Pengalaman Membaca Berebut Hutan Siberut
By : secawan kopi tubruk
Pengalaman Membaca Berebut Hutan
Siberut
Setelah membaca buku The Will be Improve karya Tania Muray Li
saya jadi tertarik dengan karya yang berdasarkan penelitian etnografi. Buku
etnografi lainnya yang membuat saya tertarik ialah Berebut Hutan Siberut. Buku
ini merupakan karya duet Darmanto dan
Abidah B. Setyowati.
Setelah membaca buku ini, saya cukup terkejut dengan argument yang kedua
penulis ini yakini. Bahwa ternyata apa yang kita percayai tentang ‘kearifan
lokal suatu masyarakat adat’ merupakan sebuah pandangan yang dilihat dari jarak
jauh.
Buku
ini, melawan pemikiran bahwa masyarakat adat adalah sekelomok manusia ‘murni’,
bijak dan arif, menjaga harmonisasi dengan alam. Jauh dari peradaban modern,
cenderung religius, dan memiliki kearifan lokal. Paradigma ini hanya ada
dianggan-angan kita, karena kita memandangnya dari jarak jauh.
Kita
selalu memandang suatu masyarakat hanya dari paradigma jarak jauh. Tidak ada
perbedaan sikap antara kalangan aktivis dan pemerintah dalam melihat Siberut.
Keduanya sering menyederhanakan masalah dalam membahas isu konservasi sebagai
isu ekonomi politik, para aktivis cenderung berkesimpulan adanya masalah
‘budaya’ orang mentawai.
Hal
ini merefleksikan bahwa bukannya orang luar yang harus menerima relitas
masyarakat yang terus berubah-ubah akibat ketidakpastiaan kondisi hidup dan
menerima kenyataan itu sebagai dasar atau pengetahuan baru. Akan tetapi,
masyarakatlah yang harus sesuai dan dicocokan dengan konstruksi dari luar, baik
atas nama konservasi maupun pembangunan.
Tag :
kopi panas,
Pengalaman Membaca The Will Be Improve Tania Muray Li
By : secawan kopi tubruk
Pengalaman Membaca The Will Be
Improve Tania Muray Li
Buku berjudul The Be Improve yang ditulis Tania Muray Li
merupakan buku etnografi pertama yang saya baca. Usai menamatkan buku ini, saya
merasa buku ini merupakan karya yang bagus dan langka. Saya kagum bagaimana
Tania mampu memadukan antara teori-teori sosial yang ada dan realitas
masyarakat sesungguhnya. Hasilnya, sebuah analisa masyarakat yang mendalam, kuat,
kritis, dan tepat.
Tapi yang lebih penting, bersama buku ini, Tania seolah ingin
melawan beberapa pendangan umum yang hari ini amat dipercayai masyarakat. Kita
diajak melihat bahwa progam-progam pembangunan itu sejak awal sudah bermasalah
(ketika dikonsepkan). Pun ketika diterapkan.
Mengapa bermasalah sejak awal? Argument Tania untuk menjawab
ini pun seperti yang saya yakini. Pertama, progam pemakmuran ini sendiri tidak
bebas nilai. Masyarakat yang dijadikan sasaran progam bukanlah bejana kosong
yang hendak diisi. Sedangkan kaum pembuat progam pun bukan kaum yang bebas
nilai dan tidak terlepas dari kepentingan. Pada akhirnya kaum yang disebut
Tania sebagai ‘wali masyarakat’ ini memerlukan progam-progam yang dibuat dan
dijalankan mereka utuk menegaskan kepakarannya. Sehingga lebih jauhnya akan
berjalan relasi, ada kaum yang mendominasi dan kaum terdominasi.
Kedua, ketika progam itu dirancang, progam-progam ini
cenderung menyederhanakan masalah. Inilah yang disebut teknikalisasi masalah. Progam-progam
ini dibuat dengan membuat ukuran-ukuran tertentu dan sehingga hasilnya pun
dapat dilihat dalam batas tertentu.
Argumen Tania ini pun seperti apa yang saya percayai. Masalah
serupa juga terjadi dalam lingkup lain. Misalnya
dalam dunia pendidikan. Sudah jauh-jauh hari, Paulo Feire melihat ini. Dalam
dunia pendidikan guru bisa bertindak sebagai wali masyarakat yang menetapkan
progam. Lalu murid dianggap bejana kosong yang siap diisi. Guru mengisi dan
murid diisi atau guru mendominasi dan murid didominasi. Freire menamakan ini
dengan pendidikan ‘gaya bank’. Menurut Feire, pendidikan semacam ini hanya
menghasilkan ‘reproduksi-reproduksi pengetahuan yang ada’. Tentu pengetahuan
yang diberikan guru bukanlah sebuah pengetahuan yang bebas nilai. Pun murid
memiliki pengetahuannya sendiri dan bukan bejana kosong. Inilah yang disebut
Feire bahwa ‘pegetahuan berkelindan dengan kekuasaan’.
Karena itu, dalam
dunia pendidikan jelas sekali untuk mngukur keberhasilan murid melalui nilai-nilai.
Semakin tinggi nilai yang dicapai murid maka semakin berhasil pula progam yang
dibentuk guru. Nilai-nilai, indikator-indikator merupakan ‘teknikalisasi
maslah’ dari hubungan pengajaran. Untuk
itu, bagi freire yang terpenting bukanlah progam, metode, kurikulum. Tapi yang
terpenting adalah paradigma kita memandang pendidikan itu sendiri.
Lalu, dalam buku ini terlihat apa yang dipercayai Tania
ternyata sama dengan apa yang saya percayai. Saya melihat argument yang kuat
dari Tania bahwa masyarakat bukanlah bejana kosong yang siap diisi. Saya pun
mempercayai dimana pun masyarakat berada, masyarakat bukanlah sekelompok
manusia yang bodoh, tidak tahu apa-apa, dan siap diisi. Pandangan ‘masyarakat
sebagai bejana kosong’ ini datang dari ‘penglihatan jarak jauh’. Justru para wali masyarakat yang membawa
progam-progam itulah yang memiliki kepentingan.
Tag :
kopi panas,
Ramayana, Terus Bermetamorfosis dan Bermimikri
By : secawan kopi tubruk
Ramayana, Terus Bermetamorfosis dan Bermimikri
Oleh : Citra Nuraini
“Jika epik Ramayana tak bermetamorfosis dan tak
bermimikri, akankah epik ini terus bertahan?”
Dalam perkembangan kebudayaan dunia, epik Ramayanan merupakan
salah satu karya yang paling banyak memiliki varian dan versi. Epik ini mulanya
berasal dari sastra lisan India kemudian di tuliskan untuk pertama kali
oleh Valmiki dua puluh empat abad yang lalu (tepatnya sekitar abad ke-4 SM)
dalam bahasa sansekerta.
Ramayana versi asli yang ditulis oleh Valmiki dalam perkembangannya, banyak mengalami gubahan ke dalam
berbagai versi[1]. Dalam kepustakaan zaman
Sansekerta, misalnya, ada buah karya Raghuvamsha (Kalisada), Setubanda
(Pravasasena), Janakiharana (Kumarasada), Uttaramacarita (Bhavabuti),
Prasannaraghava (Joyadeva), serta Anargharaghava (Nurari). Malah, saat bahasa
India mengalami perkembangan, kisah Ramayana pun kian masyhur dengan
buah karya semisal Kumban Ramayana (dalam bahasa Tamil), Ranganata
Ramayana (bahasa Telegu), Krittivasa (bahasa Bengali), Balaramdasa
Ramayana (bahasa Oriya), Ramacaritamanasa (bahasa Hindi), Adhyatma
Ramayana (bahasa Malayalam), Tovare Ramayana (bahasa Kanari) dan Bhavaratha
Ramayana (bahasa Marathi).
