itu tetap diam, wajahnya semakin memucat, bibirnya menjadi ungu, matanya melotot.
Laki-laki berjaket usang itu mengalihkan pandangan pada seseorang laki-laki berseragam polisi di samping kanannya, melupakan laki-laki gendut tadi, “Pak Polisi, sedang tugas malam?”
Tak ada jawaban. Laki-laki berjaket usang itu tidak mengulang pertanyaannya dan memutuskan untuk diam. Dia menjadi enggan untuk bertanya pada seorang wanita muda di samping laki-laki berseragam polisi. Keheningan melanda. Seorang laki-laki paruh baya berpakaian compang-camping mendekati kursi. Dia tersenyum, entah kepada siapa. Sebuah kereta datang dari arah timur, tanpa informasi dari pengeras suara, kereta bercat hijau. Kereta itu menarik  satu gerbong dengan dua pintu, satu di depan dan satu di belakang. Pintu terbuka, kereta terlihat kosong. Laki-laki paruh baya tadi bangkit dari kursi dan masuk ke dalam gerbong. Sejenak dia melambai ke arah kami, laki-laki berjaket usang itu membalas. Kulirik Laki-laki berperut buncit di sampingku, wajahnya memucat bahkan mirip mayat, tubuhnya menggigil, dan nafasnya tersengal. Sosok setinggi dua meter, bertubuh besar, berwajah seram, keluar dari dalam kereta dan berjalan kearah kami. Dia menyeringai, empat taring tajam di dalamnya seperti sudah siap merobek tubuh kami. Vampir, hantu, jin, iblis, preman, manusia biasa? Aku diam. Laki-laki berjaket usang itu bergidik.
“Sudah waktunya, ayo berangkat!” bentak sosok itu sambil dengan kasar meraih laki-laki berperut buncit itu dan menyeretnya ke dalam kereta.
            “Jangan. Tidak. Sakit,” laki-laki berperut buncit berteriak di dalam kereta.
             “Pak, segera tolong laki-laki itu, dia dalam kesulitan,” laki-laki berjaket usang itu berbicara cepat kepada laki-laki berseragam polisi.
Laki-laki berseragam polisi itu tetap diam, wajahnya tampak memperlihatkan ketakutan.
            “Ayolah Pak, jangan diam saja, dia menjerit-jerit di sana. Itu kekerasan, kalau Bapak takut, Bapak bisa gunakan pis….” sebelum laki-laki berjaket usang itu menyelesaikan kalimatnya, sosok itu telah menarik dan menyeret laki-laki berseragam polisi itu dengan cepat.
            Laki-laki berseragam polisi itu berusaha melepaskan diri tapi tidak mampu, dia terlihat begitu kesakitan, matanya membelalak, mulutnya terbuka seakan ingin berteriak. Sementara laki-laki berjaket usang itu masih terpaku, wanita muda itu bangkit dan berjalan menuju sosok seram itu. Sebelum ditarik kedalam kereta, sosok itu memukul payudara, perut dan kemaluan wanita muda itu. dia tidak menjerit apalagi melawan. Laki-laki berjaket usang itu memuntahkan isi perutnya ketika pintu kereta tertutup, padahal sebagian tubuh wanita muda itu masih di luar pintu. Kereta pergi meninggalkan kami, aku dan laki-laki berjaket usang yang masih tertegun, berada dalam kesunyian stasiun.
***
Di stasiun ini aku banyak melihat macam-macam orang menunggu kedatangan kereta dan turun dari kereta. Inilah tempat aku tidur dan mencari makan.
Aku mendekati laki-laki berjas hitam, “meong.”
“Kucing sialan, bulumu mengotori pakaianku.” Dia menendangku, aku terlempar jauh dari laki-laki berjas itu.
Aku mendekati kumpulan laki-laki berpakian putih-putih, “meong.”
“Kucing kau kurus sekali, pasti tidak ada yang memperhatikanmu. Manusia jaman sekarang memang sudah jauh dari ajaran agama makanya mereka tidak peduli sesama.” Laki-laki berjengot lebat itu mengelus kepalaku, dia menolehkan pandangannya kepada laki-laki berpeci putih. “Bisa tolong belikan makanan untuk kucing ini, dia harus kita bantu.” Laki-laki berjenggot tebal itu menyerahkan uang dari dompetnya dan memberikannya pada laki-laki berpeci putih, “tolong belikan beberapa potong ayam di warteq itu.”
Laki-laki berpeci putih membawa sebuah bungkusan, dia membukanya, beberapa potong ayam. “Ini untukmu kucing kurus, berterimakasihlah pada guruku, dia orang yang sangat pemurah dan bijaksana,” laki-laki berpeci putih itu berkata seraya menoleh ke arah laki-laki berjenggot lebat. Laki-laki berjenggot lebat itu tersenyum.
