Archive for Juni 2013
Bagai telur di Ujung Tanduk
By : secawan kopi tubruk
Bagai telur
di Ujung Tanduk*
Oleh: Citra Nuraini
Ketiadaan
jaminan hidup bagi para penggiatnya, ditambah sulitnya regenerasi membuat
samrah makin hilang eksistensinya.
“Fi
bayarin arkodeon saya lima juta,” ucap ali sabeni.
“yah
cing, saya sudah punya. Buat apa punya dua. Emang untuk apa cing?” ucap seorang
wanita.
“buat
berobat,” balas sabeni.
Ali
sabeni berniat menjual satu-satunya arkodeon miliknya, alat musik yang biasa
menemaninya mencari nafkah, kepada fifi muntaco. Sabeni butuh uang buat
berobat. Dia menderita sakit jantung.
Mengharap
punya uang banyak dari samrah? Tidak mungkin. Jangankan memiliki tabungan,
untuk biaya hidup saja sudah susah. Harga sekali tampil samrah Cuma sekitar 3
sampai 4 juta. Uang tersebut dibagi 10 orang, tiap orang mendapat 300-400 ribu.
Dari
uang yang didapat, masih harus dipotong untuk transportasi dan makan. Terlebih
panggilan untuk pentastidka menentu, kadnag sebulan hanya beberapa kali tampil
atau malah sama sekali tak ada.
Makanya
untuk menambal kebutuhan hidup, semasa muda Ali Sabeni juga bekerja sebagai
tukang las. “kalau Samrah dijadikan buat penghasilan hidup, tidka cukup,” ujar
laki-laki beranak tujuh ini.
Malangnya,
kini sabeni telah berusia 77 tahun. Ia sudah lemah untuk bekerja, panggilan
untuk pentas pun jarang didapat. “sekarang belum tampil-tampil, sudah tua tidak
ada yang menyentuh (memperhatikan-red),” ujar sabeni.
Padahal
keinginan berkesenian sabeni tidak perlu diragukan. Baginya music tidak ada
istilah tua muda. Jika masih sanggup, dia akan terus bermusik. Istrinya,
sutinah malah sering jengkel melihat kondisi sabeni. “saya sakit hati, saya
bilang sini pak alat musiknya dijual. Tidak ada yang memperhatikan. Biar hilang
saja samrah, habis,” geramnya.
Walau
tak serupa, tapi nasip susahnya jadi seniman juga dirasakan fifi muntaco.
Perempuan berumur 44 tahun ini satu-satunya anak firman muntaco yang mau
meneruskan samrah.
“waktu
itu, tahu-tahu udah berkumpul kakek-kakek dirumah. Kata bapak itu pemain samrah,
kemudian jadi group,” kenang fifi. Pada 12 januari 1992, firman meninggal.
Tampuk kepemimpinan sanggar dipimpin fifi hingga kini, yang sebelumnya diberi
nasihat untuk membesarkan samrah. “Bapak berpesan setelah tampil di acara salam
canda di TVRI bulan Oktober 1991,” tambahnya.
Sialnya,
usaha untuk mempertahankan samrah malah ditentang zaman. Samrah yang didominasi
lagu melayu jadi kurang popular buat masyarakat kini. “Pernah ada yang bilang
tarifnya jangan mahal-mahal karena lagunya tidka dikenal. Makanya, kami juga
fleksibel bisa lagu dangdut atau pop,”tambah fifi.
Lagu
pengiring orkes samrah berupa lagu-lagu melayu tahun 50-an hingga 60-an. Cirri
tempo lagu masa itu cenderung lebih lambat. “kaya lagu Jembata pate, tidak enak
dinyanyikan. Orang pada ngantuk mendengarnya,” tutur fifi. Alat musinya pun
sulit dimainkan, arata-arata bernada minor, yang menghasilkan irama lambat.
Demii
mempertahankan hidup, kini para penggiat samrah harus putar otak. Sanggar fifi
sendiri akhirnya menyediakan pertunjukan lain seperti hadroh (kesenian rebana),
palang pintu (tradisi penyembutan calon pengantin dalam adat pernikahan
betawi), tanjidor, organ tunggal. Pembuatan ondel-ondel dan makanan betawi pun
dikerjakannya.
“kerja
saya serabutan. Semua saya kerjakan, yang penting bisa dapat uang. Akhirnya
berbagai hal kita layani agar dapat terus hidup,” ujar permepuan kelahiran
tahun 67 ini.
Sebagaimana
layaknya mempertahankan kesenian tradisional, samrah juga menghadapi masalah
regenerasi. Sabeni pernah mengajak warga untuk turut melestarikan samrah, ”saya
suruh anak-anak muda dating, belajar sama saya.”
Ajakan
Sabeni tak digubris, harapannya meredup. Hingga kini, group pimpinannya
mayoritas beranggotakan anak dan cucunya. Anaknya, zulbachtiar memainkan
gendang, Zulfah jadi penyanyi orkes, dan NurulFadilah terkadang menggantikan
Sabeni memainkan arkodeon. Cucunya, Abdul hair memetik gitar, fiffa septian
memainkan tamborin.
Sisanya,
tiga orang pemusik di luar keluarganya. Kesulitan regenerasi dirasakan betul
oleh sabeni buat mencari penari. Penari yang dulu menarikan tari samrah di
group sabeni, kini telah menikah, dan belum ada penggantinya.
“memang
hamper rata-rata polanya kekeluargaan. Karena memang mereka kesulitan
mensosialisasikan ini kepada masyarakat sekitar jadi tentunya keluarganya dulu
yang diperkenalkan,”ujar Rudi haryanto.
Fifi
lebih giat mencari regenerasi. “bareng teman-teman, saya cari anak-anak muda
yang suka music,” cerita fifi. Bahkan, dalam perekrutan, dia mensyaratkan
minimal orang yang mau bergabung bisa memegang dua jeis alat music.
“Merekrutnya dari temen, guru music, keluarga, ada juga anggota yang bawa
orang,” paparnya.
Ada
juga orkes Samrah pimpinan Widya. Awalnya group samrah yang anggotanya
didominasi pemuda memang berniat mempertahankan samrah. Namun belakangan
sanggar pelangi turut menampilakn kesenian betawi lain seperti gambang kromong.