Di india
sendiri, karya ini mengalami penulisan ulang. Tahun 1981, Penulis
India P. Lal menerjemahkan Ramayana dari tulisan asli Walmiki dalam
bahasa Sansekerta
ke dalam bahasa Inggris, dengan judul The Ramayana of Valmiki. P Lal mencoba
menyingkat karya asli Walmiki menjadi sepertiganya, tetapi dia tidak
memperluas, mengadaptasi, menafsirkan. Namun, yang ia lakukan hanyalah
memperpendek dengan jalan menyunting dengan taat mengikuti naskah Sansekerta
asli. Ramayana of Valmiki kemudian
diterjemahkan kembali ke bahasa Indonesia oleh Djokolelono tahun 1995.
Epik ini masuk ke Indonesia bersama dengan masuknya agama
Hindu ke nusantara. Cerita Ramayana di Indonesia berkembang pada abad
ke-9 M hingga masa kerajaan Majapahit. Pada masa awal, cerita Ramayana terdapat dalam relief di Candi
Prambanan. Namun, relief
ini tidak bisa dipisahkan dari upacara keagamaan. Akan
tetapi, cerita tersebut tidak lengkap hanya memuat bagian kelima dari buku
Valmiki yaitu Sundara Kanda.
Kisah ini di nusantara
juga mengalami banyak adaptasi. Dalam khazanah sastra Jawa, Ramayana awalnya di sajikan dalam bentuk Kakawin Ramayana, dan
gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua
berdasarkan kakawin. Terdapat tiga varian
cerita yaitu Kakawin Ramayana,
Carit Ramayana, dan Serat Kanda. Di Serat
Kanda, kisah Ramayana diadaptasi oleh kaum muslim di
Jawa. Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan Kakawin Ramayana dalam
bahasa Jawa kuna. Hikayat Sri Rama ditemukan di Semenanjung Malaya dan Sumatra.
Cerita ini memiliki kesamaan dengan Serat
Kanda.
Akhirnya, epik Ramayana tidak hanya mengadopsi konsep-konsep
agama hindu. Kisah ini pun mulai mengadopsi konsep – konsep Islam. Bahkan,
dalam satu teks bisa ditemukan percampuran antara konsep hindu dan islam. Karya-karya
ini pun semakin jauh dari versi yang ditulis Valmiki.
Perkembangan selanjutnya dalam
kesusastraan Indonesia terkini dalam
penciptaan karya-karya lain yang menjadikan Epik Ramayana sebagai sumbernya, diantara lainnya adalah Anak
Bajang Menggiring Angin, karya Shindunata (1983), Kitab Omong Kosong, Karya
Seno Gumira Ajidarma (2004), Ramayana
karya Purwadi (2004) dan Rahuvana Tattwa, karya Agus Sunyoto (2006).
Namun, novel-novel ini tidak lagi bertahan dengan pakem
kisah. Bahkan kisahnya
sendiri digugat dan didekonstruksi. Lebih jauh
beberapa novel ini merupakan gugatan dan dekonstruksi kisah Ramayana. Rahuvana Tattwa, Agus Sunyoto
menggunakan perspektif dekonstruksi ras Rahuvana (Rahwana) dalam citra ras yang
lain. Seno Gumira Ajidarma dalam Kitab Omong Kosong yang
mengisahkan Ramayana dalam perspektif pertentangan kelas dengan
memunculkan tokoh Satya dan Maneka sebagai tokoh baru yang tertindas akibat
persembahan kuda yang dilakukan oleh Rama.
Bukan
hanya dari sastra ke sastra bentuk-bentuk alih wahana Ramayana. Di nusantara
pementasan wayang banyak mengadaptasi dari kisah Ramayana. Dalam wayang kulit
dan wayang golek naskah akan bergantung pada sang dalang. para dalang ini
berperan dalam mengubah cerita Ramayana ke dalam bentuk naskah pedalangan. Naskah
pedalangan satu dengan lainnya tentu berbeda. Uniknya, naskah pedalangan ini ditulis
sesudah cerita dipentaskan. Dinilah muncul para punakawan dalam kisah
Ramayanana maupun Mahabarata. Mereka ialah Semar, Gareng, Petruk, Togog. Sehingga
punakawan ini merupakan tokoh-tokoh yang hanya muncul dalam kisah Ramayana
versi Indonesia. Melalui mediun wayang yang dipentaskan, kisah Ramayana
mengalami alih wahana kembali. Sehingga pola trasformsinya: lisan – tulisan –
lisan – tulisan.
Dalam
seni pertunjukan kisah ini telah banyak diadaptasi. Misalnya dalam bentuk
teater dan pertunjukan musikal yang pernah ditayangkan di sebuah stasiun TV
swasta. Karya ini pun telah diangkat ke layar lebar oleh sutradara Garin
Nugroho dengan judul film Opera Jawa. Film Opera Jawa ini mengangkat mengambil
alur cerita Ramayanan tapi dalam suasana dan setting cerita di Indonesia masa
kini.
Sejak
tahun 1960-an di pelataran salah satu candi di Prambanan menyajikan sendratari
Ramayana. Mulanya bentuknya sangat sederhana. Sendratari ini masih bertahan
hingga kini. Kemudian berkembang lebih modern dengan tata kostum, tat arias,
tata panggung yang lebih baik. Pementasan sendratari ini pernah di tampilkan di
salah satu stasiun TV swasta.
Baik
baik dalam bentuk sastra dan wayang, masyarakat yang disasar merupakan
masyarakat dengan usia remaja hingga dewasa. Akhirnya, cerita pun beradaptasi
untuk menarik minat anak-anak. Kisah Ramayana telah bisa diceritakan untuk
anak-anak dengan dialih wahanakan dalam bentuk komik. Di Indonesia kisah
ramayanan di tuangkan dalam bentuk komik pertama kali oleh R. A. Kosasih.
Kosasih menyususn komiknya masih dengan tetap berpedoman pada alur cerita asli
Ramayana. Komik kosaih ini masih
merupakan murni hasil dari gambar tangan.
Lalu muncul komik ramayanan tahun 2000an. Bedanya komik ini menggunakan
teknologi desain yang lebih canggih, bukan lagi hasil dari gambar tangan
semata. Kisahnya sudah mengalami sedikit perubahan. Salah satunya komik yang
diterbitkan oleh Cavaran Studio pada 2011 yang ditulis oleh Andik Prayogo dan
dilukis oleh M. Handoko.
Alih wahana dalam kebudayaan
Menurut
Sapardi Djoko Damono (2012) Alih wahana adalah perubahan dari satu
jenis kesenian ke kesenian lain. Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan
dari satu bahasa ke bahasa lain, tapi juga bisa dari satu kesenian ke kesenian
lain.
Perubahan tersebut didasari bahwa dalam pengalihwahanaan
suatu karya perlu adaptasi dari wahana aslinya ke wahana yang baru. Perpindahan
wahana (media) mencakup empat modalitas (Lars Ellestrom 2010: 15), yakni
modalitas materi, modalitas panca indera, modalitas ruang temporal, dan
modalitas semiotik. Lars Ellestrom dalam tulisannya The Modalities of Media: A Model
For Understanding Intermedial Relation (2010)
menyatakan bahwa “Media
dan bentuk seni yang terus-menerus digambarkan dan didefinisikan berdasarkan
satu atau lebih dari modalitas. Kategori-kategori dari materialitas, waktu dan
ruang, visual dan auditori, dan tanda alam dan konvensional, telah dibentuk
kembali lagi dan lagi, tetapi mereka cenderung terlibat dalam cara yang
mendasar”. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa dalam perubahan wahana
ada unsur-unsur yang menjadi alasan perubahan-perubahan pada wahana karya yang
baru. Hal tersebut terkait dengan materialitas, fisik, dan segi tanda.