Esok harinya, aku mengemis pada setiap orang di stasiun ini, berharap ada yang berbaik hati seperti laki-laki berjenggot lebat kemarin.
“Meong,” aku mengemis pada wanita bergaun hijau.
“Hus, bulumu menempel di kulitku, bisa rusak kulitku,” dia menghindariku dan melangkah ke tempat lain.
“Meong,” aku mengemis pada laki-laki berseragam coklat.
“Hus, kucing jelek. Kalau lapar jangan mengemis padaku, pemerintah tidak mengurusi binatang kelaparan. Aku hanya mengurusi manusia yang kelaparan yang tidak ada habis-habisnya, yang selalu menuntutku, menganggu kanyamanan hidupku saja.” Laki-laki berseragam coklat itu berceloteh sambil mengibas-ngibaskan kakinya.
“Meong,” aku mengemis kepada seorang wanita.
“Alhamdulillah kita selamat dari razia semalam.” Dia sedang bercakap-cakap dengan wanita berpakaian hitam di sampingnya, tidak melihat aku berdiri di depannya.
“Meong,” aku mengemis sambil menggesek-gesekan tubuhku di kakinya.
“Ooh, kucing manis, dari tadi kamu di sini ya, maaf aku tidak tahu.” ucap wanita itu sambil mengelus kepalaku.
Wanita itu mengeluarkan sebuah bungkusan dan botol minuman dari tasnya. Dia membuka bungkusan itu, sepotong ayam dan nasi. Dia melepas sepatunya dan menuangkan air kedalam sepatunya. “Makan dan minumlah!”
“Hei, itu makan yang baru kau beli? Mengapa kau berikan kepada kucing itu? Kau sendiri belum makan,” wanita berpakaian hitam itu mendengus.
“Kasihan dia kurus sekali.”
“Kau ini jangan sok peduli. Kita sebagai manusia tidak ada yang memedulikan kemiskinan kita, bahkan ketika kita bekerja demi bisa menghidupi keluarga, kita justru dihujat.”
Wanita itu hanya tersenyum dan mengelus kepalaku yang sedang sibuk menikmati makanan.
***
Stasiun ini telah sepi, tepat tengah malam, aku tidur di kursi peron. Seorang laki-laki berjalan menuju kursi. Rupanya laki-laki berjaket usang. Sudah seminggu aku tidak melihatnya. Laki-laki berjaket usang itu duduk disampingku.
Sebuah kereta bercat hijau dengan satu gerbong meluncur perlahan. Laki-laki berjaket usang itu terlihat tegang, wajahnya menyiratkan rasa takut. Kereta  itu tidak berhenti di stasiun ini, dia terus meluncur meninggalkan stasiun ini. Laki-laki berjaket usang itu menghela nafas panjang. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
 “Halo, Sih, ada apa?”
            “Mas, maaf kamu harus menunggu satu jam lagi, aku baru keluar setengah jam lagi,” suara itu terdengar parau.
            “Ya, aku tunggu kamu. Sih, ada apa denganmu, suaramu terdengar parau?”
            Tenang saja, aku baik-baik saja.” Diam beberapa detik. “Mas, aku mencintaimu.”
            “Aku juga mencintaimu. Ada apa, Sih?”
            “Tidak ada apa-apa. Sudah dulu, Mas.”
“Ya.”
Laki-laki berjaket usang itu menyandarkan kepalanya di kursi, matanya memandang langit, seperti memikirkan sesuatu. Dia menoleh ke arahku, mengangkat tubuhku kepangkuannya.
“Kucing manis sudah seminggu kita tidak bertemu. Sih sedang tidak lembur bekerja, jadi aku tidak harus menjemputnya di stasiun ini. Seminggu ini, sisa waktu sepulang bekerja kami habiskan bersama, membayar kebersamaan yang hilang karena kesibukan bekerja.” Laki-laki berjaket usang ini terus berceloteh.
Beberapa orang berdatangan, mereka duduk di kursi yang sama denganku. Laki-laki berjaket usang ini berhenti berbicara.  Tiba-tiba terlihat sebuah kereta bercat hijau dengan satu gerbong meluncur ke arah kami. Melihat kereta itu, wajah mereka mendadak pucat dan memperlihatkan kepasrahan. Kereta berhenti, ke dua pintu gerbong terbuka lebar, seperti sudah dikomando mereka serentak naik ke dalam gerbong. Tidak terlihat sosok setinggi dua meter yang menyeramkan itu, laki-laki berjaket usang ini menarik nafas tenang. Stasiun sudah lengang. Hanya ada aku dan laki-laki berjaket usang ini, yang masih setia menghuni peron.
Setengah jam berlalu dalam kelenggangan, kereta itu belum juga meninggalkan stasiun. Seperti ada yang ditunggu. Laki-laki berjaket usang memperhatikan kereta bercat hijau itu, wajahnya memperlihatkan rasa penasaran. Laki-laki berjaket usang melepaskan aku dari pangkuaannya, dia bangkit dan berjalan menuju pintu gerbong, memasuki kereta bercat hijau dengan satu gerbong tersebut. Entah mengapa, aku mengikuti laki-laki berjaket hitam itu. Begitu masuk, istingku merasakan keanehan. Kutatap wajah laki-laki berjaket hitam itu, terlihat dia sangat terkejut. Kereta satu gerbong dengan dua pintu itu ternyata panjang sekali. Ternyata di dalam kereta ini telah duduk puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan penumpang. Ekspresi wajah mereka beraneka ragam.
Aku mengamati penumpang satu persatu, begitu pula laki-laki berjaket usang itu, dia terlihat sedang mengamati penumpang satu persatu. Ada beberapa orang yang menggunakan tanda pengenal yang sekias tampak seragam. “Islam, Kristen, Hindu, Budha, tidak tahu, tidak tahu, “ laki-laki berjaket usang itu membaca makna tanda pengenal tersebut. Mereka tampak tenang, tak terpancar kegelisahan apalagi ketakutan dari raut wajah mereka, hanya ada pancaran kepasrahan.
Aku terus berjalan mengikuti laki-laki berjaket usang itu sambil memperhatikan penumpang satu persatu. Ada beberapa orang berpakaian putih-putih, ada yang tersenyum, ada yang terdiam, ada yang tampak ketakutan. Aku melihat laki-laki berjenggot lebat dan laki-laki berpeci putih yang pernah kutemui. Laki-laki berjenggot lebat terlihat gelisah sementara laki-laki berpeci putih tampak tenang. Aku ingin menemuinya, mengemis makanan lagi, tapi kakiku tidak mau diajak menuju dirinya. Menyerah karena kaki tidak mau digerakan, aku terus mengikuti laki-laki berjaket usang itu. Aku melihat beberapa orang berjas, termasuk laki-laki berjas yang pernah menendangku, hampir semua raut wajah mereka terlihat suram. Aku melihat beberapa orang berseragam coklat, termasuk laki-laki berseragam coklat yang pernah ku temui, beberapa di antara mereka memangku bangkai tikus yang sudah belatungan. Makanan basi. Kami mempercepat langkah, menjauhi orang-orang dengan bangkai tikus itu. Aku melihat wanita bergaun hijau, matanya melotot. Aku juga melihat wanita yang memberiku makan dan minum bersama wanita berpakaian hitam kemarin. Wanita itu berdiri dari kursinya, mendekatiku dan mengelus kepalaku, “terimakasih kucing manis.” Aku tidak mengerti maksudnya. Wanita itu duduk kembali di kursinya, dia masih tersenyum padaku. Wanita berbaju hitam di sampingnya terlihat ketakutan.
Aku terus mengikuti laki-laki berjaket usang. “Dimana pintu keluarnya? Sudah berapa jam aku disini? Aku harus menjemput istriku.” Wajah laki-laki berjaket usang itu terlihat ketakutan. Laki-laki berjaket usang itu tiba-tiba berlari, aku tertinggal. Terlambat, aku tidak dapat mengikutinya. Akhirnya aku terus berjalan sendirian.
Aku berhenti berjalan, lelah. Aku menjatuhkan tubuh kelantai, ingin menidurkan diri. Belum sempat mataku terpejam sempurna, tiba-tiba tubuhku terayun diudara. Sosok menyeramkan setinggi dua meter.
“Disini bukan tempatmu, kucing. Kamu tidak bisa naik kereta ini. Ini khusus manusia. Untukmu ada kereta yang berbeda,” dia berbicara cepat. Dia meletakan tubuhku di luar gerbong. Ah, ternyata pintu gerbong sedekat ini.
Aku melihat laki-laki berjaket usang berdiri di depan pintu gerbong, dia tengah berbicara dengan seorang wanita.
“Mas, aku bahagia hidup bersamamu. Terimakasih atas kesetianmu. Carilah wanita yang dapat membahagiakanmu dan dapat memberimu anak,” wanita itu tersenyum, dia melambaikan tangan kepada laki-laki berjaket usang. Pintu gerbong tertutup dan kereta bercat hijau dengan satu gerbong itu meluncur dengan cepat. Kereta itu menuju arah matahari tenggelam.
***
Seusai azan subuh berkumandang, dari pengeras suara mesjid terdengar lantunan syair-syair, memenuhi stasiun ini.
Eling-eling manungso
Pulangne tumpok kereto jowo
Rodo papat rupo manungso
Tak tunggune neng stasiun
Tag : ,

- Copyright © Secawan Kopi Tubruk - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -