Popular Post

Archive for 2013

Bagai telur di Ujung Tanduk

By : secawan kopi tubruk

Bagai telur di Ujung Tanduk*


Oleh: Citra Nuraini

Ketiadaan jaminan hidup bagi para penggiatnya, ditambah sulitnya regenerasi membuat samrah makin hilang eksistensinya.
           

“Fi bayarin arkodeon saya lima juta,” ucap ali sabeni.
“yah cing, saya sudah punya. Buat apa punya dua. Emang untuk apa cing?” ucap seorang wanita.
“buat berobat,” balas sabeni.
Ali sabeni berniat menjual satu-satunya arkodeon miliknya, alat musik yang biasa menemaninya mencari nafkah, kepada fifi muntaco. Sabeni butuh uang buat berobat. Dia menderita sakit jantung.
Mengharap punya uang banyak dari samrah? Tidak mungkin. Jangankan memiliki tabungan, untuk biaya hidup saja sudah susah. Harga sekali tampil samrah Cuma sekitar 3 sampai 4 juta. Uang tersebut dibagi 10 orang, tiap orang mendapat 300-400 ribu.
Dari uang yang didapat, masih harus dipotong untuk transportasi dan makan. Terlebih panggilan untuk pentastidka menentu, kadnag sebulan hanya beberapa kali tampil atau malah sama sekali tak ada.
Makanya untuk menambal kebutuhan hidup, semasa muda Ali Sabeni juga bekerja sebagai tukang las. “kalau Samrah dijadikan buat penghasilan hidup, tidka cukup,” ujar laki-laki beranak tujuh ini.
Malangnya, kini sabeni telah berusia 77 tahun. Ia sudah lemah untuk bekerja, panggilan untuk pentas pun jarang didapat. “sekarang belum tampil-tampil, sudah tua tidak ada yang menyentuh (memperhatikan-red),” ujar sabeni.
Padahal keinginan berkesenian sabeni tidak perlu diragukan. Baginya music tidak ada istilah tua muda. Jika masih sanggup, dia akan terus bermusik. Istrinya, sutinah malah sering jengkel melihat kondisi sabeni. “saya sakit hati, saya bilang sini pak alat musiknya dijual. Tidak ada yang memperhatikan. Biar hilang saja samrah, habis,” geramnya.
Walau tak serupa, tapi nasip susahnya jadi seniman juga dirasakan fifi muntaco. Perempuan berumur 44 tahun ini satu-satunya anak firman muntaco yang mau meneruskan samrah.
“waktu itu, tahu-tahu udah berkumpul kakek-kakek dirumah. Kata bapak itu pemain samrah, kemudian jadi group,” kenang fifi. Pada 12 januari 1992, firman meninggal. Tampuk kepemimpinan sanggar dipimpin fifi hingga kini, yang sebelumnya diberi nasihat untuk membesarkan samrah. “Bapak berpesan setelah tampil di acara salam canda di TVRI bulan Oktober 1991,” tambahnya.
Sialnya, usaha untuk mempertahankan samrah malah ditentang zaman. Samrah yang didominasi lagu melayu jadi kurang popular buat masyarakat kini. “Pernah ada yang bilang tarifnya jangan mahal-mahal karena lagunya tidka dikenal. Makanya, kami juga fleksibel bisa lagu dangdut atau pop,”tambah fifi.
Lagu pengiring orkes samrah berupa lagu-lagu melayu tahun 50-an hingga 60-an. Cirri tempo lagu masa itu cenderung lebih lambat. “kaya lagu Jembata pate, tidak enak dinyanyikan. Orang pada ngantuk mendengarnya,” tutur fifi. Alat musinya pun sulit dimainkan, arata-arata bernada minor, yang menghasilkan irama lambat.
Demii mempertahankan hidup, kini para penggiat samrah harus putar otak. Sanggar fifi sendiri akhirnya menyediakan pertunjukan lain seperti hadroh (kesenian rebana), palang pintu (tradisi penyembutan calon pengantin dalam adat pernikahan betawi), tanjidor, organ tunggal. Pembuatan ondel-ondel dan makanan betawi pun dikerjakannya.
“kerja saya serabutan. Semua saya kerjakan, yang penting bisa dapat uang. Akhirnya berbagai hal kita layani agar dapat terus hidup,” ujar permepuan kelahiran tahun 67 ini.
Sebagaimana layaknya mempertahankan kesenian tradisional, samrah juga menghadapi masalah regenerasi. Sabeni pernah mengajak warga untuk turut melestarikan samrah, ”saya suruh anak-anak muda dating, belajar sama saya.”
Ajakan Sabeni tak digubris, harapannya meredup. Hingga kini, group pimpinannya mayoritas beranggotakan anak dan cucunya. Anaknya, zulbachtiar memainkan gendang, Zulfah jadi penyanyi orkes, dan NurulFadilah terkadang menggantikan Sabeni memainkan arkodeon. Cucunya, Abdul hair memetik gitar, fiffa septian memainkan tamborin.
Sisanya, tiga orang pemusik di luar keluarganya. Kesulitan regenerasi dirasakan betul oleh sabeni buat mencari penari. Penari yang dulu menarikan tari samrah di group sabeni, kini telah menikah, dan belum ada penggantinya.
“memang hamper rata-rata polanya kekeluargaan. Karena memang mereka kesulitan mensosialisasikan ini kepada masyarakat sekitar jadi tentunya keluarganya dulu yang diperkenalkan,”ujar Rudi haryanto.
Fifi lebih giat mencari regenerasi. “bareng teman-teman, saya cari anak-anak muda yang suka music,” cerita fifi. Bahkan, dalam perekrutan, dia mensyaratkan minimal orang yang mau bergabung bisa memegang dua jeis alat music. “Merekrutnya dari temen, guru music, keluarga, ada juga anggota yang bawa orang,” paparnya.
Ada juga orkes Samrah pimpinan Widya. Awalnya group samrah yang anggotanya didominasi pemuda memang berniat mempertahankan samrah. Namun belakangan sanggar pelangi turut menampilakn kesenian betawi lain seperti gambang kromong. Alasannya sama, kesulitan financial. “kalau tidak ada kerjaan, saya ngamen. Jadi seniman budaya itu miskin,” tutur malih, anggota snaggar pelangi.
Samrah kian surut. Padahal eksistensi samrah, tonggak kehidupan para pengiatnya dan demi mempertahankan budaya local. Namun, melebarkan sayap diluar samrah, justru melunturkan eksistensi samrah. “kalau ada jaminan dari pemda, senimandaerah bisa totalitas di music,” ujar malih.
Tujangan material sempat diberikan pemerintah kepada sanggar-sanggar. “Pada zaman rudi saleh (ketua LKBtahun 1980-red) ada 50.000 tiap bulan. Sekarang sudah tidak ada, ungkap Ali. Sedangkan menurut fifi, tunjangan yang diberikan berupa dana akhir tahun. Dia mendapat 250.000 dari LKB.
Seketaris Divisi Kajian dan Pengembangan Dinas Pariwisata DKI Endrarti fariani membenarkan ada tunjangan kepada sanggar-sangar sejak tahun 1970. Namun, sejak 2004 dana hibah diberhentikan dengan alasan tidak efektif. Akhirnya dana pengembangan kebudayaan hanya diberikan pada wadah yang menampunya, seperti LKB.
Selain bantuan dana. Ada harapan untuk memproduksi lagu-kagu samrah dalam jumlah besar. ”kelemahannya samrah itu, musiknya sedikit, rekamannya sedikit. Pernah LKB merekam tapi terbatas.,” keluh fifi.
Sosialisasi juga diperlukan guna lebih mempopulerkan samrah seperti pada 1980-an. Kala itu Samrah cukup bergensi. Pelatihan-pelatihan juga amat diperlukan mengingat lagu-lagu smarah adalah lagu-lagu lama. “karena dipelajarinya juga agak susah,” jelas fifi.
Mengingat samrah bagai telur di ujung tanduk, pemeirntah perlu secepatnya bergerak menyelamatkan marah sebagai usaha pelestarian budaya local. Dan tentunya ketegasan para penggiatnya, untuk tak mendua dan fokus kepada samrah.        