Alasannya sama, kesulitan financial. “kalau tidak ada kerjaan, saya ngamen.
Jadi seniman budaya itu miskin,” tutur malih, anggota snaggar pelangi.
Samrah
kian surut. Padahal eksistensi samrah, tonggak kehidupan para pengiatnya dan
demi mempertahankan budaya local. Namun, melebarkan sayap diluar samrah, justru
melunturkan eksistensi samrah. “kalau ada jaminan dari pemda, senimandaerah
bisa totalitas di music,” ujar malih.
Tujangan
material sempat diberikan pemerintah kepada sanggar-sanggar. “Pada zaman rudi
saleh (ketua LKBtahun 1980-red) ada 50.000 tiap bulan. Sekarang sudah tidak
ada, ungkap Ali. Sedangkan menurut fifi, tunjangan yang diberikan berupa dana
akhir tahun. Dia mendapat 250.000 dari LKB.
Seketaris
Divisi Kajian dan Pengembangan Dinas Pariwisata DKI Endrarti fariani
membenarkan ada tunjangan kepada sanggar-sangar sejak tahun 1970. Namun, sejak
2004 dana hibah diberhentikan dengan alasan tidak efektif. Akhirnya dana
pengembangan kebudayaan hanya diberikan pada wadah yang menampunya, seperti
LKB.
Selain
bantuan dana. Ada harapan untuk memproduksi lagu-kagu samrah dalam jumlah
besar. ”kelemahannya samrah itu, musiknya sedikit, rekamannya sedikit. Pernah
LKB merekam tapi terbatas.,” keluh fifi.
Sosialisasi
juga diperlukan guna lebih mempopulerkan samrah seperti pada 1980-an. Kala itu
Samrah cukup bergensi. Pelatihan-pelatihan juga amat diperlukan mengingat
lagu-lagu smarah adalah lagu-lagu lama. “karena dipelajarinya juga agak susah,”
jelas fifi.
Mengingat
samrah bagai telur di ujung tanduk, pemeirntah perlu secepatnya bergerak
menyelamatkan marah sebagai usaha pelestarian budaya local. Dan tentunya
ketegasan para penggiatnya, untuk tak mendua dan fokus kepada samrah.
*diterbitkan dalam rubrik seni budaya majalah Didaktika edisi 41
Tag :
Jurnalistik,
Dari Tanah Abang Terus Bermetamorfosis
By : secawan kopi tubruk
Dari Tanah Abang Terus Bermetamorfosis*
Oleh:
Citra Nuraini
Ketiadaan
pakem dan tuntutan zaman memaksa samrah terus mengubah bentuknya.
Sabtu
siang, pukul 12.00, gerimis membasahi Jalan Manunggal XVII. Disebuah rumah
berukuran 15x4 meter, bernomer 35, bercat putih, seorang laki-laki membaringkan
badannya di karpen merah kemang-kemang. Suara orang mengaji terdengar dari
saluran radio khusus orang Betawi, radio Rodja. Seorang wanita menghampiri
laki-laki tersebut dan membangunkannya, “Pak-pak, ada tamu.”
Laki-laki
itu bangkit, tersenyum dan mengenakan peci hitam. Menutupi rambut hitamnya.
Sarung kotak-kotak melengkapi baju koko panjang merah muda yang sedikit
acak-acakan ditubuhnya. Laki-laki ini bernama Ali Sabeni. Laki-laki kelahiran tahun
1934 ini merupakan pemain samrah tertua yang masih hidup.
“Tahun
’60-an, saya sedang giat-giatnya bermain musik. Terus saya bertemu keluarga
bekas pemain samrah tahun ’20-an, orang tua generasi kedua. Katanya bikin ini
musik namanya samrah. Ini musik asli Tanah Abang. Nah itu awalnya samrah,”
ungkap Sabeni.
Samrah
dilahirkan di Tanah Abang pada abad 18 awal. Kala itu, Tanah Abang meruakan
pusat perdagangan para pendatang dari Cina, melayu, India, Arab, Pakistan, dan
Malaya. Di Tanah Abang, para pendatang tak cuma berdagang. Mereka menetap dan
berbaur dengan masyarakat pribumi. Embrio membentuk kelompok musik muncul
ketika anak muda Betawi beserta tetangganya dari Arab, Melayu, dan India
berkumpul dan bermusyawarah.
Kelompok
musik ini mereka namakan samrah. Nama samrah diambil dari bahasa arab
‘samarokh’ yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Kata ‘samarokh’
diucapkan oleh orang Betawi menjadi ‘sambrah’ atau yang lebih dikenal ‘samrah’.
Dengan
niat membentuk kelompok musik, mulailah mereka membawa alat musik dari
negaranya masing-masing. Orang Betawi
membawa gendang calte, malaka, dan tamborin. Lalu, orang Arab membawa ols,
orang Melayu membawa fiur atau biola, dan orang India membawa harmonium.
Mereka
menyajikan lagu-lagu yang sifatnya berbalas pantun. Pengaruh melayu yang kuat
kala itu membuat lagu pengiringnya menggunkaan lagu melayu. Seperti Lagu Anak
Ikan, Anak raja Turun Beradu, dan sebagainya.
Agar
lebih menarik, orkes ini turut menghadirkan penari. Tari samrah bisa dilakukan
berpasangan atau perorangan. Gerakannya mirip tari melayu yang mengandalkan
langkah kaki dengan lenggang yang berirama, posisi membungkuk, dan jongkok.
Bedanya,
tari samrah punya gerakan salawi, yaitu jongkok hampir seperti duduk bersila.
Salawi lebih dari sekedar membugkuk, sehingga membutuhkan keterampilan sendiri.
Biasanya penari samrah turun berjoget dengan diiringi orkes samrah dan nyanyian
seorang biduan. Iramanya pun bisa lembut dan cepat.
Kedua
kesenian ini sering dipentaskan pada pernikahan Betawi yang mengenal tradisi
malam mangkat dan maulid. Di malam itulah para undangan berkumpul untuk
mendengarkan pembacaan maulid Al-barjanzi. Setelah itu, mereka mementaskan
music dan tari dilanjutkan dengan cerita.
Kala
itu, cerita dibacakan oleh penonton atau tamu undangan. Sebagai hiburan dan
hobi saja. Jadi sifatnya spontan. Makanya, petunjukan dapat dilakukan diatas
panggung maupun tanpa panggung, yakni hanya dengan pentas berbentuk arena
sesuai dengan keadaan tempat.
Pun
dengan kostum, di betawi, orang biasa dating menggunakan jas, kain plakat, dan
peci saat menghadiri pernikahan. Pakaian itu yang kemudian menjadi seragam
utama.
Tak
cukup bermusik dan menari para pemainnya juga turut membuat tonil samrah demi
menyempurnakan kesenian Samrah. Tonil ini merupakan pengembangan dari teater
bangswan yang disebut Durmuluk. Durmuluk berasal dari melayu riau dengan cerita
shibulhikayat dan komedia stambul.
Lengkaplah
kesenian samrah berisi musik, tari, dan tonil. Orkesnya ideal beranggotakan 10
orang, 8 pemain musik dan 2 penyanyi. Sedangkan tari samrah dan tonil samrah
tidak mempunyai pakem.
Walaupun
demikian, samrah hanya berisi lelaki. Pengaruh islam yang kuat pada masyarakat
betawi tengah membuat permeuan dianggap haram berkumpul dengan lelaki, terlebih
berkesenian.
Dari
Tanah Abang, Samrah terus berkembang ke daerah Betawi tengah lainnya. Cikini,
Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar, dan Petojo. Uniknya, orkes
Samrah mampu berdiri sendiri, sedangkan tari Samrah dan Tonil samrah tidak bisa
ditampilkan tanpa irama orkes Samrah.
Selama
perkembangannya, samrah tak selalu mulus. Pada 1940-an, masa pendudukan Jepang
sempat jadi batu kerikil. Pemerintah kolonial jepang bersifat represif terhadap
pribumi, tak terkecualkarena nilai keagamaan di Betawi i Samrah.
Pada
1950-an, samrah muncul kembali dan memulai metamorfosisnya. Dimulai dengan
dominasi harmonium pada orkes samrah. Selain itu, permepuan mulai ambil peran
dalam samrah, karena nilai keagamaan di Betawi kala itu lebih beragam.
Tak
berhenti sampai disana, makin kuatnya pengaruh kebudayaan melayu di nusantara
membuat samrah lebih dikenal sebagai orkes melayu. Namun, penggunaan harmonium
mulai jarang, karena sulit didapat. Alternatifnya, digunakanlah arkodeon.
“Teman-teman samrah sekarang ini tidka memakai harmonium tapi arkodeon, yang
suaranya hamper mirip,” ungkap Rudi Haryanto, Kepala Bagian Pengembangan
Kebudayaan Betawi (LKB).
Makin
berkembangnya kondisi Jakarta juga terus membuat samrah bermetamorfosis. Orkes
samrah tak lagi menggunakan lagu melayu, melainkan bahasa betawi dengan beragam
dialek. Bentuk seperti ini membuat nama orkes samrahkembali lebih popular
ketimbang orkes melayu.
Walaupun
demikian, kini dalam pementasan samrah, group yang masih bertahanpunya pilihan
sendirisebagai lagu pengiring. Ali sabeni menilai, lagu-lagu pengiring music
samrah ialah lagu-lagu melayu tinggi. “itu kan lagu-lagunya melayu lama, orang
betawi lama. Jadi kalao orang tanah abang dialeknya kaya orang melayu,” ujar
Ali sabeni.
Pendapat
berbeda disampaikan Fifi Muntaco, anak Firman Muntaco salah satu seniman Samrah
yang terkenal pada masa jayanya. Music samrah memiliki lagu pengiringnya
tersendiri. Lagu-lagu itu memiliki dialek melayu betawi tersendiri, berbeda
dengan dialek melayu tinggi. baginya, musik samrah dengan dialek melayu tinggi lebih
mirip orkes melayu. “Kalau menurut ajaran orang tua saya. Itu bukan samrah. Itu
music melayu. Walau samrah pengaruhnya dari melayu, itu melayu. Samrah punya
music sendiri,” sanggah fifi.
Jika
dulu tempo musiknya cenderung lambat dan mendayu-dayu, maka tempo music music
dan lagu saat ini lebih cepat. Metamorfosis, disorong oleh perubahan zaman dan
ketiadaan pakem bagi samrah.
Group
Ali Sabeni yang biasa menyenyikan lagu melayu asli, saat penontonya dari
kalangan anak muda, lagu-lagu melayu modern yang bertempo lebih cepat turut
dipilihnya. Seperti: Asmara Dewi, bahtera Laju, bayangan, Bimbang ragu,
Lembaran Bunga, diambang Sore, Lagu rindu.
Selain
dari segi lagu dna tempo music, perubahan juga terjadi pada alat-alat musiknya.
Penyesuain juga terjadi karena onderdil alat music produk tua sulit didapat,
seperti harmonium yang diganti arkodeon. Kini, group samrah tidak ada yang
benar-benar akustik, salah satu alat ada yang menggunakan listik. “sekarang
tidak ada yang benar-benar akustik. Pasti ada listrik-listriknya,” ujar fifi.
Dari
segi pakaian pementasan pun turut beragam, nama pakaianya jung serong
(unjungnya serong). Terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas merah
tutup dengan pentolan satu warna dan sepotong kain yang dililitkan dibawah jas,
dilipat menyerong, ujungnya menyembul kebawah.
Sejak
awal, smarah memang tak punya pakem. Oleh karena itu, sangat memungkinkan
baginya untuk melakukan inovasi dan penyesuaian. Apalagi buat group samrah yang
masih bertahan guna bertahan hidup.
Tag :
Jurnalistik,
Perebutan Akses dan Kontrol
By : secawan kopi tubruk
Perebutan Akses dan Kontrol
Sumber Daya Alam sebagai basis ekonomi
merupakan medan pertarungan dalam memperebutkan akses dan kontrol. Tiga
kekuatan yang bertarung: masyarakat, negara, pasar.
Judul = Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasan, dan Politik Ekologi
Penulis = Darmanto dan Abidah B. Setyowati
Penerbit = Kompas Populer Gramedia (KPG)
Tebal = 458 halaman
Sumber
Daya Alam (SDA) merupakan salah satu titik vital kehidupan masyarakat.
Distribusi keuntungan dari SDA akan selalu diperebutkan oleh beragam aktor. Masyarakat
lokal akan berusaha meneguhkan klaim kepemilikan. Namun, bagaimana masyarakat lokal dapat meneguhkan klaim kepemilikan SDA ketika
mereka berhadapan dengan negara dan pasar? Tindakan apakah yang mereka lakukan
untuk mendapatkan distribusi keuntungan dan untuk tujuan apa?
Buku duet Darmanto
dan Abidah B. Setyowati Berebut
Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan
dan Politik Ekologi (KPG,
2012) menggambarkan sketsa realitas itu. Melalui pendekatan etnografi, buku ini
melihat secara detail masyarakat adat Siberut sebagai kajian utama. Buku ini
memijakkan analisisnya pada teori akses dari Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Pelluso
untuk melihat dinamika beragam aktor dalam konstelasi memperebutkan hutan
Siberut.
Buku ini menarasikan
rumitnya perebutan akses dan kontrol terhadap hutan yang mewujud dalam perilaku
kehidupan sehari-hari. Konsep
akses dimaknai sebagai proses siapa mendapatkan keuntungan dari SDA,
dengan cara bagaimana dan kapan. Akses ialah ‘bundelan dan
jaringan’ yang berisikan makna, proses, dan relasi sosial yang membuat
aktor-aktor ‘mendapatkan kemampuan untuk mendapatkan kontrol dan memerihara
akses terhadap sumber daya alam’.
Hanya berdasarkan
klaim berdasarkan hak atas property (property rights) tidaklah cukup
untuk menjamin bahwa sumber daya alam akan jatuh ketangan masyarakat lokal.
Kemampuan aktor mendapatkan SDA ditentukan oleh ragam faktor seperti akses terhadap
teknologi, modal, pengetahuan, otoritas (politik maupun kultural), serta relasi
sosial, yang hidup dalam bundel-bundel dan jaringan kekuasaan. Sehingga
tidaklah aneh jika masyarakat Siberut mesti berjuang untuk mendapatkan
keuntungan dari hutannya. Dengan
teori akses, analisis bisa menghindarkan jebakan simplifikasi relasi pada
oposisi biner: negara plus rezim kapitalis hutan versus masyarakat dengan
kearifan lokalnya.
Buku
ini ingin mengatakan bahwa hubungan antara manusia dan hutan selalu dilandasi
oleh masalah produksi dan kekuasaan. Jauh sebelum kolonialisme maupun sebelum
terikat dengan pasar yang lebih luas, masyarakat Siberut telah terlibat relasi
yang saling menguasai dengan hutan. Dalam kepercayaan lokal, hubungan simbolik
manusia dengan hutan berarti juga negosiasi dengan roh-roh yang menguasai
hutan. Dalam corak produksi yang subsisten maupun nonsubsisten dan struktur
sosial yang egaliter, negosiasi ini berlangsung terus-menerus sehingga bersifat
mendua. Namun, disisi lain hutan juga memiliki sisi material yang dibutuhkan
untuk keberlanjutan hidup.
Ketengangan
antara sisi simbolik dan sisi material hutan ini secara berkesinambungan telah
membentuk hutan Siberut menjadi lanskap yang tidak homogen dan tidak bebas dari
intevensi manusia. Secara sosial, kekuasaan terhadap hutan berada ditangan
setiap uma, sebuah keluarga besar (extended
family) yang juga merupakan unit kepemilikan lahan dan sumber daya.
Perebutan klaim-klaim kepemilikan hutan antar uma itulah yang sering
menimbulkan konflik terus menerus. Dengan corak sosial yang egaliter dan
otonom, hubungan kekuasaan antar uma terhadap hutan juga bersifat negosiatif.
Di
Siberut, hubungan antara hutan dan penduduknya menjadi berbeda setelah
keluarnya UU No.5 tahun 1967b tentang ketentuan pokok kehutanan (UU kehutanan).
Setelah adanya UU ini, Orde Baru (Orba) membuka 503 izin konsesi hutan, salah
satunya di Siberut. Dengan UU ini, Orba menekankan pembangunan ekonomi,
terutama Sumber Daya Alam. Dalam rangka melegitimasi penguasaan atas Siberut,
negara mengumumkan seluruh area di Siberut adalah kawasan hutan.
Kehadiran
negara dan pasar kepelosok Siberut ini mengguncangkan tatanan kehidupan masyarakat
yang sudah ada. Masyarakat Siberut merasa hak kepemilikannya telah dilanggar. Namun,
tidak ada perlawanan terbuka. Kecemburuan dimanifestasikan dengan
tindakan-tindakkan lokal. Meningkatnya kekuatan pasar dan menguatnya intervensi
negara untuk mengatur perdagangan sumber daya hutan telah menggeser pandangan
orang Siberut tentang nilai hutan. Hutan ternyata memliki nilai ekonomi tinggi.
Pada
1970-an muncul wacana konservasi di tingkat internasional dan nasional. Pulau
Siberut menjadi salah satu tempat yang menjadi sasaran konservasi karena
banyaknya laporan mengenai tingginya tingkat keanekaragaman hayati. Secara
eksplisit, wacana konservasi mengakui dan menerima hak-hak adat penduduk
Siberut dan melihatnya bersesuaian dengan agenda konservasi, sementara wacana
eksploitasi pada kutup lain, melihat masyarakat sebagai ancaman. Penduduk
Siberut tidak pernah ambil pusing dengan dualitas sikap negara karena sikap
mereka sendiri ambivalen. Disatu sisi, orang-orang Siberut menerima wacana
konservasi beserta progamnya, disatu sisi mereka tetap merambas hutan.
Pasca
Orba, kenyakinan dan klaim orang Mentawai sebagai pemilik tanah dan hutan
meningkat kuat dan membuat mereka menuntut klaim negara atas kepemilikan tanah.
Kebijakan desentralisasi dari Jakarta telah membuat kepulauan Mentawai
mendapatkan otonomi sebagai kabupaten yang telah lama mereka perjuangkan.
Otonomi ini menguatkan identitas bersama dan meningkatkan kepercayaan diri
orang Mentawai ketika berhadapan dengan komponen dari luar pulau.
Adanya
kebijakan desentralisasi serta menguatnya jaringan LSM dan masyarakat sipil
lainnya, serta pengakuan global terhadap masyarakat yang mengalami
marginalisasi akibat proses modernisasi, membawa wacana indigenous people (masyarakat adat). Kebijakan desentralisasi memungkinkan mereka membuka akses
penduduk lokal membangkitkan identitas sebagai masyarakat adat.
Dalam
perkembangannya, masyarakat Siberut belajar untuk melihat posisinya sendiri
dalam kebijakan negara dan juga wacana yang berkembang di tingkat regional
maupun global. Orang Mentawai di Siberut perlahan menjadi lebih sadar tentang
berbagai dampak pembangunan dan mulai merasa bahwa kebijakan negara
kadang-kadang merugikan mereka. Kondisi ekonomi politik baru menumbuhkan
kesadaran kolektif masyarakat Mentawai tentang dominasi sasareu (pendatang). Identitas kolektif sebagai sebuah kesatuan
atas nama Mentawai muncul dari perasaan tertekan itu.
Sehingga,
orang Siberut secara aktif mengartikulasi wacana hak-hak adat untuk memperbesar
mereka membangun alinasi yang lebih luas dan meningkatkan posisi tawar ketika
berhadapan dengan kekuasaan luar yang lebih kuat. Orang Siberut memiliki
penafsiran terhadap makna adat yang berbeda dengan para konservasionis dan
aktivis LSM.
Cara memandang masyarakat
Pada
kenyataannya, meskipun pengaturan negara, rezim kayu, dan program konservasi
senantiasa mengganggu tatanan masyaraat Siberut, masyarakat Siberut tidak
serta-merta melawannya secara kolektif, terorganisir, dan tunggal. Di tengah
dominasi aktor-aktor luar itu, masyarakat Siberut melancarkan proses negosiasi
yang mewujud dalam sikap melawan sekaligus akomodasi. Dalam negosiasi itu,
masyarakat Siberut mengalami diaspora, sikap-sikap ambivalen, inkonsisten,
bahkan bertentangan. Dulu teriak tolak pertambangan kayu, kini membelanya.
Sekarang menolak konservasi, padahal dulu mendukung. Dulu aktif di LSM pembela
hak masyarakat adat menolak penambangan kayu, sekarang jadi karyawan tambang.
Mereka
menerima program konservasi dan menjual lahan hutannya kepada penambang kayu
sekaligus tetap menerabas dan membuka ladang di sana. Mereka tidak sepenuhnya
melawan negara karena mereka menggantungkan janji-janji pembangungan dengan
segala fasilitasnya. Dari perusahaan kayu, mereka bisa mengantongi uang tunai
dengan penjualan hutan. Dari LSM, identitas adat mereka terlegitimasi untuk
tetap mengklaim kepemilikan hutan.
Aksi,
strategi, dan taktik untuk meraih akses dan kontrol atas hutan terkesan acak,
tidak patuh, oportunis, dan egois. Semua itu dinilai semata-mata demi mencapai
kehidupan yang lebih baik (modern): makan nasi, punya kendaraan bermotor,
televisi dan bersekolah tinggi.
Buku
ini, melawan pemikiran bahwa masyarakat adat adalah sekelomok manusia ‘murni’,
bijak dan arif, menjaga harmonisasi dengan alam, jauh dari peradaban modern,
cenderung religius, dan memiliki kearifan lokal. Paradigma ini hanya ada
dianggan-angan kita, karena kita memandangnya dari jarak jauh.
Kita
selalu memandang suatu masyarakat hanya dari paradigma jarak jauh. Tidak ada
perbedaan sikap antara kalangan aktivis dan pemerintah dalam melihat Siberut.
Keduanya sering menyederhanakan masalah dalam membahas isu konservasi sebagai
isu ekonomi politik, para aktivis cenderung berkesimpulan adanya masalah
‘budaya’ orang mentawai.
Hal
ini merefleksikan bahwa bukannya orang luar yang harus menerima relitas
masyarakat yang terus berubah-ubah akibat ketidakpastiaan kondisi hidup dan
menerima kenyataan itu sebagai dasar atau pengetahuan baru. Akan tetapi,
masyarakatlah yang harus sesuai dan dicocokan dengan konstruksi dari luar, baik
atas nama konservasi maupun pembangunan.
Tag :
resensi,
Kehendak yang Mesti di Perbaiki
By : secawan kopi tubruk
Kehendak yang Mesti di Perbaiki
Judul Buku: The Will to Improve
Penulis : Tania Murray Li
Penerbit : Marjin Kiri
Penerjemah : Hery Santoso dan Pujo Semedi
Tahun terbit: 2012
Tebal Buku : 536 halaman
Kehendak untuk memperbaiki mesti ditinjau ulang oleh para wali
masyarakat.
Masyarakat
sebagai suatu entitas yang beragam, selalu dijadikan objek sasaran berbagai
progam pembanguan dari berbagai tokoh yang beragam, dari tingkat lokal hingga
internasional. Progam pembangunan ini selalu diproduksi dan tidak akan pernah
usai, sejak zaman kolonial hingga
kini. Tujuan berbagai progam pembangunan itu adalah untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat. Namun, anehnya progam-progam pembangunan ini tidak mampu
menuntaskan persoalan. Keberadaan progam-progam ini justru membawa masalah baru
bagi masyarakat.
Disinilah buku The Will to Improve tulisan Tania Muray Li menjawab sengkarut
persoalan yang lahir dari ‘kehendak untuk memperbaiki’ tersebut. Kehendak untuk memperbaiki, dikonsepkan
dan dilaksanakan oleh para aktor yang disebut Tania sebagai ‘wali masyarakat’. Para wali masyarakat adalah sebuah
kedudukan yang dibangun berdasarkan klaim bahwa merekalah yang paling tahu
tentang masyarakat karena mereka memiliki pengetahuan.
Para wali masyarakat ini melakukan intervensi dalam kehidupan
masyarakat setempat melalui gelanggang kekuasaan yang dinamakan Foucault
dengan ‘rasionalitas khas
kepengaturan’, yaitu upaya merumuskan “jalan paling tepat untuk menata
kehidupan manusia” dalam rangka mencapai “serangkaian hasil akhir yang
spesifik” dan diraih melalui “berbagai taktik multibentuk” (hal. 11).
Kepengaturan bertindak secara persuasif. Kekuatan untuk mengarahkan orang
bekerja dengan cara mengarahkan minat, membentuk kebiasaan, mendorong
internalisasi nilai-nilai, merumuskan cita-cita dan kepercayaan bersama.
Dengan memanfaatkan fakta etnografis dan historis perubahan
masyarakat di Poso, Tentena, Taman Nasional Lore Lindu di pegunungan Sulawesi
Tengah sebagai fokus penelitian, Tania menjaskan secara kronologis perjalanan
kehendak untuk memperbaiki. Disana, selama seabad terakhir berbagai progam
beserta intervensi kepengaturan diciptakan.
Progam-progam pengaturan masyarakat, yang dilahirkan pemerintah
kolonial hingga rezim neoliberal sering saling tumpang tindih. Hal ini terjadi
kaena progam-progam tersebut memiliki persoalan mendasar dan mengidap
keterbatasan. Inilah kritik yang ditegaskan Tania. Keterbatasan pertama,
sedikitnya perhatian kepada rezim penguasa yang justru ditempatkan sebagai
mitra pembangunan, seburuk apapun pemerintahannya. Keterbatasan kedua, nihilnya
atensi terhadap relasi kekuasaan yang terselubung antara wali masyarakat dan
masyarakat binaan.
Masyarakat bukanlah bejana kosong yang dapat diisi apa saja,
sedangkan para wali masyarakat pun bukan kaum yang bebas nilai dari kepentingan
kelompok. Hubungan tersebut mempertegas batas diantara keduanya yang
bersebrangan dan tak terjembatani. Bisa dikatakan, pemberdayaan masih merupakan
sebuah hubungan kekuasaan. Keterbatasan ketiga, pendekatan ini mengesampingkan
faktor-faktor struktural yang menjadi sumber kesenjangan dari ranah teknis
mereka. Batas inilah dasar yang membuat progam perbaikan dari dulu hingga kini,
bisa masuk akal dan berakar kuat, tetapi selalu bermasalah. (halaman 496)
Menariknya dalam buku ini, Tania tidak memberi satu kesimpulan
tunggal tentang yang harus kita lakukan. Melalui penjelasannya yang disusun
dengan deskripsi yang apik dan kaya data, dia hanya mengajak kita berpikir
hingga ke akar permasalahan, berpikir lebih luas, dan berpikir agar usaha
perbaikan dapat dikerjakan lebih manusiawi. Oleh karena itu, sudah selayaknya
buku ini kita baca.
Tag :
resensi,
Makishima Shougo: Kepercayaan akan Nilai Manusia
By : secawan kopi tubruk
Kepercayaan akan Nilai Manusia
“Seseorang itu bernilai
jika mereka bertindak atas kehendaknya sendiri,” Makishima Shougo.
Makishima Shougo adalah antogonis utama dalam animasi psycho-pass.
Dia merupakan salah satu orang yang kecenderungan psikologisnya tidak bisa
dibaca sibyl sistem atau yang disebut ‘perilaku kriminal tanpa gejala’. Sehingga,
saat melakukan tindak kejahatan psycho-passnya dan koefisien kriminal Makishima
tetap dianggap aman oleh dominator.
Makishima pandai meraba kehendak orang, termasuk orang-orang
yang bertujuan melakukan kejahatan. Dia membantu mereka untuk menjadi pembunuh
sesungguhnya. Tapi kemudian, dia sendiri turut menghancurkan orang tersebut
jika terlihat gagal, seperti kasus Mido Masitake dan Ouryo Rikaku. Laki-laki
brilian yang terlihat selalu tenang ini teryata adalah orang yang berbahaya dan
sadis. Dengan tenangnya, dia membunuh Yuki, sahabat Akane. Setiap tindak
kejahatannya dilakukan dengan 'elegan'
dan terencana.
Namun, setiap
tindakannya memiliki nilai atau pesan yang tersirat. Dia tak sengan-sengan
menguji jiwa manusia, meskipun harus bertindak sadis. Dia sangat mempercayai
keagungan jiwa manusia. Dia ingin membuktikan bahwa bahkan di era teknologi
yang disebut-sebut telah berhasil mengungkapkan rahasia dari jiwa manusia,
tetap akan selalu ada bagian dari jiwa dan pikiran manusia yang tidak dapat
diukur dan menjadi misteri.
“Dengan menganalisa bio-organisme yang dibaca pemindai
gelombang, dominator mampu mengetahui cara berpikir seseorang. Sains akhirnya
menemukan rahasia di balik jiwa manusia, dan hasilnya masyarakat ini berubah
drastis. Akan tetapi, kehendak masyarakat bukan termasuk bagian dari penilaian
tersebut. Aku heran criteria apa yang kau gunakan untuk memisahkan antara orang
baik dan orang jahat. Aku ingin menjadi saksi dari keagungan jiwa manusia. Aku
ingin tahu apakah itu memang layak untuk dikagumi. Tapi, saat hidup manusia
bergantung pada Sybil, tanpa pernah memikirkan apa yang benar-benar mereka
inginkan, apa mereka benar-benar berharga?”
(episode 11)
Dalam animasi ini terlihat Makishima merupakan sosok penjahat
yang punya nilai dan idealisme tersendiri. Ia adalah aktor yang ingin
menghancurkan sibyl sistem. Menurutnya, Sibyl System yang menurutnya telah
merampas kebebasan. Dia adalah pelanggar politik politik dalam masyarakat yang
dikelola sibyl sistem.
“Benarkah ini sebuah sistem? Atau sebuah penjara yang besar?
Panopticon (penjara yang bentuknya bundar/bulat). Fasilitas yang bisa mengamati
semua orang sekaligus. Sibly mungkin bentuk yang terburuk. Kau bisa
mengendalikan tahanan hanya dengan sedikit penjaga.” (episode 22)
“Tak ada tempat bagi komonitas di dunia ini, dimana semua
orang diawasi dan hidup dalam standar sistem. Semua orang hanya diam dalam
penjara kecil mereka masing-masing. Dan sistem menjinakan mereka dengan
memberikan mereka masing-masing ketentraman diri.” (episode 23)
Baginya, tatanan masyarakat yang dikelola sibyl sistem telah
menghilangkan nilai sesungguhnya dari manusia dan kemanusiaanya. Sistem telah
membuat manusia seperti binatang jinak. Tindakkannya mirip seorang anarkis, yang
ingin merubah sistem yang tidak manusiawi mejadi lebih manusiawi. Namun, karena
menyukai kehancuran dia telah menyimpang dari makna anarkisme sesungguhnya.
Di episode 17, dia merencanakan tindakan yang mengguncang
dasar masyarakat. Dia memprovokasi masyarakat untuk menyadarkan betapa buruknya
jika manusia kehilangan kemanusiaannya.
Bersama temannya, dia menciptakan sebuah helm agar si pemakainya tidak
bisa dideteksi pemindai psycho-pas. Helm ini dibagikan kepada masyarakat.
“Alat ini berfungsi untuk meningkatkan kesadaran. Untuk
menyedarkan masyarakat bahwa mereka seharusnya hidup layaknya manusia, bukan
binatang ternak yang jinak. Masyarakat telah disesatkan sibly sistem hingga ke
titik dimana mereka tidak mampu menyadari bahaya, meski didepan mereka
sekalipun.” (episode 14)
Setelah ditanggap oleh DIK, Makishima tidak dihukum tapi
justru diajak bergabung menjadi anggota. Kepandaian, ketajaman analisa, dan
perilakunya yang sulit ditebak diperlukan untuk menyempurnakan sibyl sistem. Namun, Makishima menolak dan melarikan diri.
Dia lebih memilih menjadi pemain selama-lamanya, daripada menjadi ‘tuhan’ yang
mengendalikan tatanan masyarakat. Dia mencintai permainan ‘kehidupan’ dari lubuk
hatinya yang paling dalam.
Baginya, bentuk sesungguhnya dari sibyl sistem merupakan
sebuah ironi. Ini mirip seperti dokter di di balnibarbi dalam Perjalanan
Guliver, karangan swift, bagian 3. Balnibarbi adalah tempat yang disinggahi
guliver setelah pulau melayang laputa. Seorang dokter di balnibarbi menemukan
cara untuk mendamaikan dua politisi yang berbeda saling berbeda pendapat.
Caranya yaitu melakukan operasi memotong setengah bagian otak mereka yang
kemudian dijahit menjadi satu. Ketika selesai, mereka mampu menghasilkan kesederhanaan
serta keteraturan cara berpikir. Ini adalah kritik mereka yang sombong, yang
berpikir bahwa mereka datang ke dunia hanya untuk melihat dan mengatur aliran
geraknya.
Oleh karena itu, sampai akhir dia terus berusaha
menghancurkan sibyl sistem. Walau pada akhirnya kembali digagalkan oleh
Kougami. Makishima pun mati ditangan kougami.
Tag :
resensi,
Nilai Manusia dan Kepalsuan Sistem
By : secawan kopi tubruk
Seseorang itu bernilai jika mereka bertindak
atas kehendaknya sendiri. (Makishima Shougo)
Mulanya, sibly sistem diperkenalkan
oleh pemerintah sebagai sistem yang sempurna, objektif, dan netral. Oleh sebab itu, masyarakat menerima dan
mempercayai keberadaannya. Ketertiban dan kebahagian masyarakat dianggap
sebagai dampak dari sistem ini. Lama-kelaman, sistem itu menjadi landasan baru
bagi masyarakat.
Akhirnya, manusia kehilangan nilai kemanusiaanya
sendiri karena terlalu bergantung pada sistem. Mereka tidak menyadari bahaya
didekatnya, karena selalu bergantung pada sibyl sistem. Kebenaran sistem adalah
kebenaran mutlak dan absolut.
Manusia teralienasi dari hidup dan
kehidupannya yang hakiki. Tabu dan aneh jika ada manusia yang masih membicrakan
tentang kehidupan, alasan untuk hidup, nilai kehidupan. Manusia bukan hanya
kehilangan kontrol atas tubuhnya, tapi juga jiwanya. Tatanan masyarakat seperti
inilah yang ingin dihancurkan Makishima dan mengantinya dengan tatanan yang
lebih manusiawi.
Dibalik itu semua, ternyata sistem
ini tidaklah sempurna dan penuh kontradiksi. Banyak manusia-manusia yang
jiwanya tak dapat dideteksi oleh sistem, termasuk Makishima. Padahal
manusia-manusia ini melakukan kejahatan yang lebih buruk dari Makishima. Mereka
disebut pelaku ‘kriminalitas tanpa gejala’, termasuk Makishima. Pemerintah berusaha menutupi ketidaksempurnaan dengan
menggabungkan berbagai penyebab kontradiksinya.
Untuk menghilangkan kontradiksinya,
pemerintah bekerjasama dan menyatukan
orang-orang yang dianggap menyimpang tersebut dalam sibyl sistem dalam wujud
otak-otak manusia yang disatukan. Inilah kebenaran sesungguhnya dari sibyl
sistem, sebuah teknologi yang dibangun dari otak manusia.
Ada 247 otak manusia yang menjadi
anggota sibyl sistem, 200 aktif berkerja secara bergantian. Pemikiran yang
digabungkan dari berbagai otak manusia ini digabungkan untuk menghasilkan nilai
universal. Nilai universal ini akan diterapkan pada masyarakat. Ternyata, objektifitas
hanyalah mitos. Sibyl sistem itu, sendiri adalah bentuk kekuasaan terselubung. Oleh
karena itu, sibyl sistem bukanlah bentuk pemerintahan birokrat yang
ideal, tapi sebuah penjara.
“Benarkah
ini sebuah sistem? Atau sebuah penjara yang besar? Panopticon (penjara yang bentuknya
bundar/bulat). Fasilitas yang bisa mengamati semua orang sekaligus. Sibly
mungkin bentuk yang terburuk. Kau bisa mengendalikan tahanan hanya dengan
sedikit penjaga,” ujar Makishima Shougo.
Tag :
resensi,
Misteri Psikologi Manusia
By : secawan kopi tubruk
Judul : Psycho Pass
Status : Finished, 22 episode, anime original
Tayang : 12 Oktober 2012 - 22 Maret 2013
Genre : Action, sci-fi, psychological
Status : Finished, 22 episode, anime original
Tayang : 12 Oktober 2012 - 22 Maret 2013
Genre : Action, sci-fi, psychological
Ilmu
pengetahuan dihasilkan oleh manusia selalu dengan tujuan mulia, seperti memenuhi
kebutuhan hidup, mendorong kemajuan, dan menciptakan kebahagiaan manusia. Kehadiran ilmu pengetahuan ini turut membawa
perubahan bagi peradaban manusia, termasuk merubah sistem dan tatanan
masyarakatnya. Namun, kehadiran ilmu pengetahuan dan perubahan yang
menyertainya selalu memiliki resiko tersendiri.
Dinamika manusia
menghadapi sistem yang diangkat dengan apik dalam animasi pscyho-pass. Animasi
original buatan studio Production I.G. ini mempertanyakan kembali hakikat
manusia dan kemanusiaannya. Cerita mengambil latar belakang Jepang di masa
depan dengan berbagai kemajuan teknologinya. Revolusi teknologi terbesar yang
merubah tatanan masyarakat Jepang adalah kelahiran Sibyl Sistem yang diciptakan
kementrian Kesejahteraan.
Sistem ini mampu
menilai bakat, kesehatan mental, dan keadaan psikologis manusia dengan
menganalisa bio-organisme manusia yang dibaca pemindai gelombang. Pembacaan
jiwa manusia diperlukan untuk mengarahkan kehidupan manusia dan mencegah tindak
kejahatan.
Sibyl sistem pun
menjadi ukuran dalam menentukan ‘baik’ atau ‘jahat’ seseorang melalui angka
yang disebut kofisien kriminal atau kecenderungan psikologi manusia dalam
melakukan tindak kriminal. Sehingga, jiwa manusia senantiasa diukur, dicatat,
dan diawasi berdasarkan standar angka-angka yang telah ditetapkan. Ukuran angka-angka
ini dinamakan psycho-pass.
Alhasil, angka-angka
ini menjadi nilai dan norma baru dalam masyarakat Jepang. Orang-orang yang nilai
psycho-passnya melebihi batas standar, akan ditindak oleh Dapertemen
Investigasi Kriminal (DIK). Hukuman dapat berupa dimasukan pusat rehabilitasi
atau dibunuh ditempat, tergantung kondisi psycho-pasnya.
Ini adalah era
dimana sistem pengadilan umum telah dihilangkan. Hukum dan hakim itu sendiri
adalah sibly sistem. Sehingga masyarakat siap menjadi terdakwa kapan saja dan
dimana saja, tanpa pembelaan dan tanpa bukti. Bahkan ada orang yang dianggap
penjahat seumur hidup atau kriminal laten walau belum pernah melakukan tindak
kejahatan.
Cerita dari
Psycho Pass sendiri berpusat pada konflik dan dilema yang dialami orang-orang
yang bekerja di badan pemerintah DIK. Mereka bertugas menangkap dan mengadili
para kriminal sesuai penilaian yang dilakukan senjata dominator, mata Sibyl
System. Film dimulai dengan bergabungnya Tsunemori Akane sebagai inspektur di DIK.
Tsunemori Akane menjadi anggota divisi 1 bersama inspektur Nobucika Ginoza dan
para bawahannya yang disebut enforcer (penegak), para kriminal laten yang
dipekerjaan. Mereka adalah Shinya Kaugami, Tomomi Masaoka, Shuusei Kagari, dan
Yayoi Kunizuka.
Keberadaan para
enforcer merupakan sebuah ironi. Mereka dinyatakan sebagai ‘penjahat’ oleh
sistem tapi keberadaannya dibutuhkan untuk menjaga inspektur tetap berada di
jalan ‘baik’ oleh psycho-pass. Mereka sering kali disebut anjing pemburu karena
tugasnya memburu para penjahat lainnya. Seolah, kemanusian mereka sedang diuji.
Dalam
melaksanakan tugasnya, mereka disusahkan oleh keberadaan Makishima Shougo,
aktor yang menciptakan berbagai permainan pembunuhan. Makishima ternyata dalang
dibalik pembunuhan yang dilakukan beberapa penjahat. Dia mampu menemukan
orang-orang yang memiliki niat membunuh dan memberikan mereka cara membunuh. Aksi
terencana dan sistematis makishima bukan hanya itu. Tujuan sesungguhnya
makishima adalah meruntuhkan sibyl sistem, landasan dasar masyarakat.
Aksi
DIK menghadapi makishima menjadi klimaks animasi ini. Lebih dari itu,
pergulatan mereka merupakan pergulatan ideologis. Sikap dan pilihan mereka
menjawab dinamika manusia dan sistem yang membentuknya. Makishima memilih
menjadi seorang anarkis, melakukan pelanggaran politik murni dengan sifat manusia.
Kougami yang memilih keluar dari jalur hukum ketika ternyata hukum tak dapat
melindungi masyarakat. Akane mengambil pilihan melindungi hukum walau sadar
hukum tidak layak untuk dilindungi.
Cerita
ini diramu dengan kasus-kasus misteri ala detektif dan perdebatan ‘ide’ ala
cendikiawan sehingga berbobot. Penuh surprise
dan plot twist yang tak terduga dan keren, diceritakan dengan alur yang mantap dan
episode klimaks yang epik. Dari segi
penggarapan animasi, Psycho Pass memiliki kualitas animasi yang tinggi, dengan
3D CG, spesial effect, character design dan environment yang detail dan halus.
Battle scene di beberapa episode yang menampilkan pertarungan tangan kosong
juga memiliki koreografi yang detail dan keren meskipun tidak memakai special
effect berlebihan. Jadi, pastikan untuk segera menonton animasi ini!
Tag :
resensi,