Berbagai
jenis wahana bisa memuat kisah yang sama atau berbeda. Dalam masing-masing
wahana kisah apa pun tunduk pada keluasaan atau keterbatasan masing-masing
wahana. Berbagai perubahan itu terkait
dengan dinamika dalam kebudayaan. (du Gay, Hall, Janes, Mackay, dan Negus (1997).
Dalam hal ini ketika karya itu hadir dalam berbagai bentuk dia akan selalu
terhubung dengan proses produksi, konsumsi, regulasi, repersentasi, dan
identitas. Dalam perkembangan kebudayaan kita bisa melihat bagaimana karya ini
direpresentasikan, identitas macam apa yang dihubungkan dengannya, bagaimana
karya itu diproduksi, bagaimana dikonsumsi, dan mekanisme apa yang mengatur
distribusi dan penggunaannya.
Ideologi
agama telah mendorong relief di candi.
Ideologi yang berkaitan dengan legalitas kekuasaan mengahasilkan babad dan
kisah wayang. Ideologi pasar telah menghasilkan komik ‘gaya baru’ – meskipun
yang disebut ini selalu dikaitkan dengan ‘upaya untuk memelihara’ budaya
bangsa, yang tidak bisa dipisahkan dengan pertimbangan untuk mencari laba. Berbagai-bagai
dorongan itu telah mengubah pesan yang sama dalam berbagai wahana atau malah
melahirkan wahana baru untuk pesan yang sama yang tentu ‘diboncengi’ oleh pesan
lain. (Sapardi Djoko Damono: 2012).
Akhirnya,
setelah berabad-abad epik Ramayana lahir dan bertahan, kisah ini tak lagi hadir dengan pakem ketika
valkimi menuliskannya. Kisah Ramayana bermetamorfosis dalam beragam wahana
sehingga dia terus hidup di zaman ketika teknologi dan media berubah. Kisah ini
bermimikri mendasar pada kebudayaan setempat. Sehingga, perubahan teks yang
sedemikian rupa menuntut penafsiran konteks ketika karya itu bermetamorfosis
dan bermimikri. Bermetamorfosis dan bermimikri mungkin inilah jawaban agar
sebuah karya dapat bertahan.
[1] Nur Mursidi, “Epik Ramayana dalam Berbagai Narasi”, www.sinarharapan.co.id, diakses pada
Oktober 2013.
Tag :
Essai,
Jurus Tanpa Bentuk Samrah
By : secawan kopi tubruk
Jurus Tanpa Bentuk Samrah[1]
Oleh: Citra Nuraini
Jurus-jurus yang dilakukan kesenian Samrah merupakan
cara agar mereka dapat bertahan. Namun, jurus-jurus mereka sering kali
menimbulkan persoalan baru. Akhirnya, dihadapan pemerintah dan masyarakat,
jurus yang mereka lakukan hanyalah jurus tanpa bentuk.
Kesenian
Betawi tengah menghadapi dinamika sebagai kesenian tradisional. Salah satu
kesenian yang nasipnya bagai telur di ujung tanduk ialah kesenian Samrah. Samrah dilahirkan di Tanah Abang pada abad 18
awal. Kala itu, Tanah Abang meruakan pusat perdagangan para pendatang dari
Cina, melayu, India, Arab, Pakistan, dan Malaya. Di Tanah Abang, para pendatang
tak cuma berdagang. Mereka menetap dan berbaur dengan masyarakat pribumi.
Embrio membentuk kelompok musik muncul ketika anak muda Betawi beserta
tetangganya dari Arab, Melayu, dan India berkumpul dan bermusyawarah.
Kelompok
musik ini mereka namakan Samrah. Nama Samrah diambil dari bahasa arab
‘samarokh’ yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Kata ‘samarokh’
diucapkan oleh orang Betawi menjadi ‘sambrah’ atau yang lebih dikenal ‘Samrah’.
Dengan niat membentuk kelompok musik, mulailah mereka membawa alat musik dari
negaranya masing-masing. Orang Betawi
membawa gendang calte, malaka, dan tamborin. Lalu, orang Arab membawa ols,
orang Melayu membawa fiur atau biola, dan orang India membawa harmonium.
Inilah
kemudian yang dinamakan orkes Samrah. Orkes ini mengiringi tari dan nyanyian. Mereka
menyajikan lagu-lagu yang sifatnya berbalas pantun. Pengaruh melayu yang kuat
kala itu membuat lagu pengiringnya menggunkaan lagu melayu. Seperti Lagu Anak
Ikan, Anak raja Turun Beradu, dan sebagainya.
Tari
Samrah bisa dilakukan berpasangan atau perorangan. Gerakannya mirip tari melayu
yang mengandalkan langkah kaki dengan lenggang yang berirama, posisi
membungkuk, dan jongkok. Bedanya, tari Samrah punya gerakan salawi, yaitu
jongkok hampir seperti duduk bersila. Salawi lebih dari sekedar membugkuk,
sehingga membutuhkan keterampilan sendiri. Biasanya penari Samrah turun
berjoget dengan diiringi orkes Samrah dan nyanyian seorang biduan. Iramanya pun
bisa lembut dan cepat.
Dari
Tanah Abang, Samrah terus berkembang ke daerah Betawi tengah lainnya. Cikini,
Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar, dan Petojo. Selama
perjalanannya, Samrah tak selalu mulus. Pada 1940-an, masa pendudukan Jepang
sempat menjadi batu kerikil bagi perkembangan Samrah. Pemerintah kolonial Jepang
bersifat represif terhadap pribumi hingga kebidang kesenian. Pemerintah kolonial
Jepang melarang berbagai kesenian untuk dipentaskan, tak terkecuali terhadap
kesenian Samrah.
Setelah
Kemerdekaan, kesenian Samrah kembali muncul kepermukaan. Bahkan mengalami
kesenian Samrah mulai popular. Samrah mengalami masa keemasan di sekitar tahun
1970-1980. Di masa itu, sejumlah nama seniman Samrah telah dikenal masyarakat.
Mereka ialah: Harun Rasyid, Firman Muntaco, M. Ali
Sabeni, M. Zein, dan Sarmada.
Beberapa
nama tersebut kini telah meninggal, tinggal Ali Sabeni yang kini berumur 79
tahun. Meski begitu Sabeni masih menjaga grup Samrahnya agar tetap berdiri. “Tahun
’60-an, saya sedang giat-giatnya bermain musik. Terus saya bertemu keluarga
bekas pemain Samrah tahun ’20-an, orang tua generasi kedua. Katanya bikin ini
musik namanya Samrah. Ini musik asli Tanah Abang. Nah itu awalnya saya membuat Samrah,”
ungkap Sabeni.
Grup
yang telah ditinggalkan sang pendiri, kini ada yang diteruskan oleh anaknya.
Salah satunya ialah grup Firman Muntaco yang kini dipimpin oleh Fifi Muntaco. “waktu
itu, tahu-tahu udah berkumpul kakek-kakek dirumah. Kata bapak itu pemain Samrah,
kemudian jadi grup,” kenang Fifi. Pada 12 januari 1992, firman meninggal.
Tampuk kepemimpinan sanggar dipimpin Fifi hingga kini, yang sebelumnya diberi
nasihat untuk membesarkan Samrah. “Bapak berpesan setelah tampil di acara salam
canda di TVRI bulan Oktober 1991,” tambahnya.
Namun,
berlakon sebagai seniman Samrah masa kini tak lagi segemilang ketika Samrah
sedang berjaya. Bahkan, kini eksistensi Samrah bagai telur di ujung tanduk. Kepala
Bagian Pengembangan Kebudayaan Betawi (LKB) Rudi Haryanto mengatakan bahwa
eksistensi kesenian Samrah sedang menurun. Terbukti, grup yang murni memainkan Samrah
hanya tinggal grup Rumpun Melayu pimpinan Ali Sabeni.
Tak hanya kehilangan masa
jaya. Samrah pun mesti bermimikri karena keadaan zaman. Beberapa perubahan
terjadi di kesenian Samrah. Salah satunya ialah perubahan pada alat musik. Penyesuain
terjadi karena onderdil alat musik
produk tua sulit didapat, seperti harmonium yang diganti arkodeon. Kini, grup Samrah
tidak ada yang benar-benar akustik, salah satu alat ada yang menggunakan
listik. “sekarang tidak ada yang benar-benar akustik. Pasti ada
listrik-listriknya,” ujar Fifi.
Namun,
penggunaan harmonium mulai jarang, karena sulit didapat. Alternatifnya,digunakanlah
arkodeon. “Teman-teman Samrah sekarang ini tidka memakai harmonium tapi
arkodeon, yang suaranya hamper mirip,” ungkap Rudi Haryanto, Kepala Bagian
Pengembangan Kebudayaan Betawi (LKB).
Perububahan
selain pada alat musik, perubahan juga terjadi dari segi lagu dan tempo musik. Jika dulu tempo musiknya cenderung lambat dan
mendayu-dayu, maka tempo musik dan lagu saat ini lebih cepat. Grup Ali Sabeni
yang biasa menyenyikan lagu melayu asli, saat penontonya dari kalangan anak
muda, lagu-lagu melayu modern yang bertempo lebih cepat turut dipilihnya.
Seperti: Asmara Dewi, bahtera Laju, bayangan, Bimbang ragu, Lembaran Bunga,
diambang Sore, Lagu rindu.
Jalan sempit dan ruang negoisasi
Mengharap
punya uang banyak dari Samrah? Tidak mungkin. Jangankan memiliki tabungan,
untuk biaya hidup saja sudah susah. Harga sekali tampil Samrah Cuma sekitar 3
sampai 4 juta. Uang tersebut dibagi 10 orang, tiap orang mendapat 300-400 ribu.
Dari uang yang didapat, masih harus dipotong untuk transportasi dan makan.
Terlebih panggilan untuk pentas tidka menentu, kadang sebulan hanya beberapa
kali tampil atau malah sama sekali tak ada.
Makanya
untuk menambal kebutuhan hidup, semasa muda Ali Sabeni juga bekerja sebagai
tukang las. “Kalau Samrah dijadikan buat penghasilan hidup, tidak cukup,” ujar
laki-laki beranak tujuh ini. Sayangnya, Ali Sabeni sudah tidak lagi bekerja
karena dimakan usia. “Tapi untuk berkesenian, saya tidak mengenal umur,” tegas
Sabeni.
Samrah
yang didominasi lagu Melayu jadi kurang popular buat masyarakat kini. “Pernah
ada yang bilang tarifnya jangan mahal-mahal karena lagunya tidak dikenal.
Makanya, kami juga fleksibel bisa lagu dangdut atau pop,”tambah Fifi.
Lagu
pengiring orkes Samrah berupa lagu-lagu melayu tahun 50-an hingga 60-an. Ciri
tempo lagu masa itu cenderung lebih lambat. “Kaya lagu Jembatan pate, tidak
enak dinyanyikan. Orang pada ngantuk mendengarnya,” tutur Fifi. Alat musiknya
pun sulit dimainkan, rata-rata bernada minor, yang menghasilkan irama lambat.
Demi
mempertahankan hidup, kini para penggiat Samrah harus putar otak. Berbagai
jurus tanpa bentuk dilakukan oleh para seniman. Sanggar Fifi sendiri akhirnya
menyediakan pertunjukan lain seperti Hadroh (kesenian rebana), palang pintu
(tradisi penyembutan calon pengantin dalam adat pernikahan betawi), tanjidor,
organ tunggal. Pembuatan ondel-ondel dan makanan betawi pun dikerjakannya.
“Kerja
saya serabutan. Semua saya kerjakan, yang penting bisa dapat uang. Akhirnya
berbagai hal kita layani agar dapat terus hidup,” ujar perempuan kelahiran
tahun 67 ini.
Ada
juga orkes Samrah pimpinan Widya yang bernama sanggar Pelangi. Awalnya grup Samrah
yang anggotanya didominasi pemuda memang berniat mempertahankan Samrah. Namun
belakangan sanggar pelangi turut menampilakan kesenian betawi lain seperti
gambang kromong. Alasannya sama, kesulitan finansial. “Kalau tidak ada kerjaan,
saya ngamen. Jadi seniman budaya itu miskin,” tutur Malih, anggota Sanggar Pelangi.
Samrah
kian surut. Padahal eksistensi Samrah, tonggak kehidupan para pengiatnya dan
demi mempertahankan budaya lokal. Melebarkan sayap diluar Samrah adalah jurus
pragmatis agar para seniman dapat bertahan. “Kalau ada jaminan dari pemda,
seniman daerah bisa totalitas di musik,” ujar malih.
Selain
bantuan dana. Ada harapan untuk memproduksi lagu-lagu Samrah dalam jumlah
besar. ”Kelemahannya Samrah itu, musiknya sedikit, rekamannya sedikit. Pernah
LKB merekam tapi terbatas,” keluh Fifi. Sosialisasi juga diperlukan guna lebih
mempopulerkan Samrah seperti pada 1980-an. Kala itu Samrah cukup bergensi.
Pelatihan-pelatihan juga amat diperlukan mengingat lagu-lagu Samrah adalah
lagu-lagu lama. “Karena dipelajarinya juga agak susah,” jelas Fifi.
Terkait
tujangan material, pemerintah sempat memberikan bantuan kepada sanggar-sanggar.
“Pada zaman rudi saleh (ketua LKB tahun 1980-red) ada Rp50.000 tiap bulan.
Sekarang sudah tidak ada”, ungkap Ali. Sedangkan menurut Fifi, tunjangan yang
diberikan berupa dana akhir tahun. Dia mendapat Rp250.000 dari LKB.
Seketaris
Divisi Kajian dan Pengembangan Dinas Pariwisata DKI Endrarti fariani
membenarkan ada tunjangan kepada sanggar-sangar sejak tahun 1970. Namun, sejak
2004 dana hibah diberhentikan dengan alasan tidak efektif. Akhirnya dana
pengembangan kebudayaan hanya diberikan pada wadah yang menampunya, seperti
LKB.
Pemberian
tunjangan materi memang bukan jurus jitu menyelesaikan akar masalah. Para
seniman membutuhkan keberpihakan dari pemerintah daerah. Mereka membutuhkan
politik kebudayaan yang jelas dari pemerintah, baik pemerintah daerah dan
pemerintah pusat. Selain itu, mereka mesti berhadapan dengan realitas sosial
yang tak mendukung eksitensi kesenian. Tanpa bantuan pemerintah, para seniman akan
sulit berhadapan dengan kebudayaan modern yang dianggap menyingkirkan
kebudayaan tradisional.[2]
Ketika
kondisi ini yang terjadi, maka tak heran jika para seniman mengeluarkan
berbagai jurus tanpa bentuk. Jurus menerima permintaan penanggap merupakan
salah satu jurus yang akhirnya mesti mereka lakukan. Padahal, disatu sisi para
seniman ingin menjunjung tinggi nilai dan pakem kesenian yang diusungnya.
Pun
begitu juga dengan upaya melebarkan sayap. Upaha melebarkan sayap dengan turut
menampilkan kesenian lain ialah upaya negosisi yang juga punya dampak. Kita
mungkin tidak akan mendengar lagi nama-nama besar yang lahir dan dikenal sebagai seniman Samrah.
Aksi-aksi
taktis dan praktis yang dilakukan para seniman Samrah merupakan cara agar
mereka dapat bertahan. Mereka tak hanya menghadapi masalah kurang dikenalnya Samrah,
tapi mereka juga mengalami masalah dalam hal regenerasi. Regenerasi merupakan
pondasi dasar agar suatu kesenian dapat bertahan.
Sabeni
pernah mengajak warga untuk turut melestarikan Samrah, ”saya suruh anak-anak
muda datang, belajar sama saya.” Ajakan Sabeni tak digubris, harapannya
meredup. Hingga kini, grup pimpinannya mayoritas beranggotakan anak dan
cucunya. Anaknya, zulbachtiar memainkan gendang, Zulfah jadi penyanyi orkes,
dan Nurul Fadilah terkadang menggantikan Sabeni memainkan arkodeon. Cucunya,
Abdul hair memetik gitar, Fiffa Septian memainkan tamborin.
Sisanya,
tiga orang pemusik di luar keluarganya. Kesulitan regenerasi dirasakan betul
oleh sabeni buat mencari penari. Penari yang dulu menarikan tari Samrah di grup
Sabeni, kini telah menikah, dan belum ada penggantinya.
“Memang
hampir rata-rata polanya kekeluargaan. Karena memang mereka kesulitan
mensosialisasikan ini kepada masyarakat sekitar jadi tentunya keluarganya dulu
yang diperkenalkan,”ujar Rudi haryanto.
Renegerasi melalui keluarga
menjadi satu satu jurus untuk bertahan. Namun, jika jurus ini terus yang
dipakai, niscaya jurus ini akhirnya akan tak berbentuk jua. Sebab, jika terus-menerus
hanya bertumpu pada keluarga maka ini semakin menandakan bahwa masyarakat kita
semakin abai pada kesenian.
NB: essei ini merupakan penulisan kembali dari tulisan reportase.
Tag :
Essai,
Bagai telur di Ujung Tanduk
By : secawan kopi tubruk
Bagai telur
di Ujung Tanduk*
Oleh: Citra Nuraini
Ketiadaan
jaminan hidup bagi para penggiatnya, ditambah sulitnya regenerasi membuat
samrah makin hilang eksistensinya.
“Fi
bayarin arkodeon saya lima juta,” ucap ali sabeni.
“yah
cing, saya sudah punya. Buat apa punya dua. Emang untuk apa cing?” ucap seorang
wanita.
“buat
berobat,” balas sabeni.
Ali
sabeni berniat menjual satu-satunya arkodeon miliknya, alat musik yang biasa
menemaninya mencari nafkah, kepada fifi muntaco. Sabeni butuh uang buat
berobat. Dia menderita sakit jantung.
Mengharap
punya uang banyak dari samrah? Tidak mungkin. Jangankan memiliki tabungan,
untuk biaya hidup saja sudah susah. Harga sekali tampil samrah Cuma sekitar 3
sampai 4 juta. Uang tersebut dibagi 10 orang, tiap orang mendapat 300-400 ribu.
Dari
uang yang didapat, masih harus dipotong untuk transportasi dan makan. Terlebih
panggilan untuk pentastidka menentu, kadnag sebulan hanya beberapa kali tampil
atau malah sama sekali tak ada.
Makanya
untuk menambal kebutuhan hidup, semasa muda Ali Sabeni juga bekerja sebagai
tukang las. “kalau Samrah dijadikan buat penghasilan hidup, tidka cukup,” ujar
laki-laki beranak tujuh ini.
Malangnya,
kini sabeni telah berusia 77 tahun. Ia sudah lemah untuk bekerja, panggilan
untuk pentas pun jarang didapat. “sekarang belum tampil-tampil, sudah tua tidak
ada yang menyentuh (memperhatikan-red),” ujar sabeni.
Padahal
keinginan berkesenian sabeni tidak perlu diragukan. Baginya music tidak ada
istilah tua muda. Jika masih sanggup, dia akan terus bermusik. Istrinya,
sutinah malah sering jengkel melihat kondisi sabeni. “saya sakit hati, saya
bilang sini pak alat musiknya dijual. Tidak ada yang memperhatikan. Biar hilang
saja samrah, habis,” geramnya.
Walau
tak serupa, tapi nasip susahnya jadi seniman juga dirasakan fifi muntaco.
Perempuan berumur 44 tahun ini satu-satunya anak firman muntaco yang mau
meneruskan samrah.
“waktu
itu, tahu-tahu udah berkumpul kakek-kakek dirumah. Kata bapak itu pemain samrah,
kemudian jadi group,” kenang fifi. Pada 12 januari 1992, firman meninggal.
Tampuk kepemimpinan sanggar dipimpin fifi hingga kini, yang sebelumnya diberi
nasihat untuk membesarkan samrah. “Bapak berpesan setelah tampil di acara salam
canda di TVRI bulan Oktober 1991,” tambahnya.
Sialnya,
usaha untuk mempertahankan samrah malah ditentang zaman. Samrah yang didominasi
lagu melayu jadi kurang popular buat masyarakat kini. “Pernah ada yang bilang
tarifnya jangan mahal-mahal karena lagunya tidka dikenal. Makanya, kami juga
fleksibel bisa lagu dangdut atau pop,”tambah fifi.
Lagu
pengiring orkes samrah berupa lagu-lagu melayu tahun 50-an hingga 60-an. Cirri
tempo lagu masa itu cenderung lebih lambat. “kaya lagu Jembata pate, tidak enak
dinyanyikan. Orang pada ngantuk mendengarnya,” tutur fifi. Alat musinya pun
sulit dimainkan, arata-arata bernada minor, yang menghasilkan irama lambat.
Demii
mempertahankan hidup, kini para penggiat samrah harus putar otak. Sanggar fifi
sendiri akhirnya menyediakan pertunjukan lain seperti hadroh (kesenian rebana),
palang pintu (tradisi penyembutan calon pengantin dalam adat pernikahan
betawi), tanjidor, organ tunggal. Pembuatan ondel-ondel dan makanan betawi pun
dikerjakannya.
“kerja
saya serabutan. Semua saya kerjakan, yang penting bisa dapat uang. Akhirnya
berbagai hal kita layani agar dapat terus hidup,” ujar permepuan kelahiran
tahun 67 ini.
Sebagaimana
layaknya mempertahankan kesenian tradisional, samrah juga menghadapi masalah
regenerasi. Sabeni pernah mengajak warga untuk turut melestarikan samrah, ”saya
suruh anak-anak muda dating, belajar sama saya.”
Ajakan
Sabeni tak digubris, harapannya meredup. Hingga kini, group pimpinannya
mayoritas beranggotakan anak dan cucunya. Anaknya, zulbachtiar memainkan
gendang, Zulfah jadi penyanyi orkes, dan NurulFadilah terkadang menggantikan
Sabeni memainkan arkodeon. Cucunya, Abdul hair memetik gitar, fiffa septian
memainkan tamborin.
Sisanya,
tiga orang pemusik di luar keluarganya. Kesulitan regenerasi dirasakan betul
oleh sabeni buat mencari penari. Penari yang dulu menarikan tari samrah di
group sabeni, kini telah menikah, dan belum ada penggantinya.
“memang
hamper rata-rata polanya kekeluargaan. Karena memang mereka kesulitan
mensosialisasikan ini kepada masyarakat sekitar jadi tentunya keluarganya dulu
yang diperkenalkan,”ujar Rudi haryanto.
Fifi
lebih giat mencari regenerasi. “bareng teman-teman, saya cari anak-anak muda
yang suka music,” cerita fifi. Bahkan, dalam perekrutan, dia mensyaratkan
minimal orang yang mau bergabung bisa memegang dua jeis alat music.
“Merekrutnya dari temen, guru music, keluarga, ada juga anggota yang bawa
orang,” paparnya.
Ada
juga orkes Samrah pimpinan Widya. Awalnya group samrah yang anggotanya
didominasi pemuda memang berniat mempertahankan samrah. Namun belakangan
sanggar pelangi turut menampilakn kesenian betawi lain seperti gambang kromong.
Alasannya sama, kesulitan financial. “kalau tidak ada kerjaan, saya ngamen.
Jadi seniman budaya itu miskin,” tutur malih, anggota snaggar pelangi.
Samrah
kian surut. Padahal eksistensi samrah, tonggak kehidupan para pengiatnya dan
demi mempertahankan budaya local. Namun, melebarkan sayap diluar samrah, justru
melunturkan eksistensi samrah. “kalau ada jaminan dari pemda, senimandaerah
bisa totalitas di music,” ujar malih.
Tujangan
material sempat diberikan pemerintah kepada sanggar-sanggar. “Pada zaman rudi
saleh (ketua LKBtahun 1980-red) ada 50.000 tiap bulan. Sekarang sudah tidak
ada, ungkap Ali. Sedangkan menurut fifi, tunjangan yang diberikan berupa dana
akhir tahun. Dia mendapat 250.000 dari LKB.
Seketaris
Divisi Kajian dan Pengembangan Dinas Pariwisata DKI Endrarti fariani
membenarkan ada tunjangan kepada sanggar-sangar sejak tahun 1970. Namun, sejak
2004 dana hibah diberhentikan dengan alasan tidak efektif. Akhirnya dana
pengembangan kebudayaan hanya diberikan pada wadah yang menampunya, seperti
LKB.
Selain
bantuan dana. Ada harapan untuk memproduksi lagu-kagu samrah dalam jumlah
besar. ”kelemahannya samrah itu, musiknya sedikit, rekamannya sedikit. Pernah
LKB merekam tapi terbatas.,” keluh fifi.
Sosialisasi
juga diperlukan guna lebih mempopulerkan samrah seperti pada 1980-an. Kala itu
Samrah cukup bergensi. Pelatihan-pelatihan juga amat diperlukan mengingat
lagu-lagu smarah adalah lagu-lagu lama. “karena dipelajarinya juga agak susah,”
jelas fifi.
Mengingat
samrah bagai telur di ujung tanduk, pemeirntah perlu secepatnya bergerak
menyelamatkan marah sebagai usaha pelestarian budaya local. Dan tentunya
ketegasan para penggiatnya, untuk tak mendua dan fokus kepada samrah.
*diterbitkan dalam rubrik seni budaya majalah Didaktika edisi 41
Tag :
Jurnalistik,
Dari Tanah Abang Terus Bermetamorfosis
By : secawan kopi tubruk
Dari Tanah Abang Terus Bermetamorfosis*
Oleh:
Citra Nuraini
Ketiadaan
pakem dan tuntutan zaman memaksa samrah terus mengubah bentuknya.
Sabtu
siang, pukul 12.00, gerimis membasahi Jalan Manunggal XVII. Disebuah rumah
berukuran 15x4 meter, bernomer 35, bercat putih, seorang laki-laki membaringkan
badannya di karpen merah kemang-kemang. Suara orang mengaji terdengar dari
saluran radio khusus orang Betawi, radio Rodja. Seorang wanita menghampiri
laki-laki tersebut dan membangunkannya, “Pak-pak, ada tamu.”
Laki-laki
itu bangkit, tersenyum dan mengenakan peci hitam. Menutupi rambut hitamnya.
Sarung kotak-kotak melengkapi baju koko panjang merah muda yang sedikit
acak-acakan ditubuhnya. Laki-laki ini bernama Ali Sabeni. Laki-laki kelahiran tahun
1934 ini merupakan pemain samrah tertua yang masih hidup.
“Tahun
’60-an, saya sedang giat-giatnya bermain musik. Terus saya bertemu keluarga
bekas pemain samrah tahun ’20-an, orang tua generasi kedua. Katanya bikin ini
musik namanya samrah. Ini musik asli Tanah Abang. Nah itu awalnya samrah,”
ungkap Sabeni.
Samrah
dilahirkan di Tanah Abang pada abad 18 awal. Kala itu, Tanah Abang meruakan
pusat perdagangan para pendatang dari Cina, melayu, India, Arab, Pakistan, dan
Malaya. Di Tanah Abang, para pendatang tak cuma berdagang. Mereka menetap dan
berbaur dengan masyarakat pribumi. Embrio membentuk kelompok musik muncul
ketika anak muda Betawi beserta tetangganya dari Arab, Melayu, dan India
berkumpul dan bermusyawarah.
Kelompok
musik ini mereka namakan samrah. Nama samrah diambil dari bahasa arab
‘samarokh’ yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Kata ‘samarokh’
diucapkan oleh orang Betawi menjadi ‘sambrah’ atau yang lebih dikenal ‘samrah’.
Dengan
niat membentuk kelompok musik, mulailah mereka membawa alat musik dari
negaranya masing-masing. Orang Betawi
membawa gendang calte, malaka, dan tamborin. Lalu, orang Arab membawa ols,
orang Melayu membawa fiur atau biola, dan orang India membawa harmonium.
Mereka
menyajikan lagu-lagu yang sifatnya berbalas pantun. Pengaruh melayu yang kuat
kala itu membuat lagu pengiringnya menggunkaan lagu melayu. Seperti Lagu Anak
Ikan, Anak raja Turun Beradu, dan sebagainya.
Agar
lebih menarik, orkes ini turut menghadirkan penari. Tari samrah bisa dilakukan
berpasangan atau perorangan. Gerakannya mirip tari melayu yang mengandalkan
langkah kaki dengan lenggang yang berirama, posisi membungkuk, dan jongkok.
Bedanya,
tari samrah punya gerakan salawi, yaitu jongkok hampir seperti duduk bersila.
Salawi lebih dari sekedar membugkuk, sehingga membutuhkan keterampilan sendiri.
Biasanya penari samrah turun berjoget dengan diiringi orkes samrah dan nyanyian
seorang biduan. Iramanya pun bisa lembut dan cepat.
Kedua
kesenian ini sering dipentaskan pada pernikahan Betawi yang mengenal tradisi
malam mangkat dan maulid. Di malam itulah para undangan berkumpul untuk
mendengarkan pembacaan maulid Al-barjanzi. Setelah itu, mereka mementaskan
music dan tari dilanjutkan dengan cerita.
Kala
itu, cerita dibacakan oleh penonton atau tamu undangan. Sebagai hiburan dan
hobi saja. Jadi sifatnya spontan. Makanya, petunjukan dapat dilakukan diatas
panggung maupun tanpa panggung, yakni hanya dengan pentas berbentuk arena
sesuai dengan keadaan tempat.
Pun
dengan kostum, di betawi, orang biasa dating menggunakan jas, kain plakat, dan
peci saat menghadiri pernikahan. Pakaian itu yang kemudian menjadi seragam
utama.
Tak
cukup bermusik dan menari para pemainnya juga turut membuat tonil samrah demi
menyempurnakan kesenian Samrah. Tonil ini merupakan pengembangan dari teater
bangswan yang disebut Durmuluk. Durmuluk berasal dari melayu riau dengan cerita
shibulhikayat dan komedia stambul.
Lengkaplah
kesenian samrah berisi musik, tari, dan tonil. Orkesnya ideal beranggotakan 10
orang, 8 pemain musik dan 2 penyanyi. Sedangkan tari samrah dan tonil samrah
tidak mempunyai pakem.
Walaupun
demikian, samrah hanya berisi lelaki. Pengaruh islam yang kuat pada masyarakat
betawi tengah membuat permeuan dianggap haram berkumpul dengan lelaki, terlebih
berkesenian.
Dari
Tanah Abang, Samrah terus berkembang ke daerah Betawi tengah lainnya. Cikini,
Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar, dan Petojo. Uniknya, orkes
Samrah mampu berdiri sendiri, sedangkan tari Samrah dan Tonil samrah tidak bisa
ditampilkan tanpa irama orkes Samrah.
Selama
perkembangannya, samrah tak selalu mulus. Pada 1940-an, masa pendudukan Jepang
sempat jadi batu kerikil. Pemerintah kolonial jepang bersifat represif terhadap
pribumi, tak terkecualkarena nilai keagamaan di Betawi i Samrah.
Pada
1950-an, samrah muncul kembali dan memulai metamorfosisnya. Dimulai dengan
dominasi harmonium pada orkes samrah. Selain itu, permepuan mulai ambil peran
dalam samrah, karena nilai keagamaan di Betawi kala itu lebih beragam.
Tak
berhenti sampai disana, makin kuatnya pengaruh kebudayaan melayu di nusantara
membuat samrah lebih dikenal sebagai orkes melayu. Namun, penggunaan harmonium
mulai jarang, karena sulit didapat. Alternatifnya, digunakanlah arkodeon.
“Teman-teman samrah sekarang ini tidka memakai harmonium tapi arkodeon, yang
suaranya hamper mirip,” ungkap Rudi Haryanto, Kepala Bagian Pengembangan
Kebudayaan Betawi (LKB).
Makin
berkembangnya kondisi Jakarta juga terus membuat samrah bermetamorfosis. Orkes
samrah tak lagi menggunakan lagu melayu, melainkan bahasa betawi dengan beragam
dialek. Bentuk seperti ini membuat nama orkes samrahkembali lebih popular
ketimbang orkes melayu.
Walaupun
demikian, kini dalam pementasan samrah, group yang masih bertahanpunya pilihan
sendirisebagai lagu pengiring. Ali sabeni menilai, lagu-lagu pengiring music
samrah ialah lagu-lagu melayu tinggi. “itu kan lagu-lagunya melayu lama, orang
betawi lama. Jadi kalao orang tanah abang dialeknya kaya orang melayu,” ujar
Ali sabeni.
Pendapat
berbeda disampaikan Fifi Muntaco, anak Firman Muntaco salah satu seniman Samrah
yang terkenal pada masa jayanya. Music samrah memiliki lagu pengiringnya
tersendiri. Lagu-lagu itu memiliki dialek melayu betawi tersendiri, berbeda
dengan dialek melayu tinggi. baginya, musik samrah dengan dialek melayu tinggi lebih
mirip orkes melayu. “Kalau menurut ajaran orang tua saya. Itu bukan samrah. Itu
music melayu. Walau samrah pengaruhnya dari melayu, itu melayu. Samrah punya
music sendiri,” sanggah fifi.
Jika
dulu tempo musiknya cenderung lambat dan mendayu-dayu, maka tempo music music
dan lagu saat ini lebih cepat. Metamorfosis, disorong oleh perubahan zaman dan
ketiadaan pakem bagi samrah.
Group
Ali Sabeni yang biasa menyenyikan lagu melayu asli, saat penontonya dari
kalangan anak muda, lagu-lagu melayu modern yang bertempo lebih cepat turut
dipilihnya. Seperti: Asmara Dewi, bahtera Laju, bayangan, Bimbang ragu,
Lembaran Bunga, diambang Sore, Lagu rindu.
Selain
dari segi lagu dna tempo music, perubahan juga terjadi pada alat-alat musiknya.
Penyesuain juga terjadi karena onderdil alat music produk tua sulit didapat,
seperti harmonium yang diganti arkodeon. Kini, group samrah tidak ada yang
benar-benar akustik, salah satu alat ada yang menggunakan listik. “sekarang
tidak ada yang benar-benar akustik. Pasti ada listrik-listriknya,” ujar fifi.
Dari
segi pakaian pementasan pun turut beragam, nama pakaianya jung serong
(unjungnya serong). Terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas merah
tutup dengan pentolan satu warna dan sepotong kain yang dililitkan dibawah jas,
dilipat menyerong, ujungnya menyembul kebawah.
Sejak
awal, smarah memang tak punya pakem. Oleh karena itu, sangat memungkinkan
baginya untuk melakukan inovasi dan penyesuaian. Apalagi buat group samrah yang
masih bertahan guna bertahan hidup.
Tag :
Jurnalistik,
Perebutan Akses dan Kontrol
By : secawan kopi tubruk
Perebutan Akses dan Kontrol
Sumber Daya Alam sebagai basis ekonomi
merupakan medan pertarungan dalam memperebutkan akses dan kontrol. Tiga
kekuatan yang bertarung: masyarakat, negara, pasar.
Judul = Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasan, dan Politik Ekologi
Penulis = Darmanto dan Abidah B. Setyowati
Penerbit = Kompas Populer Gramedia (KPG)
Tebal = 458 halaman
Sumber
Daya Alam (SDA) merupakan salah satu titik vital kehidupan masyarakat.
Distribusi keuntungan dari SDA akan selalu diperebutkan oleh beragam aktor. Masyarakat
lokal akan berusaha meneguhkan klaim kepemilikan. Namun, bagaimana masyarakat lokal dapat meneguhkan klaim kepemilikan SDA ketika
mereka berhadapan dengan negara dan pasar? Tindakan apakah yang mereka lakukan
untuk mendapatkan distribusi keuntungan dan untuk tujuan apa?
Buku duet Darmanto
dan Abidah B. Setyowati Berebut
Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan
dan Politik Ekologi (KPG,
2012) menggambarkan sketsa realitas itu. Melalui pendekatan etnografi, buku ini
melihat secara detail masyarakat adat Siberut sebagai kajian utama. Buku ini
memijakkan analisisnya pada teori akses dari Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Pelluso
untuk melihat dinamika beragam aktor dalam konstelasi memperebutkan hutan
Siberut.
Buku ini menarasikan
rumitnya perebutan akses dan kontrol terhadap hutan yang mewujud dalam perilaku
kehidupan sehari-hari. Konsep
akses dimaknai sebagai proses siapa mendapatkan keuntungan dari SDA,
dengan cara bagaimana dan kapan. Akses ialah ‘bundelan dan
jaringan’ yang berisikan makna, proses, dan relasi sosial yang membuat
aktor-aktor ‘mendapatkan kemampuan untuk mendapatkan kontrol dan memerihara
akses terhadap sumber daya alam’.
Hanya berdasarkan
klaim berdasarkan hak atas property (property rights) tidaklah cukup
untuk menjamin bahwa sumber daya alam akan jatuh ketangan masyarakat lokal.
Kemampuan aktor mendapatkan SDA ditentukan oleh ragam faktor seperti akses terhadap
teknologi, modal, pengetahuan, otoritas (politik maupun kultural), serta relasi
sosial, yang hidup dalam bundel-bundel dan jaringan kekuasaan. Sehingga
tidaklah aneh jika masyarakat Siberut mesti berjuang untuk mendapatkan
keuntungan dari hutannya. Dengan
teori akses, analisis bisa menghindarkan jebakan simplifikasi relasi pada
oposisi biner: negara plus rezim kapitalis hutan versus masyarakat dengan
kearifan lokalnya.
Buku
ini ingin mengatakan bahwa hubungan antara manusia dan hutan selalu dilandasi
oleh masalah produksi dan kekuasaan. Jauh sebelum kolonialisme maupun sebelum
terikat dengan pasar yang lebih luas, masyarakat Siberut telah terlibat relasi
yang saling menguasai dengan hutan. Dalam kepercayaan lokal, hubungan simbolik
manusia dengan hutan berarti juga negosiasi dengan roh-roh yang menguasai
hutan. Dalam corak produksi yang subsisten maupun nonsubsisten dan struktur
sosial yang egaliter, negosiasi ini berlangsung terus-menerus sehingga bersifat
mendua. Namun, disisi lain hutan juga memiliki sisi material yang dibutuhkan
untuk keberlanjutan hidup.
Ketengangan
antara sisi simbolik dan sisi material hutan ini secara berkesinambungan telah
membentuk hutan Siberut menjadi lanskap yang tidak homogen dan tidak bebas dari
intevensi manusia. Secara sosial, kekuasaan terhadap hutan berada ditangan
setiap uma, sebuah keluarga besar (extended
family) yang juga merupakan unit kepemilikan lahan dan sumber daya.
Perebutan klaim-klaim kepemilikan hutan antar uma itulah yang sering
menimbulkan konflik terus menerus. Dengan corak sosial yang egaliter dan
otonom, hubungan kekuasaan antar uma terhadap hutan juga bersifat negosiatif.
Di
Siberut, hubungan antara hutan dan penduduknya menjadi berbeda setelah
keluarnya UU No.5 tahun 1967b tentang ketentuan pokok kehutanan (UU kehutanan).
Setelah adanya UU ini, Orde Baru (Orba) membuka 503 izin konsesi hutan, salah
satunya di Siberut. Dengan UU ini, Orba menekankan pembangunan ekonomi,
terutama Sumber Daya Alam. Dalam rangka melegitimasi penguasaan atas Siberut,
negara mengumumkan seluruh area di Siberut adalah kawasan hutan.
Kehadiran
negara dan pasar kepelosok Siberut ini mengguncangkan tatanan kehidupan masyarakat
yang sudah ada. Masyarakat Siberut merasa hak kepemilikannya telah dilanggar. Namun,
tidak ada perlawanan terbuka. Kecemburuan dimanifestasikan dengan
tindakan-tindakkan lokal. Meningkatnya kekuatan pasar dan menguatnya intervensi
negara untuk mengatur perdagangan sumber daya hutan telah menggeser pandangan
orang Siberut tentang nilai hutan. Hutan ternyata memliki nilai ekonomi tinggi.
Pada
1970-an muncul wacana konservasi di tingkat internasional dan nasional. Pulau
Siberut menjadi salah satu tempat yang menjadi sasaran konservasi karena
banyaknya laporan mengenai tingginya tingkat keanekaragaman hayati. Secara
eksplisit, wacana konservasi mengakui dan menerima hak-hak adat penduduk
Siberut dan melihatnya bersesuaian dengan agenda konservasi, sementara wacana
eksploitasi pada kutup lain, melihat masyarakat sebagai ancaman. Penduduk
Siberut tidak pernah ambil pusing dengan dualitas sikap negara karena sikap
mereka sendiri ambivalen. Disatu sisi, orang-orang Siberut menerima wacana
konservasi beserta progamnya, disatu sisi mereka tetap merambas hutan.
Pasca
Orba, kenyakinan dan klaim orang Mentawai sebagai pemilik tanah dan hutan
meningkat kuat dan membuat mereka menuntut klaim negara atas kepemilikan tanah.
Kebijakan desentralisasi dari Jakarta telah membuat kepulauan Mentawai
mendapatkan otonomi sebagai kabupaten yang telah lama mereka perjuangkan.
Otonomi ini menguatkan identitas bersama dan meningkatkan kepercayaan diri
orang Mentawai ketika berhadapan dengan komponen dari luar pulau.
Adanya
kebijakan desentralisasi serta menguatnya jaringan LSM dan masyarakat sipil
lainnya, serta pengakuan global terhadap masyarakat yang mengalami
marginalisasi akibat proses modernisasi, membawa wacana indigenous people (masyarakat adat). Kebijakan desentralisasi memungkinkan mereka membuka akses
penduduk lokal membangkitkan identitas sebagai masyarakat adat.
Dalam
perkembangannya, masyarakat Siberut belajar untuk melihat posisinya sendiri
dalam kebijakan negara dan juga wacana yang berkembang di tingkat regional
maupun global. Orang Mentawai di Siberut perlahan menjadi lebih sadar tentang
berbagai dampak pembangunan dan mulai merasa bahwa kebijakan negara
kadang-kadang merugikan mereka. Kondisi ekonomi politik baru menumbuhkan
kesadaran kolektif masyarakat Mentawai tentang dominasi sasareu (pendatang). Identitas kolektif sebagai sebuah kesatuan
atas nama Mentawai muncul dari perasaan tertekan itu.
Sehingga,
orang Siberut secara aktif mengartikulasi wacana hak-hak adat untuk memperbesar
mereka membangun alinasi yang lebih luas dan meningkatkan posisi tawar ketika
berhadapan dengan kekuasaan luar yang lebih kuat. Orang Siberut memiliki
penafsiran terhadap makna adat yang berbeda dengan para konservasionis dan
aktivis LSM.
Cara memandang masyarakat
Pada
kenyataannya, meskipun pengaturan negara, rezim kayu, dan program konservasi
senantiasa mengganggu tatanan masyaraat Siberut, masyarakat Siberut tidak
serta-merta melawannya secara kolektif, terorganisir, dan tunggal. Di tengah
dominasi aktor-aktor luar itu, masyarakat Siberut melancarkan proses negosiasi
yang mewujud dalam sikap melawan sekaligus akomodasi. Dalam negosiasi itu,
masyarakat Siberut mengalami diaspora, sikap-sikap ambivalen, inkonsisten,
bahkan bertentangan. Dulu teriak tolak pertambangan kayu, kini membelanya.
Sekarang menolak konservasi, padahal dulu mendukung. Dulu aktif di LSM pembela
hak masyarakat adat menolak penambangan kayu, sekarang jadi karyawan tambang.
Mereka
menerima program konservasi dan menjual lahan hutannya kepada penambang kayu
sekaligus tetap menerabas dan membuka ladang di sana. Mereka tidak sepenuhnya
melawan negara karena mereka menggantungkan janji-janji pembangungan dengan
segala fasilitasnya. Dari perusahaan kayu, mereka bisa mengantongi uang tunai
dengan penjualan hutan. Dari LSM, identitas adat mereka terlegitimasi untuk
tetap mengklaim kepemilikan hutan.
Aksi,
strategi, dan taktik untuk meraih akses dan kontrol atas hutan terkesan acak,
tidak patuh, oportunis, dan egois. Semua itu dinilai semata-mata demi mencapai
kehidupan yang lebih baik (modern): makan nasi, punya kendaraan bermotor,
televisi dan bersekolah tinggi.
Buku
ini, melawan pemikiran bahwa masyarakat adat adalah sekelomok manusia ‘murni’,
bijak dan arif, menjaga harmonisasi dengan alam, jauh dari peradaban modern,
cenderung religius, dan memiliki kearifan lokal. Paradigma ini hanya ada
dianggan-angan kita, karena kita memandangnya dari jarak jauh.
Kita
selalu memandang suatu masyarakat hanya dari paradigma jarak jauh. Tidak ada
perbedaan sikap antara kalangan aktivis dan pemerintah dalam melihat Siberut.
Keduanya sering menyederhanakan masalah dalam membahas isu konservasi sebagai
isu ekonomi politik, para aktivis cenderung berkesimpulan adanya masalah
‘budaya’ orang mentawai.
Hal
ini merefleksikan bahwa bukannya orang luar yang harus menerima relitas
masyarakat yang terus berubah-ubah akibat ketidakpastiaan kondisi hidup dan
menerima kenyataan itu sebagai dasar atau pengetahuan baru. Akan tetapi,
masyarakatlah yang harus sesuai dan dicocokan dengan konstruksi dari luar, baik
atas nama konservasi maupun pembangunan.
Tag :
resensi,