*diterbitkan dalam rubrik seni budaya majalah Didaktika edisi 41
Tag : ,

Dari Tanah Abang Terus Bermetamorfosis

By : secawan kopi tubruk

Dari Tanah Abang Terus Bermetamorfosis*


Oleh: Citra Nuraini

Ketiadaan pakem dan tuntutan zaman memaksa samrah terus mengubah bentuknya.

Sabtu siang, pukul 12.00, gerimis membasahi Jalan Manunggal XVII. Disebuah rumah berukuran 15x4 meter, bernomer 35, bercat putih, seorang laki-laki membaringkan badannya di karpen merah kemang-kemang. Suara orang mengaji terdengar dari saluran radio khusus orang Betawi, radio Rodja. Seorang wanita menghampiri laki-laki tersebut dan membangunkannya, “Pak-pak, ada tamu.”
Laki-laki itu bangkit, tersenyum dan mengenakan peci hitam. Menutupi rambut hitamnya. Sarung kotak-kotak melengkapi baju koko panjang merah muda yang sedikit acak-acakan ditubuhnya. Laki-laki ini bernama Ali Sabeni. Laki-laki kelahiran tahun 1934 ini merupakan pemain samrah tertua yang masih hidup.
“Tahun ’60-an, saya sedang giat-giatnya bermain musik. Terus saya bertemu keluarga bekas pemain samrah tahun ’20-an, orang tua generasi kedua. Katanya bikin ini musik namanya samrah. Ini musik asli Tanah Abang. Nah itu awalnya samrah,” ungkap Sabeni.
Samrah dilahirkan di Tanah Abang pada abad 18 awal. Kala itu, Tanah Abang meruakan pusat perdagangan para pendatang dari Cina, melayu, India, Arab, Pakistan, dan Malaya. Di Tanah Abang, para pendatang tak cuma berdagang. Mereka menetap dan berbaur dengan masyarakat pribumi. Embrio membentuk kelompok musik muncul ketika anak muda Betawi beserta tetangganya dari Arab, Melayu, dan India berkumpul dan bermusyawarah.
Kelompok musik ini mereka namakan samrah. Nama samrah diambil dari bahasa arab ‘samarokh’ yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Kata ‘samarokh’ diucapkan oleh orang Betawi menjadi ‘sambrah’ atau yang lebih dikenal ‘samrah’.
Dengan niat membentuk kelompok musik, mulailah mereka membawa alat musik dari negaranya masing-masing.   Orang Betawi membawa gendang calte, malaka, dan tamborin. Lalu, orang Arab membawa ols, orang Melayu membawa fiur atau biola, dan orang India membawa harmonium.
Mereka menyajikan lagu-lagu yang sifatnya berbalas pantun. Pengaruh melayu yang kuat kala itu membuat lagu pengiringnya menggunkaan lagu melayu. Seperti Lagu Anak Ikan, Anak raja Turun Beradu, dan sebagainya.
Agar lebih menarik, orkes ini turut menghadirkan penari. Tari samrah bisa dilakukan berpasangan atau perorangan. Gerakannya mirip tari melayu yang mengandalkan langkah kaki dengan lenggang yang berirama, posisi membungkuk, dan jongkok.
Bedanya, tari samrah punya gerakan salawi, yaitu jongkok hampir seperti duduk bersila. Salawi lebih dari sekedar membugkuk, sehingga membutuhkan keterampilan sendiri. Biasanya penari samrah turun berjoget dengan diiringi orkes samrah dan nyanyian seorang biduan. Iramanya pun bisa lembut dan cepat.
Kedua kesenian ini sering dipentaskan pada pernikahan Betawi yang mengenal tradisi malam mangkat dan maulid. Di malam itulah para undangan berkumpul untuk mendengarkan pembacaan maulid Al-barjanzi. Setelah itu, mereka mementaskan music dan tari dilanjutkan dengan cerita.
Kala itu, cerita dibacakan oleh penonton atau tamu undangan. Sebagai hiburan dan hobi saja. Jadi sifatnya spontan. Makanya, petunjukan dapat dilakukan diatas panggung maupun tanpa panggung, yakni hanya dengan pentas berbentuk arena sesuai dengan keadaan tempat.
Pun dengan kostum, di betawi, orang biasa dating menggunakan jas, kain plakat, dan peci saat menghadiri pernikahan. Pakaian itu yang kemudian menjadi seragam utama.
Tak cukup bermusik dan menari para pemainnya juga turut membuat tonil samrah demi menyempurnakan kesenian Samrah. Tonil ini merupakan pengembangan dari teater bangswan yang disebut Durmuluk. Durmuluk berasal dari melayu riau dengan cerita shibulhikayat dan komedia stambul.
Lengkaplah kesenian samrah berisi musik, tari, dan tonil. Orkesnya ideal beranggotakan 10 orang, 8 pemain musik dan 2 penyanyi. Sedangkan tari samrah dan tonil samrah tidak mempunyai pakem.
Walaupun demikian, samrah hanya berisi lelaki. Pengaruh islam yang kuat pada masyarakat betawi tengah membuat permeuan dianggap haram berkumpul dengan lelaki, terlebih berkesenian.
Dari Tanah Abang, Samrah terus berkembang ke daerah Betawi tengah lainnya. Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar, dan Petojo. Uniknya, orkes Samrah mampu berdiri sendiri, sedangkan tari Samrah dan Tonil samrah tidak bisa ditampilkan tanpa irama orkes Samrah.
Selama perkembangannya, samrah tak selalu mulus. Pada 1940-an, masa pendudukan Jepang sempat jadi batu kerikil. Pemerintah kolonial jepang bersifat represif terhadap pribumi, tak terkecualkarena nilai keagamaan di Betawi i Samrah.
Pada 1950-an, samrah muncul kembali dan memulai metamorfosisnya. Dimulai dengan dominasi harmonium pada orkes samrah. Selain itu, permepuan mulai ambil peran dalam samrah, karena nilai keagamaan di Betawi kala itu lebih beragam.
Tak berhenti sampai disana, makin kuatnya pengaruh kebudayaan melayu di nusantara membuat samrah lebih dikenal sebagai orkes melayu. Namun, penggunaan harmonium mulai jarang, karena sulit didapat. Alternatifnya, digunakanlah arkodeon. “Teman-teman samrah sekarang ini tidka memakai harmonium tapi arkodeon, yang suaranya hamper mirip,” ungkap Rudi Haryanto, Kepala Bagian Pengembangan Kebudayaan Betawi (LKB).
Makin berkembangnya kondisi Jakarta juga terus membuat samrah bermetamorfosis. Orkes samrah tak lagi menggunakan lagu melayu, melainkan bahasa betawi dengan beragam dialek. Bentuk seperti ini membuat nama orkes samrahkembali lebih popular ketimbang orkes melayu.
Walaupun demikian, kini dalam pementasan samrah, group yang masih bertahanpunya pilihan sendirisebagai lagu pengiring. Ali sabeni menilai, lagu-lagu pengiring music samrah ialah lagu-lagu melayu tinggi. “itu kan lagu-lagunya melayu lama, orang betawi lama. Jadi kalao orang tanah abang dialeknya kaya orang melayu,” ujar Ali sabeni.
Pendapat berbeda disampaikan Fifi Muntaco, anak Firman Muntaco salah satu seniman Samrah yang terkenal pada masa jayanya. Music samrah memiliki lagu pengiringnya tersendiri. Lagu-lagu itu memiliki dialek melayu betawi tersendiri, berbeda dengan dialek melayu tinggi. baginya, musik samrah dengan dialek melayu tinggi lebih mirip orkes melayu. “Kalau menurut ajaran orang tua saya. Itu bukan samrah. Itu music melayu. Walau samrah pengaruhnya dari melayu, itu melayu. Samrah punya music sendiri,” sanggah fifi.
Jika dulu tempo musiknya cenderung lambat dan mendayu-dayu, maka tempo music music dan lagu saat ini lebih cepat. Metamorfosis, disorong oleh perubahan zaman dan ketiadaan pakem bagi samrah.
Group Ali Sabeni yang biasa menyenyikan lagu melayu asli, saat penontonya dari kalangan anak muda, lagu-lagu melayu modern yang bertempo lebih cepat turut dipilihnya. Seperti: Asmara Dewi, bahtera Laju, bayangan, Bimbang ragu, Lembaran Bunga, diambang Sore, Lagu rindu.
Selain dari segi lagu dna tempo music, perubahan juga terjadi pada alat-alat musiknya. Penyesuain juga terjadi karena onderdil alat music produk tua sulit didapat, seperti harmonium yang diganti arkodeon. Kini, group samrah tidak ada yang benar-benar akustik, salah satu alat ada yang menggunakan listik. “sekarang tidak ada yang benar-benar akustik. Pasti ada listrik-listriknya,” ujar fifi.
Dari segi pakaian pementasan pun turut beragam, nama pakaianya jung serong (unjungnya serong). Terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas merah tutup dengan pentolan satu warna dan sepotong kain yang dililitkan dibawah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyembul kebawah.
Sejak awal, smarah memang tak punya pakem. Oleh karena itu, sangat memungkinkan baginya untuk melakukan inovasi dan penyesuaian. Apalagi buat group samrah yang masih bertahan guna bertahan hidup.       

 * Diterbitkan dalam rubrik seni budaya majalah Didaktika edisi 41
Tag : ,

Perebutan Akses dan Kontrol

By : secawan kopi tubruk
Perebutan Akses dan Kontrol

Sumber Daya Alam sebagai basis ekonomi merupakan medan pertarungan dalam memperebutkan akses dan kontrol. Tiga kekuatan yang bertarung: masyarakat, negara, pasar.

Judul = Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasan, dan Politik Ekologi
Penulis = Darmanto dan Abidah B. Setyowati
Penerbit = Kompas Populer Gramedia (KPG)
Tebal = 458 halaman





Sumber Daya Alam (SDA) merupakan salah satu titik vital kehidupan masyarakat. Distribusi keuntungan dari SDA akan selalu diperebutkan oleh beragam aktor. Masyarakat lokal akan berusaha meneguhkan klaim kepemilikan. Namun, bagaimana masyarakat lokal dapat meneguhkan klaim kepemilikan SDA ketika mereka berhadapan dengan negara dan pasar? Tindakan apakah yang mereka lakukan untuk mendapatkan distribusi keuntungan dan untuk tujuan apa?
Buku duet Darmanto dan Abidah B. Setyowati Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan dan Politik Ekologi (KPG, 2012) menggambarkan sketsa realitas itu. Melalui pendekatan etnografi, buku ini melihat secara detail masyarakat adat Siberut sebagai kajian utama. Buku ini memijakkan analisisnya pada teori akses dari Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Pelluso untuk melihat dinamika beragam aktor dalam konstelasi memperebutkan hutan Siberut.
Buku ini menarasikan rumitnya perebutan akses dan kontrol terhadap hutan yang mewujud dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Konsep akses dimaknai sebagai proses siapa mendapatkan keuntungan dari SDA, dengan cara bagaimana dan kapan. Akses ialah ‘bundelan dan jaringan’ yang berisikan makna, proses, dan relasi sosial yang membuat aktor-aktor ‘mendapatkan kemampuan untuk mendapatkan kontrol dan memerihara akses terhadap sumber daya alam’.
Hanya berdasarkan klaim berdasarkan hak atas property (property rights) tidaklah cukup untuk menjamin bahwa sumber daya alam akan jatuh ketangan masyarakat lokal. Kemampuan aktor mendapatkan SDA ditentukan oleh ragam faktor seperti akses terhadap teknologi, modal, pengetahuan, otoritas (politik maupun kultural), serta relasi sosial, yang hidup dalam bundel-bundel dan jaringan kekuasaan. Sehingga tidaklah aneh jika masyarakat Siberut mesti berjuang untuk mendapatkan keuntungan dari hutannya. Dengan teori akses, analisis bisa menghindarkan jebakan simplifikasi relasi pada oposisi biner: negara plus rezim kapitalis hutan versus masyarakat dengan kearifan lokalnya.
Buku ini ingin mengatakan bahwa hubungan antara manusia dan hutan selalu dilandasi oleh masalah produksi dan kekuasaan. Jauh sebelum kolonialisme maupun sebelum terikat dengan pasar yang lebih luas, masyarakat Siberut telah terlibat relasi yang saling menguasai dengan hutan. Dalam kepercayaan lokal, hubungan simbolik manusia dengan hutan berarti juga negosiasi dengan roh-roh yang menguasai hutan. Dalam corak produksi yang subsisten maupun nonsubsisten dan struktur sosial yang egaliter, negosiasi ini berlangsung terus-menerus sehingga bersifat mendua. Namun, disisi lain hutan juga memiliki sisi material yang dibutuhkan untuk keberlanjutan hidup.
Ketengangan antara sisi simbolik dan sisi material hutan ini secara berkesinambungan telah membentuk hutan Siberut menjadi lanskap yang tidak homogen dan tidak bebas dari intevensi manusia. Secara sosial, kekuasaan terhadap hutan berada ditangan setiap uma, sebuah keluarga besar (extended family) yang juga merupakan unit kepemilikan lahan dan sumber daya. Perebutan klaim-klaim kepemilikan hutan antar uma itulah yang sering menimbulkan konflik terus menerus. Dengan corak sosial yang egaliter dan otonom, hubungan kekuasaan antar uma terhadap hutan juga bersifat negosiatif.
Di Siberut, hubungan antara hutan dan penduduknya menjadi berbeda setelah keluarnya UU No.5 tahun 1967b tentang ketentuan pokok kehutanan (UU kehutanan). Setelah adanya UU ini, Orde Baru (Orba) membuka 503 izin konsesi hutan, salah satunya di Siberut. Dengan UU ini, Orba menekankan pembangunan ekonomi, terutama Sumber Daya Alam. Dalam rangka melegitimasi penguasaan atas Siberut, negara mengumumkan seluruh area di Siberut adalah kawasan hutan.
Kehadiran negara dan pasar kepelosok Siberut ini mengguncangkan tatanan kehidupan masyarakat yang sudah ada. Masyarakat Siberut merasa hak kepemilikannya telah dilanggar. Namun, tidak ada perlawanan terbuka. Kecemburuan dimanifestasikan dengan tindakan-tindakkan lokal. Meningkatnya kekuatan pasar dan menguatnya intervensi negara untuk mengatur perdagangan sumber daya hutan telah menggeser pandangan orang Siberut tentang nilai hutan. Hutan ternyata memliki nilai ekonomi tinggi.
Pada 1970-an muncul wacana konservasi di tingkat internasional dan nasional. Pulau Siberut menjadi salah satu tempat yang menjadi sasaran konservasi karena banyaknya laporan mengenai tingginya tingkat keanekaragaman hayati. Secara eksplisit, wacana konservasi mengakui dan menerima hak-hak adat penduduk Siberut dan melihatnya bersesuaian dengan agenda konservasi, sementara wacana eksploitasi pada kutup lain, melihat masyarakat sebagai ancaman. Penduduk Siberut tidak pernah ambil pusing dengan dualitas sikap negara karena sikap mereka sendiri ambivalen. Disatu sisi, orang-orang Siberut menerima wacana konservasi beserta progamnya, disatu sisi mereka tetap merambas hutan.
Pasca Orba, kenyakinan dan klaim orang Mentawai sebagai pemilik tanah dan hutan meningkat kuat dan membuat mereka menuntut klaim negara atas kepemilikan tanah. Kebijakan desentralisasi dari Jakarta telah membuat kepulauan Mentawai mendapatkan otonomi sebagai kabupaten yang telah lama mereka perjuangkan. Otonomi ini menguatkan identitas bersama dan meningkatkan kepercayaan diri orang Mentawai ketika berhadapan dengan komponen dari luar pulau.
Adanya kebijakan desentralisasi serta menguatnya jaringan LSM dan masyarakat sipil lainnya, serta pengakuan global terhadap masyarakat yang mengalami marginalisasi akibat proses modernisasi, membawa wacana indigenous people (masyarakat adat). Kebijakan desentralisasi memungkinkan mereka membuka akses penduduk lokal membangkitkan identitas sebagai masyarakat adat.
Dalam perkembangannya, masyarakat Siberut belajar untuk melihat posisinya sendiri dalam kebijakan negara dan juga wacana yang berkembang di tingkat regional maupun global. Orang Mentawai di Siberut perlahan menjadi lebih sadar tentang berbagai dampak pembangunan dan mulai merasa bahwa kebijakan negara kadang-kadang merugikan mereka. Kondisi ekonomi politik baru menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Mentawai tentang dominasi sasareu (pendatang). Identitas kolektif sebagai sebuah kesatuan atas nama Mentawai muncul dari perasaan tertekan itu.
Sehingga, orang Siberut secara aktif mengartikulasi wacana hak-hak adat untuk memperbesar mereka membangun alinasi yang lebih luas dan meningkatkan posisi tawar ketika berhadapan dengan kekuasaan luar yang lebih kuat. Orang Siberut memiliki penafsiran terhadap makna adat yang berbeda dengan para konservasionis dan aktivis LSM. 

Cara memandang masyarakat
Pada kenyataannya, meskipun pengaturan negara, rezim kayu, dan program konservasi senantiasa mengganggu tatanan masyaraat Siberut, masyarakat Siberut tidak serta-merta melawannya secara kolektif, terorganisir, dan tunggal. Di tengah dominasi aktor-aktor luar itu, masyarakat Siberut melancarkan proses negosiasi yang mewujud dalam sikap melawan sekaligus akomodasi. Dalam negosiasi itu, masyarakat Siberut mengalami diaspora, sikap-sikap ambivalen, inkonsisten, bahkan bertentangan. Dulu teriak tolak pertambangan kayu, kini membelanya. Sekarang menolak konservasi, padahal dulu mendukung. Dulu aktif di LSM pembela hak masyarakat adat menolak penambangan kayu, sekarang jadi karyawan tambang.
Mereka menerima program konservasi dan menjual lahan hutannya kepada penambang kayu sekaligus tetap menerabas dan membuka ladang di sana. Mereka tidak sepenuhnya melawan negara karena mereka menggantungkan janji-janji pembangungan dengan segala fasilitasnya. Dari perusahaan kayu, mereka bisa mengantongi uang tunai dengan penjualan hutan. Dari LSM, identitas adat mereka terlegitimasi untuk tetap mengklaim kepemilikan hutan.
Aksi, strategi, dan taktik untuk meraih akses dan kontrol atas hutan terkesan acak, tidak patuh, oportunis, dan egois. Semua itu dinilai semata-mata demi mencapai kehidupan yang lebih baik (modern): makan nasi, punya kendaraan bermotor, televisi dan bersekolah tinggi.
Buku ini, melawan pemikiran bahwa masyarakat adat adalah sekelomok manusia ‘murni’, bijak dan arif, menjaga harmonisasi dengan alam, jauh dari peradaban modern, cenderung religius, dan memiliki kearifan lokal. Paradigma ini hanya ada dianggan-angan kita, karena kita memandangnya dari jarak jauh.
Kita selalu memandang suatu masyarakat hanya dari paradigma jarak jauh. Tidak ada perbedaan sikap antara kalangan aktivis dan pemerintah dalam melihat Siberut. Keduanya sering menyederhanakan masalah dalam membahas isu konservasi sebagai isu ekonomi politik, para aktivis cenderung berkesimpulan adanya masalah ‘budaya’ orang mentawai.

Hal ini merefleksikan bahwa bukannya orang luar yang harus menerima relitas masyarakat yang terus berubah-ubah akibat ketidakpastiaan kondisi hidup dan menerima kenyataan itu sebagai dasar atau pengetahuan baru. Akan tetapi, masyarakatlah yang harus sesuai dan dicocokan dengan konstruksi dari luar, baik atas nama konservasi maupun pembangunan.


Tag : ,

Kehendak yang Mesti di Perbaiki

By : secawan kopi tubruk
Kehendak yang Mesti di Perbaiki



Identitas Buku
Judul Buku: The Will to Improve
Penulis : Tania Murray Li
Penerbit : Marjin Kiri
Penerjemah : Hery Santoso dan Pujo Semedi
Tahun terbit: 2012
Tebal Buku : 536 halaman




Kehendak untuk memperbaiki mesti ditinjau ulang oleh para wali masyarakat.



            Masyarakat sebagai suatu entitas yang beragam, selalu dijadikan objek sasaran berbagai progam pembanguan dari berbagai tokoh yang beragam, dari tingkat lokal hingga internasional. Progam pembangunan ini selalu diproduksi dan tidak akan pernah usai,  sejak zaman kolonial  hingga kini. Tujuan berbagai progam pembangunan itu adalah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Namun, anehnya progam-progam pembangunan ini tidak mampu menuntaskan persoalan. Keberadaan progam-progam ini justru membawa masalah baru bagi masyarakat.
Disinilah buku The Will to Improve tulisan Tania Muray Li menjawab sengkarut persoalan yang lahir dari ‘kehendak untuk memperbaiki’ tersebut.  Kehendak untuk memperbaiki, dikonsepkan dan dilaksanakan oleh para aktor yang disebut Tania sebagai ‘wali masyarakat’. Para wali masyarakat adalah sebuah kedudukan yang dibangun berdasarkan klaim bahwa merekalah yang paling tahu tentang masyarakat karena mereka memiliki pengetahuan.
Para wali masyarakat ini melakukan intervensi dalam kehidupan masyarakat setempat melalui gelanggang kekuasaan yang dinamakan Foucault dengan  ‘rasionalitas khas kepengaturan’, yaitu upaya merumuskan “jalan paling tepat untuk menata kehidupan manusia” dalam rangka mencapai “serangkaian hasil akhir yang spesifik” dan diraih melalui “berbagai taktik multibentuk” (hal. 11). Kepengaturan bertindak secara persuasif. Kekuatan untuk mengarahkan orang bekerja dengan cara mengarahkan minat, membentuk kebiasaan, mendorong internalisasi nilai-nilai, merumuskan cita-cita dan kepercayaan bersama.

Dengan memanfaatkan fakta etnografis dan historis perubahan masyarakat di Poso, Tentena, Taman Nasional Lore Lindu di pegunungan Sulawesi Tengah sebagai fokus penelitian, Tania menjaskan secara kronologis perjalanan kehendak untuk memperbaiki. Disana, selama seabad terakhir berbagai progam beserta intervensi kepengaturan diciptakan.

Progam-progam pengaturan masyarakat, yang dilahirkan pemerintah kolonial hingga rezim neoliberal sering saling tumpang tindih. Hal ini terjadi kaena progam-progam tersebut memiliki persoalan mendasar dan mengidap keterbatasan. Inilah kritik yang ditegaskan Tania. Keterbatasan pertama, sedikitnya perhatian kepada rezim penguasa yang justru ditempatkan sebagai mitra pembangunan, seburuk apapun pemerintahannya. Keterbatasan kedua, nihilnya atensi terhadap relasi kekuasaan yang terselubung antara wali masyarakat dan masyarakat binaan.
Masyarakat bukanlah bejana kosong yang dapat diisi apa saja, sedangkan para wali masyarakat pun bukan kaum yang bebas nilai dari kepentingan kelompok. Hubungan tersebut mempertegas batas diantara keduanya yang bersebrangan dan tak terjembatani. Bisa dikatakan, pemberdayaan masih merupakan sebuah hubungan kekuasaan. Keterbatasan ketiga, pendekatan ini mengesampingkan faktor-faktor struktural yang menjadi sumber kesenjangan dari ranah teknis mereka. Batas inilah dasar yang membuat progam perbaikan dari dulu hingga kini, bisa masuk akal dan berakar kuat, tetapi selalu bermasalah. (halaman 496)

Menariknya dalam buku ini, Tania tidak memberi satu kesimpulan tunggal tentang yang harus kita lakukan. Melalui penjelasannya yang disusun dengan deskripsi yang apik dan kaya data, dia hanya mengajak kita berpikir hingga ke akar permasalahan, berpikir lebih luas, dan berpikir agar usaha perbaikan dapat dikerjakan lebih manusiawi. Oleh karena itu, sudah selayaknya buku ini kita baca.
  
Tag : ,

Makishima Shougo: Kepercayaan akan Nilai Manusia

By : secawan kopi tubruk


Kepercayaan akan Nilai Manusia

“Seseorang itu bernilai jika mereka bertindak atas kehendaknya sendiri,” Makishima Shougo.

Makishima Shougo adalah antogonis utama dalam animasi psycho-pass. Dia merupakan salah satu orang yang kecenderungan psikologisnya tidak bisa dibaca sibyl sistem atau yang disebut ‘perilaku kriminal tanpa gejala’. Sehingga, saat melakukan tindak kejahatan psycho-passnya dan koefisien kriminal Makishima tetap dianggap aman oleh dominator. 
Makishima pandai meraba kehendak orang, termasuk orang-orang yang bertujuan melakukan kejahatan. Dia membantu mereka untuk menjadi pembunuh sesungguhnya. Tapi kemudian, dia sendiri turut menghancurkan orang tersebut jika terlihat gagal, seperti kasus Mido Masitake dan Ouryo Rikaku. Laki-laki brilian yang terlihat selalu tenang ini teryata adalah orang yang berbahaya dan sadis. Dengan tenangnya, dia membunuh Yuki, sahabat Akane. Setiap tindak kejahatannya dilakukan dengan 'elegan'  dan terencana.
Namun,  setiap tindakannya memiliki nilai atau pesan yang tersirat. Dia tak sengan-sengan menguji jiwa manusia, meskipun harus bertindak sadis. Dia sangat mempercayai keagungan jiwa manusia. Dia ingin membuktikan bahwa bahkan di era teknologi yang disebut-sebut telah berhasil mengungkapkan rahasia dari jiwa manusia, tetap akan selalu ada bagian dari jiwa dan pikiran manusia yang tidak dapat diukur dan menjadi misteri.

“Dengan menganalisa bio-organisme yang dibaca pemindai gelombang, dominator mampu mengetahui cara berpikir seseorang. Sains akhirnya menemukan rahasia di balik jiwa manusia, dan hasilnya masyarakat ini berubah drastis. Akan tetapi, kehendak masyarakat bukan termasuk bagian dari penilaian tersebut. Aku heran criteria apa yang kau gunakan untuk memisahkan antara orang baik dan orang jahat. Aku ingin menjadi saksi dari keagungan jiwa manusia. Aku ingin tahu apakah itu memang layak untuk dikagumi. Tapi, saat hidup manusia bergantung pada Sybil, tanpa pernah memikirkan apa yang benar-benar mereka inginkan, apa mereka benar-benar berharga?”  (episode 11)

Dalam animasi ini terlihat Makishima merupakan sosok penjahat yang punya nilai dan idealisme tersendiri. Ia adalah aktor yang ingin menghancurkan sibyl sistem. Menurutnya, Sibyl System yang menurutnya telah merampas kebebasan. Dia adalah pelanggar politik politik dalam masyarakat yang dikelola sibyl sistem.

“Benarkah ini sebuah sistem? Atau sebuah penjara yang besar? Panopticon (penjara yang bentuknya bundar/bulat). Fasilitas yang bisa mengamati semua orang sekaligus. Sibly mungkin bentuk yang terburuk. Kau bisa mengendalikan tahanan hanya dengan sedikit penjaga.” (episode 22)

“Tak ada tempat bagi komonitas di dunia ini, dimana semua orang diawasi dan hidup dalam standar sistem. Semua orang hanya diam dalam penjara kecil mereka masing-masing. Dan sistem menjinakan mereka dengan memberikan mereka masing-masing ketentraman diri.” (episode 23)

Baginya, tatanan masyarakat yang dikelola sibyl sistem telah menghilangkan nilai sesungguhnya dari manusia dan kemanusiaanya. Sistem telah membuat manusia seperti binatang jinak. Tindakkannya mirip seorang anarkis, yang ingin merubah sistem yang tidak manusiawi mejadi lebih manusiawi. Namun, karena menyukai kehancuran dia telah menyimpang dari makna anarkisme sesungguhnya.
Di episode 17, dia merencanakan tindakan yang mengguncang dasar masyarakat. Dia memprovokasi masyarakat untuk menyadarkan betapa buruknya jika manusia kehilangan kemanusiaannya.  Bersama temannya, dia menciptakan sebuah helm agar si pemakainya tidak bisa dideteksi pemindai psycho-pas. Helm ini dibagikan kepada masyarakat.

“Alat ini berfungsi untuk meningkatkan kesadaran. Untuk menyedarkan masyarakat bahwa mereka seharusnya hidup layaknya manusia, bukan binatang ternak yang jinak. Masyarakat telah disesatkan sibly sistem hingga ke titik dimana mereka tidak mampu menyadari bahaya, meski didepan mereka sekalipun.”  (episode 14)

Setelah ditanggap oleh DIK, Makishima tidak dihukum tapi justru diajak bergabung menjadi anggota. Kepandaian, ketajaman analisa, dan perilakunya yang sulit ditebak  diperlukan untuk menyempurnakan sibyl sistem.  Namun, Makishima menolak dan melarikan diri. Dia lebih memilih menjadi pemain selama-lamanya, daripada menjadi ‘tuhan’ yang mengendalikan tatanan masyarakat. Dia mencintai permainan ‘kehidupan’ dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Baginya, bentuk sesungguhnya dari sibyl sistem merupakan sebuah ironi. Ini mirip seperti dokter di di balnibarbi dalam Perjalanan Guliver, karangan swift, bagian 3. Balnibarbi adalah tempat yang disinggahi guliver setelah pulau melayang laputa. Seorang dokter di balnibarbi menemukan cara untuk mendamaikan dua politisi yang berbeda saling berbeda pendapat. Caranya yaitu melakukan operasi memotong setengah bagian otak mereka yang kemudian dijahit menjadi satu. Ketika selesai, mereka mampu menghasilkan kesederhanaan serta keteraturan cara berpikir. Ini adalah kritik mereka yang sombong, yang berpikir bahwa mereka datang ke dunia hanya untuk melihat dan mengatur aliran geraknya.
Oleh karena itu, sampai akhir dia terus berusaha menghancurkan sibyl sistem. Walau pada akhirnya kembali digagalkan oleh Kougami. Makishima pun mati ditangan kougami.



Tag : ,

Nilai Manusia dan Kepalsuan Sistem

By : secawan kopi tubruk
           Seseorang itu bernilai jika mereka bertindak atas kehendaknya sendiri. (Makishima Shougo)

Mulanya, sibly sistem diperkenalkan oleh pemerintah sebagai sistem yang sempurna, objektif, dan netral.  Oleh sebab itu, masyarakat menerima dan mempercayai keberadaannya. Ketertiban dan kebahagian masyarakat dianggap sebagai dampak dari sistem ini. Lama-kelaman, sistem itu menjadi landasan baru bagi masyarakat. 
Akhirnya, manusia kehilangan nilai kemanusiaanya sendiri karena terlalu bergantung pada sistem. Mereka tidak menyadari bahaya didekatnya, karena selalu bergantung pada sibyl sistem. Kebenaran sistem adalah kebenaran mutlak dan absolut.
Manusia teralienasi dari hidup dan kehidupannya yang hakiki. Tabu dan aneh jika ada manusia yang masih membicrakan tentang kehidupan, alasan untuk hidup, nilai kehidupan. Manusia bukan hanya kehilangan kontrol atas tubuhnya, tapi juga jiwanya. Tatanan masyarakat seperti inilah yang ingin dihancurkan Makishima dan mengantinya dengan tatanan yang lebih manusiawi.
Dibalik itu semua, ternyata sistem ini tidaklah sempurna dan penuh kontradiksi. Banyak manusia-manusia yang jiwanya tak dapat dideteksi oleh sistem, termasuk Makishima. Padahal manusia-manusia ini melakukan kejahatan yang lebih buruk dari Makishima. Mereka disebut pelaku ‘kriminalitas tanpa gejala’, termasuk Makishima. Pemerintah berusaha menutupi ketidaksempurnaan dengan menggabungkan berbagai penyebab kontradiksinya.
Untuk menghilangkan kontradiksinya, pemerintah  bekerjasama dan menyatukan orang-orang yang dianggap menyimpang tersebut dalam sibyl sistem dalam wujud otak-otak manusia yang disatukan. Inilah kebenaran sesungguhnya dari sibyl sistem, sebuah teknologi yang dibangun dari otak manusia.
Ada 247 otak manusia yang menjadi anggota sibyl sistem, 200 aktif berkerja secara bergantian. Pemikiran yang digabungkan dari berbagai otak manusia ini digabungkan untuk menghasilkan nilai universal. Nilai universal ini akan diterapkan pada masyarakat. Ternyata, objektifitas hanyalah mitos. Sibyl sistem itu, sendiri adalah bentuk kekuasaan terselubung. Oleh karena itu, sibyl sistem bukanlah bentuk pemerintahan birokrat yang ideal, tapi sebuah penjara.
“Benarkah ini sebuah sistem? Atau sebuah penjara yang besar? Panopticon (penjara yang bentuknya bundar/bulat). Fasilitas yang bisa mengamati semua orang sekaligus. Sibly mungkin bentuk yang terburuk. Kau bisa mengendalikan tahanan hanya dengan sedikit penjaga,” ujar Makishima Shougo.
Tag : ,

Misteri Psikologi Manusia

By : secawan kopi tubruk




Judul : Psycho Pass
Status : Finished, 22 episode, anime original
Tayang : 12 Oktober 2012 - 22 Maret 2013
Genre : Action, sci-fi, psychological

            Ilmu pengetahuan dihasilkan oleh manusia selalu dengan tujuan mulia, seperti memenuhi kebutuhan hidup, mendorong kemajuan, dan menciptakan kebahagiaan manusia.  Kehadiran ilmu pengetahuan ini turut membawa perubahan bagi peradaban manusia, termasuk merubah sistem dan tatanan masyarakatnya. Namun, kehadiran ilmu pengetahuan dan perubahan yang menyertainya selalu memiliki resiko tersendiri.  
Dinamika manusia menghadapi sistem yang diangkat dengan apik dalam animasi pscyho-pass. Animasi original buatan studio Production I.G. ini mempertanyakan kembali hakikat manusia dan kemanusiaannya. Cerita mengambil latar belakang Jepang di masa depan dengan berbagai kemajuan teknologinya. Revolusi teknologi terbesar yang merubah tatanan masyarakat Jepang adalah kelahiran Sibyl Sistem yang diciptakan kementrian Kesejahteraan.
Sistem ini mampu menilai bakat, kesehatan mental, dan keadaan psikologis manusia dengan menganalisa bio-organisme manusia yang dibaca pemindai gelombang. Pembacaan jiwa manusia diperlukan untuk mengarahkan kehidupan manusia dan mencegah tindak kejahatan.
Sibyl sistem pun menjadi ukuran dalam menentukan ‘baik’ atau ‘jahat’ seseorang melalui angka yang disebut kofisien kriminal atau kecenderungan psikologi manusia dalam melakukan tindak kriminal. Sehingga, jiwa manusia senantiasa diukur, dicatat, dan diawasi berdasarkan standar angka-angka yang telah ditetapkan. Ukuran angka-angka ini dinamakan psycho-pass.  
Alhasil, angka-angka ini menjadi nilai dan norma baru dalam masyarakat Jepang. Orang-orang yang nilai psycho-passnya melebihi batas standar, akan ditindak oleh Dapertemen Investigasi Kriminal (DIK). Hukuman dapat berupa dimasukan pusat rehabilitasi atau dibunuh ditempat, tergantung kondisi psycho-pasnya.  
Ini adalah era dimana sistem pengadilan umum telah dihilangkan. Hukum dan hakim itu sendiri adalah sibly sistem. Sehingga masyarakat siap menjadi terdakwa kapan saja dan dimana saja, tanpa pembelaan dan tanpa bukti. Bahkan ada orang yang dianggap penjahat seumur hidup atau kriminal laten walau belum pernah melakukan tindak kejahatan.
Cerita dari Psycho Pass sendiri berpusat pada konflik dan dilema yang dialami orang-orang yang bekerja di badan pemerintah DIK. Mereka bertugas menangkap dan mengadili para kriminal sesuai penilaian yang dilakukan senjata dominator, mata Sibyl System. Film dimulai dengan bergabungnya Tsunemori Akane sebagai inspektur di DIK. Tsunemori Akane menjadi anggota divisi 1 bersama inspektur Nobucika Ginoza dan para bawahannya yang disebut enforcer (penegak), para kriminal laten yang dipekerjaan. Mereka adalah Shinya Kaugami, Tomomi Masaoka, Shuusei Kagari, dan Yayoi Kunizuka.
Keberadaan para enforcer merupakan sebuah ironi. Mereka dinyatakan sebagai ‘penjahat’ oleh sistem tapi keberadaannya dibutuhkan untuk menjaga inspektur tetap berada di jalan ‘baik’ oleh psycho-pass. Mereka sering kali disebut anjing pemburu karena tugasnya memburu para penjahat lainnya. Seolah, kemanusian mereka sedang diuji.
            Dalam melaksanakan tugasnya, mereka disusahkan oleh keberadaan Makishima Shougo, aktor yang menciptakan berbagai permainan pembunuhan. Makishima ternyata dalang dibalik pembunuhan yang dilakukan beberapa penjahat. Dia mampu menemukan orang-orang yang memiliki niat membunuh dan memberikan mereka cara membunuh. Aksi terencana dan sistematis makishima bukan hanya itu. Tujuan sesungguhnya makishima adalah meruntuhkan sibyl sistem, landasan dasar masyarakat.
            Aksi DIK menghadapi makishima menjadi klimaks animasi ini. Lebih dari itu, pergulatan mereka merupakan pergulatan ideologis. Sikap dan pilihan mereka menjawab dinamika manusia dan sistem yang membentuknya. Makishima memilih menjadi seorang anarkis, melakukan pelanggaran politik murni dengan sifat manusia. Kougami yang memilih keluar dari jalur hukum ketika ternyata hukum tak dapat melindungi masyarakat. Akane mengambil pilihan melindungi hukum walau sadar hukum tidak layak untuk dilindungi. 
            Cerita ini diramu dengan kasus-kasus misteri ala detektif dan perdebatan ‘ide’ ala cendikiawan sehingga berbobot. Penuh surprise dan plot twist yang tak terduga dan keren, diceritakan dengan alur yang mantap dan episode klimaks yang epik.  Dari segi penggarapan animasi, Psycho Pass memiliki kualitas animasi yang tinggi, dengan 3D CG, spesial effect, character design dan environment yang detail dan halus. Battle scene di beberapa episode yang menampilkan pertarungan tangan kosong juga memiliki koreografi yang detail dan keren meskipun tidak memakai special effect berlebihan. Jadi, pastikan untuk segera menonton animasi ini!
Tag : ,

Jebakan Hutang

By : secawan kopi tubruk
Tolak hutang bersakit-sakit dahulu, pilih hutang maka bersakit-sakit kemudian.


“Yah pak, jangan diambilin dagangan saya,” ucap seorang wanita berumur sekitar 50 tahun.
“Loh, salah siapa lunas sampai tengat waktu. Saya kan sudah bilang konsekuensinya dari awal kalau belum lunas tepat waktu,” ucap seorang laki-laki bertubuh pendek berkemeja biru.
Tak ayal, laki-laki bertubuh pendek berkemeja biru itu bersama seorang laki-laki bertubuh besar berkaos merah berlalu dari wanita itu dengan membawa beberapa barang. Kunyit, krupuk, bawang merah, dan kentang. Rupanya barang-barang itu langsung diambil dari kios wanita tersebut. Wanita itu bernama darno. Darno merupakan salah satu pedagang di pasar kecil di daerah Cipinang Muara. Kedua pria itu adalah rentenir. Pria berkemeja biru adalah pemilik dana, sedangkan pria berkaos merah adalah pekerja penagih hutang (debt collector).
Darno meminjam uang sebesar lima juta untuk biaya rumah sakit anaknya yang terkena DBD. Tenggat pelunasan bulan ferbuari lalu.
Darno memang biasa meminjam kepada renternir. Itu untuk membantu keberlangsungan kiosnya. “saya tidak punya banyak modal,” Darno beralasan. Sialnya, berhutang menjadi kebiasaan Darno. “saya terjebak hutang”. Untung dagangan jadinya cuma buat bayar bunga utang,” ujar Darno seperti binggung.
Tidak lama setelah kejadian penarikan barang di kios Darno. Seorang renternir perempuan terlihat mendatangi kios yang bersebelahan dengan Darno. Ciri-ciri perempuan itu mengenakan topi dan membawa-bawa buku besar. “Sri....,” ujar perempuan yang akrab disapa uni.
“Ngga ada uni, lagi sepi hari ini,” ujar seorang wanita bernama Sri.
“Masa ngga ada mulu. Udah tiga hari lu belum bayar,” Uni menggomel.
“Janji dah uni, besok dibayar sekalian jadi lima hari. Minggu kan ramai,” Sri terlihat memelas.
“Yaudah. Besok bayar!” Uni berlalu begitu saja dari kios Sri dan bergeser kekios-kios lain.
Sri, wanita berumur 38 tahun, juga tidak lepas dari hutang. kebutuhan rumah tangga yang besar memaksa Sri harus berhutang. “Saya bingung bayar listrik nunggak dua bulan (November dan Desember-red). Ditambah lagi waktu itu WC penuh. Saya ngga punya simpanan, jadi ya terpaksa hutang,” sri mengeluh.
Tak banyak yang dapat dilakukan orang berpenghasilan minim seperti sri selain berhutang demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Namun, hutang bukan solusi terbaik. Bunga hutang turut menggerus laba dari berjualan bumbu dapur yang memang sudah tipis. Akibatnya jatah untuk membiayai kebutuhan sehari-hari juga turut berkurang. “Semenjak ada kewajiban bayar hutang, uang saku anak saya dikurangi. Terus makan pake ayam atau ikan cuma sebulan sekali jadinya. Diiritlah buat bayar utang,” Sri bercerita.
Pengurangan anggaran kebutuhan sehari-hari untuk membayar hutang juga dialami Daus, pedagang kelapa. Bedanya, Daus bukan berhutang dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk kredit barang. Istrinya membeli beberapa barang elektronik dengan mencicil. Televisi, rise cooker, dan kipas angin mini, dibeli dengan harga yang beda 20% dari harga asli. Oleh karena itu, daus mengurangi anggaran kebutuhan sehari-hari. “Coba istri saya sabar. Tiga empat bulan juga udah terkumpul uang buat beli tunai. Kredit nyiksa baget. Anak saya ngerengek bosen diempanin telor dan mie mulu,” ujar Daus sembari menghisap rokok yang juga terkena impas pengiritan.
Darno, Sri, Daus merupakan contoh kecil bahayanya jerat hutang. Imbas terbesarnya ialah pengurangan anggaran kebutuhan sahari-hari, seperti makan. Padahal kecukupan gizi didapat dari makanan. Kekurangan gizi terkait kesehatan, pertumbuhan, kecerdasan, dan produktivitas.
Jebakan hutang juga dihadapi pemerintah Indonesia, termasuk dampak pengurangan kebutuhan primer. Alasan kenaikan harga BBM karena besaranya beban pengeluaran untuk subsidi tidak tepat. Dibandingkan dengan harga subsidi BBM jika tidak dinaikan yang mencapai Rp178,62 triliun, anggaran untuk pembayaran utang luar negeri lebih besar lagi. Angaran membayar angsuran pokok hutang dan bunga hutang dalam dari APBN 2011 tercatat Rp267,509 triliyun. Pengurangan subsidi publik tidak hanya terjadi pada BBM, tapi beberapa sektor lain. Seperti listrik, pendidikan, kesehatan.
Hutang luar negeri mulai tercatat di APBN ketika rezim orde baru bercokol di Indonesia, dengan pendonor IMF dan World Bank. Alasannya untuk pembangunan. Pembangunan memang berlangsung, tetapi penuh dengan kolusi dan korupsi. Belum lagi pembangunan itu tidak sepenuhnya dibutuhkan oleh rakyat. Seperti Daus yang berhutang hanya untuk kebutuhan sekunder.
Lembaga pendonor internasional sama mengerikan dengan rentenir yang hanya mencari keuntungan. Melalui jebakan hutang, Indonesia harus memprivatisasi beberapa BUMN. Seperti Darno yang kehilangan aset-aset sumber pendapatannya. Akhirnya hutang menjadi alat menjerat kehidupan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, jangan pernah sekali-kali berhutang pada renternir. Sekali terjebak, kita sulit keluar.
Tag : ,

- Copyright © Secawan Kopi Tubruk - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -