Popular Post

Pengalaman Membaca Berebut Hutan Siberut

By : secawan kopi tubruk
Pengalaman Membaca Berebut Hutan Siberut

Setelah membaca buku The Will be Improve karya Tania Muray Li saya jadi tertarik dengan karya yang berdasarkan penelitian etnografi. Buku etnografi lainnya yang membuat saya tertarik ialah Berebut Hutan Siberut. Buku ini merupakan karya duet Darmanto dan Abidah B. Setyowati.
Setelah membaca buku ini, saya  cukup terkejut dengan argument yang kedua penulis ini yakini. Bahwa ternyata apa yang kita percayai tentang ‘kearifan lokal suatu masyarakat adat’ merupakan sebuah pandangan yang dilihat dari jarak jauh.
Buku ini, melawan pemikiran bahwa masyarakat adat adalah sekelomok manusia ‘murni’, bijak dan arif, menjaga harmonisasi dengan alam. Jauh dari peradaban modern, cenderung religius, dan memiliki kearifan lokal. Paradigma ini hanya ada dianggan-angan kita, karena kita memandangnya dari jarak jauh.
Kita selalu memandang suatu masyarakat hanya dari paradigma jarak jauh. Tidak ada perbedaan sikap antara kalangan aktivis dan pemerintah dalam melihat Siberut. Keduanya sering menyederhanakan masalah dalam membahas isu konservasi sebagai isu ekonomi politik, para aktivis cenderung berkesimpulan adanya masalah ‘budaya’ orang mentawai.
Hal ini merefleksikan bahwa bukannya orang luar yang harus menerima relitas masyarakat yang terus berubah-ubah akibat ketidakpastiaan kondisi hidup dan menerima kenyataan itu sebagai dasar atau pengetahuan baru. Akan tetapi, masyarakatlah yang harus sesuai dan dicocokan dengan konstruksi dari luar, baik atas nama konservasi maupun pembangunan.


Tag : ,

Pengalaman Membaca The Will Be Improve Tania Muray Li

By : secawan kopi tubruk
Pengalaman Membaca The Will Be Improve Tania Muray Li

Buku berjudul The Be Improve yang ditulis Tania Muray Li merupakan buku etnografi pertama yang saya baca. Usai menamatkan buku ini, saya merasa buku ini merupakan karya yang bagus dan langka. Saya kagum bagaimana Tania mampu memadukan antara teori-teori sosial yang ada dan realitas masyarakat sesungguhnya. Hasilnya, sebuah analisa masyarakat yang mendalam, kuat, kritis, dan tepat.
Tapi yang lebih penting, bersama buku ini, Tania seolah ingin melawan beberapa pendangan umum yang hari ini amat dipercayai masyarakat. Kita diajak melihat bahwa progam-progam pembangunan itu sejak awal sudah bermasalah (ketika dikonsepkan). Pun ketika diterapkan. 
Mengapa bermasalah sejak awal? Argument Tania untuk menjawab ini pun seperti yang saya yakini. Pertama, progam pemakmuran ini sendiri tidak bebas nilai. Masyarakat yang dijadikan sasaran progam bukanlah bejana kosong yang hendak diisi. Sedangkan kaum pembuat progam pun bukan kaum yang bebas nilai dan tidak terlepas dari kepentingan. Pada akhirnya kaum yang disebut Tania sebagai ‘wali masyarakat’ ini memerlukan progam-progam yang dibuat dan dijalankan mereka utuk menegaskan kepakarannya. Sehingga lebih jauhnya akan berjalan relasi, ada kaum yang mendominasi dan kaum terdominasi.
Kedua, ketika progam itu dirancang, progam-progam ini cenderung menyederhanakan masalah. Inilah yang disebut teknikalisasi masalah. Progam-progam ini dibuat dengan membuat ukuran-ukuran tertentu dan sehingga hasilnya pun dapat dilihat dalam batas tertentu.
Argumen Tania ini pun seperti apa yang saya percayai. Masalah serupa juga terjadi dalam lingkup lain.  Misalnya dalam dunia pendidikan. Sudah jauh-jauh hari, Paulo Feire melihat ini. Dalam dunia pendidikan guru bisa bertindak sebagai wali masyarakat yang menetapkan progam. Lalu murid dianggap bejana kosong yang siap diisi. Guru mengisi dan murid diisi atau guru mendominasi dan murid didominasi. Freire menamakan ini dengan pendidikan ‘gaya bank’. Menurut Feire, pendidikan semacam ini hanya menghasilkan ‘reproduksi-reproduksi pengetahuan yang ada’. Tentu pengetahuan yang diberikan guru bukanlah sebuah pengetahuan yang bebas nilai. Pun murid memiliki pengetahuannya sendiri dan bukan bejana kosong. Inilah yang disebut Feire bahwa ‘pegetahuan berkelindan dengan kekuasaan’.
 Karena itu, dalam dunia pendidikan jelas sekali untuk mngukur keberhasilan murid melalui nilai-nilai. Semakin tinggi nilai yang dicapai murid maka semakin berhasil pula progam yang dibentuk guru. Nilai-nilai, indikator-indikator merupakan ‘teknikalisasi maslah’ dari hubungan pengajaran.   Untuk itu, bagi freire yang terpenting bukanlah progam, metode, kurikulum. Tapi yang terpenting adalah paradigma kita memandang pendidikan itu sendiri.
Lalu, dalam buku ini terlihat apa yang dipercayai Tania ternyata sama dengan apa yang saya percayai. Saya melihat argument yang kuat dari Tania bahwa masyarakat bukanlah bejana kosong yang siap diisi. Saya pun mempercayai dimana pun masyarakat berada, masyarakat bukanlah sekelompok manusia yang bodoh, tidak tahu apa-apa, dan siap diisi. Pandangan ‘masyarakat sebagai bejana kosong’ ini datang dari ‘penglihatan jarak jauh’.  Justru para wali masyarakat yang membawa progam-progam itulah yang memiliki kepentingan.
Tag : ,

Ramayana, Terus Bermetamorfosis dan Bermimikri

By : secawan kopi tubruk
Ramayana, Terus Bermetamorfosis dan Bermimikri
Oleh : Citra Nuraini

“Jika epik Ramayana tak bermetamorfosis dan tak bermimikri, akankah epik ini terus bertahan?”

Dalam perkembangan kebudayaan dunia, epik Ramayanan merupakan salah satu karya yang paling banyak memiliki varian dan versi. Epik ini mulanya berasal dari sastra lisan India kemudian di tuliskan untuk pertama kali oleh  Valmiki dua puluh empat abad yang lalu (tepatnya sekitar abad ke-4 SM) dalam bahasa sansekerta.
Ramayana versi asli yang ditulis oleh Valmiki dalam perkembangannya, banyak mengalami gubahan ke dalam berbagai versi[1]. Dalam kepustakaan zaman Sansekerta, misalnya, ada buah karya Raghuvamsha (Kalisada), Setubanda (Pravasasena), Janakiharana (Kumarasada), Uttaramacarita (Bhavabuti), Prasannaraghava (Joyadeva), serta Anargharaghava (Nurari). Malah, saat bahasa India mengalami perkembangan, kisah Ramayana pun kian masyhur dengan buah karya semisal Kumban Ramayana (dalam bahasa Tamil), Ranganata Ramayana (bahasa Telegu), Krittivasa (bahasa Bengali), Balaramdasa Ramayana (bahasa Oriya), Ramacaritamanasa (bahasa Hindi), Adhyatma Ramayana (bahasa Malayalam), Tovare Ramayana (bahasa Kanari) dan Bhavaratha Ramayana (bahasa Marathi).
Di india sendiri, karya ini mengalami penulisan ulang. Tahun 1981, Penulis India P. Lal menerjemahkan Ramayana dari tulisan asli Walmiki dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Inggris, dengan judul The Ramayana of Valmiki. P Lal mencoba menyingkat karya asli Walmiki menjadi sepertiganya, tetapi dia tidak memperluas, mengadaptasi, menafsirkan. Namun, yang ia lakukan hanyalah memperpendek dengan jalan menyunting dengan taat mengikuti naskah Sansekerta asli. Ramayana of  Valmiki kemudian diterjemahkan kembali ke bahasa Indonesia oleh Djokolelono tahun 1995.
Epik ini masuk ke Indonesia bersama dengan masuknya agama Hindu ke nusantara. Cerita Ramayana di Indonesia berkembang pada abad ke-9 M hingga masa kerajaan Majapahit. Pada masa awal, cerita Ramayana terdapat dalam relief di Candi Prambanan. Namun, relief ini tidak bisa dipisahkan dari upacara keagamaan. Akan tetapi, cerita tersebut tidak lengkap hanya memuat bagian kelima dari buku Valmiki yaitu Sundara Kanda. 
Kisah ini di  nusantara juga mengalami banyak adaptasi. Dalam khazanah sastra Jawa, Ramayana awalnya di sajikan dalam bentuk Kakawin Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin. Terdapat tiga varian cerita yaitu Kakawin Ramayana, Carit Ramayana, dan  Serat Kanda.  Di Serat Kanda, kisah Ramayana diadaptasi oleh kaum muslim di Jawa. Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan Kakawin Ramayana dalam bahasa Jawa kuna. Hikayat Sri Rama ditemukan di Semenanjung Malaya dan Sumatra. Cerita ini memiliki kesamaan dengan Serat Kanda.
Akhirnya, epik Ramayana tidak hanya mengadopsi konsep-konsep agama hindu. Kisah ini pun mulai mengadopsi konsep – konsep Islam. Bahkan, dalam satu teks bisa ditemukan percampuran antara konsep hindu dan islam. Karya-karya ini pun semakin jauh dari versi yang ditulis Valmiki.
Perkembangan selanjutnya dalam kesusastraan Indonesia terkini  dalam penciptaan karya-karya lain yang menjadikan Epik Ramayana sebagai  sumbernya, diantara lainnya adalah Anak Bajang Menggiring Angin, karya Shindunata (1983), Kitab Omong Kosong, Karya Seno Gumira Ajidarma  (2004), Ramayana karya Purwadi (2004) dan Rahuvana Tattwa, karya Agus Sunyoto (2006).
Namun, novel-novel ini tidak lagi bertahan dengan pakem kisah. Bahkan kisahnya sendiri digugat dan didekonstruksi. Lebih jauh beberapa novel ini merupakan gugatan dan dekonstruksi kisah Ramayana. Rahuvana Tattwa, Agus Sunyoto menggunakan perspektif dekonstruksi ras Rahuvana (Rahwana) dalam citra ras yang lain. Seno Gumira Ajidarma dalam Kitab Omong Kosong yang mengisahkan Ramayana dalam perspektif pertentangan kelas dengan memunculkan tokoh Satya dan Maneka sebagai tokoh baru yang tertindas akibat persembahan kuda yang dilakukan oleh Rama.
Bukan hanya dari sastra ke sastra bentuk-bentuk alih wahana Ramayana. Di nusantara pementasan wayang banyak mengadaptasi dari kisah Ramayana. Dalam wayang kulit dan wayang golek naskah akan bergantung pada sang dalang. para dalang ini berperan dalam mengubah cerita Ramayana ke dalam bentuk naskah pedalangan. Naskah pedalangan satu dengan lainnya tentu berbeda. Uniknya, naskah pedalangan ini ditulis sesudah cerita dipentaskan. Dinilah muncul para punakawan dalam kisah Ramayanana maupun Mahabarata. Mereka ialah Semar, Gareng, Petruk, Togog. Sehingga punakawan ini merupakan tokoh-tokoh yang hanya muncul dalam kisah Ramayana versi Indonesia. Melalui mediun wayang yang dipentaskan, kisah Ramayana mengalami alih wahana kembali. Sehingga pola trasformsinya: lisan – tulisan – lisan – tulisan.
Dalam seni pertunjukan kisah ini telah banyak diadaptasi. Misalnya dalam bentuk teater dan pertunjukan musikal yang pernah ditayangkan di sebuah stasiun TV swasta. Karya ini pun telah diangkat ke layar lebar oleh sutradara Garin Nugroho dengan judul film Opera Jawa. Film Opera Jawa ini mengangkat mengambil alur cerita Ramayanan tapi dalam suasana dan setting cerita di Indonesia masa kini.
Sejak tahun 1960-an di pelataran salah satu candi di Prambanan menyajikan sendratari Ramayana. Mulanya bentuknya sangat sederhana. Sendratari ini masih bertahan hingga kini. Kemudian berkembang lebih modern dengan tata kostum, tat arias, tata panggung yang lebih baik. Pementasan sendratari ini pernah di tampilkan di salah satu stasiun TV swasta.  
Baik baik dalam bentuk sastra dan wayang, masyarakat yang disasar merupakan masyarakat dengan usia remaja hingga dewasa. Akhirnya, cerita pun beradaptasi untuk menarik minat anak-anak. Kisah Ramayana telah bisa diceritakan untuk anak-anak dengan dialih wahanakan dalam bentuk komik. Di Indonesia kisah ramayanan di tuangkan dalam bentuk komik pertama kali oleh R. A. Kosasih. Kosasih menyususn komiknya masih dengan tetap berpedoman pada alur cerita asli Ramayana.  Komik kosaih ini masih merupakan murni hasil dari gambar tangan.  Lalu muncul komik ramayanan tahun 2000an. Bedanya komik ini menggunakan teknologi desain yang lebih canggih, bukan lagi hasil dari gambar tangan semata. Kisahnya sudah mengalami sedikit perubahan. Salah satunya komik yang diterbitkan oleh Cavaran Studio pada 2011 yang ditulis oleh Andik Prayogo dan dilukis oleh M. Handoko.

Alih wahana dalam kebudayaan
Menurut Sapardi Djoko Damono (2012)  Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke kesenian lain. Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tapi juga bisa dari satu kesenian ke kesenian lain. 
Perubahan tersebut didasari bahwa dalam pengalihwahanaan suatu karya perlu adaptasi dari wahana aslinya ke wahana yang baru. Perpindahan wahana (media) mencakup empat modalitas (Lars Ellestrom 2010: 15), yakni modalitas materi, modalitas panca indera, modalitas ruang temporal, dan modalitas semiotik. Lars Ellestrom dalam tulisannya The Modalities of Media: A Model For Understanding Intermedial Relation (2010) menyatakan bahwa Media dan bentuk seni yang terus-menerus digambarkan dan didefinisikan berdasarkan satu atau lebih dari modalitas. Kategori-kategori dari materialitas, waktu dan ruang, visual dan auditori, dan tanda alam dan konvensional, telah dibentuk kembali lagi dan lagi, tetapi mereka cenderung terlibat dalam cara yang mendasar”. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa dalam perubahan wahana ada unsur-unsur yang menjadi alasan perubahan-perubahan pada wahana karya yang baru. Hal tersebut terkait dengan materialitas, fisik, dan segi tanda.
Berbagai jenis wahana bisa memuat kisah yang sama atau berbeda. Dalam masing-masing wahana kisah apa pun tunduk pada keluasaan atau keterbatasan masing-masing wahana.  Berbagai perubahan itu terkait dengan dinamika dalam kebudayaan. (du Gay, Hall, Janes, Mackay, dan Negus (1997). Dalam hal ini ketika karya itu hadir dalam berbagai bentuk dia akan selalu terhubung dengan proses produksi, konsumsi, regulasi, repersentasi, dan identitas. Dalam perkembangan kebudayaan kita bisa melihat bagaimana karya ini direpresentasikan, identitas macam apa yang dihubungkan dengannya, bagaimana karya itu diproduksi, bagaimana dikonsumsi, dan mekanisme apa yang mengatur distribusi dan penggunaannya.
Ideologi agama telah mendorong relief  di candi. Ideologi yang berkaitan dengan legalitas kekuasaan mengahasilkan babad dan kisah wayang. Ideologi pasar telah menghasilkan komik ‘gaya baru’ – meskipun yang disebut ini selalu dikaitkan dengan ‘upaya untuk memelihara’ budaya bangsa, yang tidak bisa dipisahkan dengan pertimbangan untuk mencari laba. Berbagai-bagai dorongan itu telah mengubah pesan yang sama dalam berbagai wahana atau malah melahirkan wahana baru untuk pesan yang sama yang tentu ‘diboncengi’ oleh pesan lain. (Sapardi Djoko Damono: 2012).
 Akhirnya, setelah berabad-abad epik Ramayana lahir dan bertahan,  kisah ini tak lagi hadir dengan pakem ketika valkimi menuliskannya. Kisah Ramayana bermetamorfosis dalam beragam wahana sehingga dia terus hidup di zaman ketika teknologi dan media berubah. Kisah ini bermimikri mendasar pada kebudayaan setempat. Sehingga, perubahan teks yang sedemikian rupa menuntut penafsiran konteks ketika karya itu bermetamorfosis dan bermimikri. Bermetamorfosis dan bermimikri mungkin inilah jawaban agar sebuah karya dapat bertahan.





[1] Nur Mursidi, “Epik Ramayana dalam Berbagai Narasi”, www.sinarharapan.co.id, diakses pada Oktober 2013.
Tag : ,

Jurus Tanpa Bentuk Samrah

By : secawan kopi tubruk
Jurus Tanpa Bentuk Samrah[1]
Oleh: Citra Nuraini

Jurus-jurus yang dilakukan kesenian Samrah merupakan cara agar mereka dapat bertahan. Namun, jurus-jurus mereka sering kali menimbulkan persoalan baru. Akhirnya, dihadapan pemerintah dan masyarakat, jurus yang mereka lakukan hanyalah jurus tanpa bentuk.

Kesenian Betawi tengah menghadapi dinamika sebagai kesenian tradisional. Salah satu kesenian yang nasipnya bagai telur di ujung tanduk ialah kesenian Samrah.  Samrah dilahirkan di Tanah Abang pada abad 18 awal. Kala itu, Tanah Abang meruakan pusat perdagangan para pendatang dari Cina, melayu, India, Arab, Pakistan, dan Malaya. Di Tanah Abang, para pendatang tak cuma berdagang. Mereka menetap dan berbaur dengan masyarakat pribumi. Embrio membentuk kelompok musik muncul ketika anak muda Betawi beserta tetangganya dari Arab, Melayu, dan India berkumpul dan bermusyawarah.
Kelompok musik ini mereka namakan Samrah. Nama Samrah diambil dari bahasa arab ‘samarokh’ yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Kata ‘samarokh’ diucapkan oleh orang Betawi menjadi ‘sambrah’ atau yang lebih dikenal ‘Samrah’. Dengan niat membentuk kelompok musik, mulailah mereka membawa alat musik dari negaranya masing-masing.   Orang Betawi membawa gendang calte, malaka, dan tamborin. Lalu, orang Arab membawa ols, orang Melayu membawa fiur atau biola, dan orang India membawa harmonium.
Inilah kemudian yang dinamakan orkes Samrah. Orkes ini mengiringi tari dan nyanyian. Mereka menyajikan lagu-lagu yang sifatnya berbalas pantun. Pengaruh melayu yang kuat kala itu membuat lagu pengiringnya menggunkaan lagu melayu. Seperti Lagu Anak Ikan, Anak raja Turun Beradu, dan sebagainya.
Tari Samrah bisa dilakukan berpasangan atau perorangan. Gerakannya mirip tari melayu yang mengandalkan langkah kaki dengan lenggang yang berirama, posisi membungkuk, dan jongkok. Bedanya, tari Samrah punya gerakan salawi, yaitu jongkok hampir seperti duduk bersila. Salawi lebih dari sekedar membugkuk, sehingga membutuhkan keterampilan sendiri. Biasanya penari Samrah turun berjoget dengan diiringi orkes Samrah dan nyanyian seorang biduan. Iramanya pun bisa lembut dan cepat.
Dari Tanah Abang, Samrah terus berkembang ke daerah Betawi tengah lainnya. Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar, dan Petojo. Selama perjalanannya, Samrah tak selalu mulus. Pada 1940-an, masa pendudukan Jepang sempat menjadi batu kerikil bagi perkembangan Samrah. Pemerintah kolonial Jepang bersifat represif terhadap pribumi hingga kebidang kesenian. Pemerintah kolonial Jepang melarang berbagai kesenian untuk dipentaskan, tak terkecuali terhadap kesenian Samrah.
Setelah Kemerdekaan, kesenian Samrah kembali muncul kepermukaan. Bahkan mengalami kesenian Samrah mulai popular. Samrah mengalami masa keemasan di sekitar tahun 1970-1980. Di masa itu, sejumlah nama seniman Samrah telah dikenal masyarakat. Mereka ialah: Harun Rasyid, Firman Muntaco, M. Ali Sabeni, M. Zein, dan Sarmada.
Beberapa nama tersebut kini telah meninggal, tinggal Ali Sabeni yang kini berumur 79 tahun. Meski begitu Sabeni masih menjaga grup Samrahnya agar tetap berdiri. “Tahun ’60-an, saya sedang giat-giatnya bermain musik. Terus saya bertemu keluarga bekas pemain Samrah tahun ’20-an, orang tua generasi kedua. Katanya bikin ini musik namanya Samrah. Ini musik asli Tanah Abang. Nah itu awalnya saya membuat Samrah,” ungkap Sabeni.
Grup yang telah ditinggalkan sang pendiri, kini ada yang diteruskan oleh anaknya. Salah satunya ialah grup Firman Muntaco yang kini dipimpin oleh Fifi Muntaco. “waktu itu, tahu-tahu udah berkumpul kakek-kakek dirumah. Kata bapak itu pemain Samrah, kemudian jadi grup,” kenang Fifi. Pada 12 januari 1992, firman meninggal. Tampuk kepemimpinan sanggar dipimpin Fifi hingga kini, yang sebelumnya diberi nasihat untuk membesarkan Samrah. “Bapak berpesan setelah tampil di acara salam canda di TVRI bulan Oktober 1991,” tambahnya.
Namun, berlakon sebagai seniman Samrah masa kini tak lagi segemilang ketika Samrah sedang berjaya. Bahkan, kini eksistensi Samrah bagai telur di ujung tanduk. Kepala Bagian Pengembangan Kebudayaan Betawi (LKB) Rudi Haryanto mengatakan bahwa eksistensi kesenian Samrah sedang menurun. Terbukti, grup yang murni memainkan Samrah hanya tinggal grup Rumpun Melayu pimpinan Ali Sabeni.
Tak hanya kehilangan masa jaya. Samrah pun mesti bermimikri karena keadaan zaman. Beberapa perubahan terjadi di kesenian Samrah. Salah satunya ialah perubahan pada  alat musik. Penyesuain  terjadi karena onderdil alat musik produk tua sulit didapat, seperti harmonium yang diganti arkodeon. Kini, grup Samrah tidak ada yang benar-benar akustik, salah satu alat ada yang menggunakan listik. “sekarang tidak ada yang benar-benar akustik. Pasti ada listrik-listriknya,” ujar Fifi.
Namun, penggunaan harmonium mulai jarang, karena sulit didapat. Alternatifnya,digunakanlah arkodeon. “Teman-teman Samrah sekarang ini tidka memakai harmonium tapi arkodeon, yang suaranya hamper mirip,” ungkap Rudi Haryanto, Kepala Bagian Pengembangan Kebudayaan Betawi (LKB).
Perububahan selain pada alat musik, perubahan juga terjadi dari segi lagu dan tempo musik. Jika dulu tempo musiknya cenderung lambat dan mendayu-dayu, maka tempo musik dan lagu saat ini lebih cepat. Grup Ali Sabeni yang biasa menyenyikan lagu melayu asli, saat penontonya dari kalangan anak muda, lagu-lagu melayu modern yang bertempo lebih cepat turut dipilihnya. Seperti: Asmara Dewi, bahtera Laju, bayangan, Bimbang ragu, Lembaran Bunga, diambang Sore, Lagu rindu.

Jalan sempit dan ruang negoisasi
Mengharap punya uang banyak dari Samrah? Tidak mungkin. Jangankan memiliki tabungan, untuk biaya hidup saja sudah susah. Harga sekali tampil Samrah Cuma sekitar 3 sampai 4 juta. Uang tersebut dibagi 10 orang, tiap orang mendapat 300-400 ribu. Dari uang yang didapat, masih harus dipotong untuk transportasi dan makan. Terlebih panggilan untuk pentas tidka menentu, kadang sebulan hanya beberapa kali tampil atau malah sama sekali tak ada.
Makanya untuk menambal kebutuhan hidup, semasa muda Ali Sabeni juga bekerja sebagai tukang las. “Kalau Samrah dijadikan buat penghasilan hidup, tidak cukup,” ujar laki-laki beranak tujuh ini. Sayangnya, Ali Sabeni sudah tidak lagi bekerja karena dimakan usia. “Tapi untuk berkesenian, saya tidak mengenal umur,” tegas Sabeni.
Samrah yang didominasi lagu Melayu jadi kurang popular buat masyarakat kini. “Pernah ada yang bilang tarifnya jangan mahal-mahal karena lagunya tidak dikenal. Makanya, kami juga fleksibel bisa lagu dangdut atau pop,”tambah Fifi.
Lagu pengiring orkes Samrah berupa lagu-lagu melayu tahun 50-an hingga 60-an. Ciri tempo lagu masa itu cenderung lebih lambat. “Kaya lagu Jembatan pate, tidak enak dinyanyikan. Orang pada ngantuk mendengarnya,” tutur Fifi. Alat musiknya pun sulit dimainkan, rata-rata bernada minor, yang menghasilkan irama lambat.
Demi mempertahankan hidup, kini para penggiat Samrah harus putar otak. Berbagai jurus tanpa bentuk dilakukan oleh para seniman. Sanggar Fifi sendiri akhirnya menyediakan pertunjukan lain seperti Hadroh (kesenian rebana), palang pintu (tradisi penyembutan calon pengantin dalam adat pernikahan betawi), tanjidor, organ tunggal. Pembuatan ondel-ondel dan makanan betawi pun dikerjakannya.
“Kerja saya serabutan. Semua saya kerjakan, yang penting bisa dapat uang. Akhirnya berbagai hal kita layani agar dapat terus hidup,” ujar perempuan kelahiran tahun 67 ini.
Ada juga orkes Samrah pimpinan Widya yang bernama sanggar Pelangi. Awalnya grup Samrah yang anggotanya didominasi pemuda memang berniat mempertahankan Samrah. Namun belakangan sanggar pelangi turut menampilakan kesenian betawi lain seperti gambang kromong. Alasannya sama, kesulitan finansial. “Kalau tidak ada kerjaan, saya ngamen. Jadi seniman budaya itu miskin,” tutur Malih, anggota Sanggar Pelangi.
Samrah kian surut. Padahal eksistensi Samrah, tonggak kehidupan para pengiatnya dan demi mempertahankan budaya lokal. Melebarkan sayap diluar Samrah adalah jurus pragmatis agar para seniman dapat bertahan. “Kalau ada jaminan dari pemda, seniman daerah bisa totalitas di musik,” ujar malih.
Selain bantuan dana. Ada harapan untuk memproduksi lagu-lagu Samrah dalam jumlah besar. ”Kelemahannya Samrah itu, musiknya sedikit, rekamannya sedikit. Pernah LKB merekam tapi terbatas,” keluh Fifi. Sosialisasi juga diperlukan guna lebih mempopulerkan Samrah seperti pada 1980-an. Kala itu Samrah cukup bergensi. Pelatihan-pelatihan juga amat diperlukan mengingat lagu-lagu Samrah adalah lagu-lagu lama. “Karena dipelajarinya juga agak susah,” jelas Fifi.
Terkait tujangan material, pemerintah sempat memberikan bantuan kepada sanggar-sanggar. “Pada zaman rudi saleh (ketua LKB tahun 1980-red) ada Rp50.000 tiap bulan. Sekarang sudah tidak ada”, ungkap Ali. Sedangkan menurut Fifi, tunjangan yang diberikan berupa dana akhir tahun. Dia mendapat Rp250.000 dari LKB.
Seketaris Divisi Kajian dan Pengembangan Dinas Pariwisata DKI Endrarti fariani membenarkan ada tunjangan kepada sanggar-sangar sejak tahun 1970. Namun, sejak 2004 dana hibah diberhentikan dengan alasan tidak efektif. Akhirnya dana pengembangan kebudayaan hanya diberikan pada wadah yang menampunya, seperti LKB.
Pemberian tunjangan materi memang bukan jurus jitu menyelesaikan akar masalah. Para seniman membutuhkan keberpihakan dari pemerintah daerah. Mereka membutuhkan politik kebudayaan yang jelas dari pemerintah, baik pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Selain itu, mereka mesti berhadapan dengan realitas sosial yang tak mendukung eksitensi kesenian. Tanpa bantuan pemerintah, para seniman akan sulit berhadapan dengan kebudayaan modern yang dianggap menyingkirkan kebudayaan tradisional.[2]
Ketika kondisi ini yang terjadi, maka tak heran jika para seniman mengeluarkan berbagai jurus tanpa bentuk. Jurus menerima permintaan penanggap merupakan salah satu jurus yang akhirnya mesti mereka lakukan. Padahal, disatu sisi para seniman ingin menjunjung tinggi nilai dan pakem kesenian yang diusungnya.
Pun begitu juga dengan upaya melebarkan sayap. Upaha melebarkan sayap dengan turut menampilkan kesenian lain ialah upaya negosisi yang juga punya dampak. Kita mungkin tidak akan mendengar lagi nama-nama besar yang lahir dan dikenal  sebagai seniman Samrah.
Aksi-aksi taktis dan praktis yang dilakukan para seniman Samrah merupakan cara agar mereka dapat bertahan. Mereka tak hanya menghadapi masalah kurang dikenalnya Samrah, tapi mereka juga mengalami masalah dalam hal regenerasi. Regenerasi merupakan pondasi dasar agar suatu kesenian dapat bertahan.
Sabeni pernah mengajak warga untuk turut melestarikan Samrah, ”saya suruh anak-anak muda datang, belajar sama saya.” Ajakan Sabeni tak digubris, harapannya meredup. Hingga kini, grup pimpinannya mayoritas beranggotakan anak dan cucunya. Anaknya, zulbachtiar memainkan gendang, Zulfah jadi penyanyi orkes, dan Nurul Fadilah terkadang menggantikan Sabeni memainkan arkodeon. Cucunya, Abdul hair memetik gitar, Fiffa Septian memainkan tamborin.
Sisanya, tiga orang pemusik di luar keluarganya. Kesulitan regenerasi dirasakan betul oleh sabeni buat mencari penari. Penari yang dulu menarikan tari Samrah di grup Sabeni, kini telah menikah, dan belum ada penggantinya.
“Memang hampir rata-rata polanya kekeluargaan. Karena memang mereka kesulitan mensosialisasikan ini kepada masyarakat sekitar jadi tentunya keluarganya dulu yang diperkenalkan,”ujar Rudi haryanto.
Renegerasi melalui keluarga menjadi satu satu jurus untuk bertahan. Namun, jika jurus ini terus yang dipakai, niscaya jurus ini akhirnya akan tak berbentuk jua. Sebab, jika terus-menerus hanya bertumpu pada keluarga maka ini semakin menandakan bahwa masyarakat kita semakin abai pada kesenian.

NB: essei ini merupakan penulisan kembali dari tulisan reportase.




[1] Meminjam judul novel yang ditulis seno gumira ajidarma: Nagabumi, jurus tanpa bentuk
[2] Disimpulkan dari notulensi diskusi para seniman dengan LKB pada 06 Agustus 2010 dengan tema “eksistensi seni pertunjukan betawi dikampungnye sendiri”.
Tag : ,

Bagai telur di Ujung Tanduk

By : secawan kopi tubruk

Bagai telur di Ujung Tanduk*


Oleh: Citra Nuraini

Ketiadaan jaminan hidup bagi para penggiatnya, ditambah sulitnya regenerasi membuat samrah makin hilang eksistensinya.
           

“Fi bayarin arkodeon saya lima juta,” ucap ali sabeni.
“yah cing, saya sudah punya. Buat apa punya dua. Emang untuk apa cing?” ucap seorang wanita.
“buat berobat,” balas sabeni.
Ali sabeni berniat menjual satu-satunya arkodeon miliknya, alat musik yang biasa menemaninya mencari nafkah, kepada fifi muntaco. Sabeni butuh uang buat berobat. Dia menderita sakit jantung.
Mengharap punya uang banyak dari samrah? Tidak mungkin. Jangankan memiliki tabungan, untuk biaya hidup saja sudah susah. Harga sekali tampil samrah Cuma sekitar 3 sampai 4 juta. Uang tersebut dibagi 10 orang, tiap orang mendapat 300-400 ribu.
Dari uang yang didapat, masih harus dipotong untuk transportasi dan makan. Terlebih panggilan untuk pentastidka menentu, kadnag sebulan hanya beberapa kali tampil atau malah sama sekali tak ada.
Makanya untuk menambal kebutuhan hidup, semasa muda Ali Sabeni juga bekerja sebagai tukang las. “kalau Samrah dijadikan buat penghasilan hidup, tidka cukup,” ujar laki-laki beranak tujuh ini.
Malangnya, kini sabeni telah berusia 77 tahun. Ia sudah lemah untuk bekerja, panggilan untuk pentas pun jarang didapat. “sekarang belum tampil-tampil, sudah tua tidak ada yang menyentuh (memperhatikan-red),” ujar sabeni.
Padahal keinginan berkesenian sabeni tidak perlu diragukan. Baginya music tidak ada istilah tua muda. Jika masih sanggup, dia akan terus bermusik. Istrinya, sutinah malah sering jengkel melihat kondisi sabeni. “saya sakit hati, saya bilang sini pak alat musiknya dijual. Tidak ada yang memperhatikan. Biar hilang saja samrah, habis,” geramnya.
Walau tak serupa, tapi nasip susahnya jadi seniman juga dirasakan fifi muntaco. Perempuan berumur 44 tahun ini satu-satunya anak firman muntaco yang mau meneruskan samrah.
“waktu itu, tahu-tahu udah berkumpul kakek-kakek dirumah. Kata bapak itu pemain samrah, kemudian jadi group,” kenang fifi. Pada 12 januari 1992, firman meninggal. Tampuk kepemimpinan sanggar dipimpin fifi hingga kini, yang sebelumnya diberi nasihat untuk membesarkan samrah. “Bapak berpesan setelah tampil di acara salam canda di TVRI bulan Oktober 1991,” tambahnya.
Sialnya, usaha untuk mempertahankan samrah malah ditentang zaman. Samrah yang didominasi lagu melayu jadi kurang popular buat masyarakat kini. “Pernah ada yang bilang tarifnya jangan mahal-mahal karena lagunya tidka dikenal. Makanya, kami juga fleksibel bisa lagu dangdut atau pop,”tambah fifi.
Lagu pengiring orkes samrah berupa lagu-lagu melayu tahun 50-an hingga 60-an. Cirri tempo lagu masa itu cenderung lebih lambat. “kaya lagu Jembata pate, tidak enak dinyanyikan. Orang pada ngantuk mendengarnya,” tutur fifi. Alat musinya pun sulit dimainkan, arata-arata bernada minor, yang menghasilkan irama lambat.
Demii mempertahankan hidup, kini para penggiat samrah harus putar otak. Sanggar fifi sendiri akhirnya menyediakan pertunjukan lain seperti hadroh (kesenian rebana), palang pintu (tradisi penyembutan calon pengantin dalam adat pernikahan betawi), tanjidor, organ tunggal. Pembuatan ondel-ondel dan makanan betawi pun dikerjakannya.
“kerja saya serabutan. Semua saya kerjakan, yang penting bisa dapat uang. Akhirnya berbagai hal kita layani agar dapat terus hidup,” ujar permepuan kelahiran tahun 67 ini.
Sebagaimana layaknya mempertahankan kesenian tradisional, samrah juga menghadapi masalah regenerasi. Sabeni pernah mengajak warga untuk turut melestarikan samrah, ”saya suruh anak-anak muda dating, belajar sama saya.”
Ajakan Sabeni tak digubris, harapannya meredup. Hingga kini, group pimpinannya mayoritas beranggotakan anak dan cucunya. Anaknya, zulbachtiar memainkan gendang, Zulfah jadi penyanyi orkes, dan NurulFadilah terkadang menggantikan Sabeni memainkan arkodeon. Cucunya, Abdul hair memetik gitar, fiffa septian memainkan tamborin.
Sisanya, tiga orang pemusik di luar keluarganya. Kesulitan regenerasi dirasakan betul oleh sabeni buat mencari penari. Penari yang dulu menarikan tari samrah di group sabeni, kini telah menikah, dan belum ada penggantinya.
“memang hamper rata-rata polanya kekeluargaan. Karena memang mereka kesulitan mensosialisasikan ini kepada masyarakat sekitar jadi tentunya keluarganya dulu yang diperkenalkan,”ujar Rudi haryanto.
Fifi lebih giat mencari regenerasi. “bareng teman-teman, saya cari anak-anak muda yang suka music,” cerita fifi. Bahkan, dalam perekrutan, dia mensyaratkan minimal orang yang mau bergabung bisa memegang dua jeis alat music. “Merekrutnya dari temen, guru music, keluarga, ada juga anggota yang bawa orang,” paparnya.
Ada juga orkes Samrah pimpinan Widya. Awalnya group samrah yang anggotanya didominasi pemuda memang berniat mempertahankan samrah. Namun belakangan sanggar pelangi turut menampilakn kesenian betawi lain seperti gambang kromong. Alasannya sama, kesulitan financial. “kalau tidak ada kerjaan, saya ngamen. Jadi seniman budaya itu miskin,” tutur malih, anggota snaggar pelangi.
Samrah kian surut. Padahal eksistensi samrah, tonggak kehidupan para pengiatnya dan demi mempertahankan budaya local. Namun, melebarkan sayap diluar samrah, justru melunturkan eksistensi samrah. “kalau ada jaminan dari pemda, senimandaerah bisa totalitas di music,” ujar malih.
Tujangan material sempat diberikan pemerintah kepada sanggar-sanggar. “Pada zaman rudi saleh (ketua LKBtahun 1980-red) ada 50.000 tiap bulan. Sekarang sudah tidak ada, ungkap Ali. Sedangkan menurut fifi, tunjangan yang diberikan berupa dana akhir tahun. Dia mendapat 250.000 dari LKB.
Seketaris Divisi Kajian dan Pengembangan Dinas Pariwisata DKI Endrarti fariani membenarkan ada tunjangan kepada sanggar-sangar sejak tahun 1970. Namun, sejak 2004 dana hibah diberhentikan dengan alasan tidak efektif. Akhirnya dana pengembangan kebudayaan hanya diberikan pada wadah yang menampunya, seperti LKB.
Selain bantuan dana. Ada harapan untuk memproduksi lagu-kagu samrah dalam jumlah besar. ”kelemahannya samrah itu, musiknya sedikit, rekamannya sedikit. Pernah LKB merekam tapi terbatas.,” keluh fifi.
Sosialisasi juga diperlukan guna lebih mempopulerkan samrah seperti pada 1980-an. Kala itu Samrah cukup bergensi. Pelatihan-pelatihan juga amat diperlukan mengingat lagu-lagu smarah adalah lagu-lagu lama. “karena dipelajarinya juga agak susah,” jelas fifi.
Mengingat samrah bagai telur di ujung tanduk, pemeirntah perlu secepatnya bergerak menyelamatkan marah sebagai usaha pelestarian budaya local. Dan tentunya ketegasan para penggiatnya, untuk tak mendua dan fokus kepada samrah.        

*diterbitkan dalam rubrik seni budaya majalah Didaktika edisi 41
Tag : ,

Dari Tanah Abang Terus Bermetamorfosis

By : secawan kopi tubruk

Dari Tanah Abang Terus Bermetamorfosis*


Oleh: Citra Nuraini

Ketiadaan pakem dan tuntutan zaman memaksa samrah terus mengubah bentuknya.

Sabtu siang, pukul 12.00, gerimis membasahi Jalan Manunggal XVII. Disebuah rumah berukuran 15x4 meter, bernomer 35, bercat putih, seorang laki-laki membaringkan badannya di karpen merah kemang-kemang. Suara orang mengaji terdengar dari saluran radio khusus orang Betawi, radio Rodja. Seorang wanita menghampiri laki-laki tersebut dan membangunkannya, “Pak-pak, ada tamu.”
Laki-laki itu bangkit, tersenyum dan mengenakan peci hitam. Menutupi rambut hitamnya. Sarung kotak-kotak melengkapi baju koko panjang merah muda yang sedikit acak-acakan ditubuhnya. Laki-laki ini bernama Ali Sabeni. Laki-laki kelahiran tahun 1934 ini merupakan pemain samrah tertua yang masih hidup.
“Tahun ’60-an, saya sedang giat-giatnya bermain musik. Terus saya bertemu keluarga bekas pemain samrah tahun ’20-an, orang tua generasi kedua. Katanya bikin ini musik namanya samrah. Ini musik asli Tanah Abang. Nah itu awalnya samrah,” ungkap Sabeni.
Samrah dilahirkan di Tanah Abang pada abad 18 awal. Kala itu, Tanah Abang meruakan pusat perdagangan para pendatang dari Cina, melayu, India, Arab, Pakistan, dan Malaya. Di Tanah Abang, para pendatang tak cuma berdagang. Mereka menetap dan berbaur dengan masyarakat pribumi. Embrio membentuk kelompok musik muncul ketika anak muda Betawi beserta tetangganya dari Arab, Melayu, dan India berkumpul dan bermusyawarah.
Kelompok musik ini mereka namakan samrah. Nama samrah diambil dari bahasa arab ‘samarokh’ yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Kata ‘samarokh’ diucapkan oleh orang Betawi menjadi ‘sambrah’ atau yang lebih dikenal ‘samrah’.
Dengan niat membentuk kelompok musik, mulailah mereka membawa alat musik dari negaranya masing-masing.   Orang Betawi membawa gendang calte, malaka, dan tamborin. Lalu, orang Arab membawa ols, orang Melayu membawa fiur atau biola, dan orang India membawa harmonium.
Mereka menyajikan lagu-lagu yang sifatnya berbalas pantun. Pengaruh melayu yang kuat kala itu membuat lagu pengiringnya menggunkaan lagu melayu. Seperti Lagu Anak Ikan, Anak raja Turun Beradu, dan sebagainya.
Agar lebih menarik, orkes ini turut menghadirkan penari. Tari samrah bisa dilakukan berpasangan atau perorangan. Gerakannya mirip tari melayu yang mengandalkan langkah kaki dengan lenggang yang berirama, posisi membungkuk, dan jongkok.
Bedanya, tari samrah punya gerakan salawi, yaitu jongkok hampir seperti duduk bersila. Salawi lebih dari sekedar membugkuk, sehingga membutuhkan keterampilan sendiri. Biasanya penari samrah turun berjoget dengan diiringi orkes samrah dan nyanyian seorang biduan. Iramanya pun bisa lembut dan cepat.
Kedua kesenian ini sering dipentaskan pada pernikahan Betawi yang mengenal tradisi malam mangkat dan maulid. Di malam itulah para undangan berkumpul untuk mendengarkan pembacaan maulid Al-barjanzi. Setelah itu, mereka mementaskan music dan tari dilanjutkan dengan cerita.
Kala itu, cerita dibacakan oleh penonton atau tamu undangan. Sebagai hiburan dan hobi saja. Jadi sifatnya spontan. Makanya, petunjukan dapat dilakukan diatas panggung maupun tanpa panggung, yakni hanya dengan pentas berbentuk arena sesuai dengan keadaan tempat.
Pun dengan kostum, di betawi, orang biasa dating menggunakan jas, kain plakat, dan peci saat menghadiri pernikahan. Pakaian itu yang kemudian menjadi seragam utama.
Tak cukup bermusik dan menari para pemainnya juga turut membuat tonil samrah demi menyempurnakan kesenian Samrah. Tonil ini merupakan pengembangan dari teater bangswan yang disebut Durmuluk. Durmuluk berasal dari melayu riau dengan cerita shibulhikayat dan komedia stambul.
Lengkaplah kesenian samrah berisi musik, tari, dan tonil. Orkesnya ideal beranggotakan 10 orang, 8 pemain musik dan 2 penyanyi. Sedangkan tari samrah dan tonil samrah tidak mempunyai pakem.
Walaupun demikian, samrah hanya berisi lelaki. Pengaruh islam yang kuat pada masyarakat betawi tengah membuat permeuan dianggap haram berkumpul dengan lelaki, terlebih berkesenian.
Dari Tanah Abang, Samrah terus berkembang ke daerah Betawi tengah lainnya. Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar, dan Petojo. Uniknya, orkes Samrah mampu berdiri sendiri, sedangkan tari Samrah dan Tonil samrah tidak bisa ditampilkan tanpa irama orkes Samrah.
Selama perkembangannya, samrah tak selalu mulus. Pada 1940-an, masa pendudukan Jepang sempat jadi batu kerikil. Pemerintah kolonial jepang bersifat represif terhadap pribumi, tak terkecualkarena nilai keagamaan di Betawi i Samrah.
Pada 1950-an, samrah muncul kembali dan memulai metamorfosisnya. Dimulai dengan dominasi harmonium pada orkes samrah. Selain itu, permepuan mulai ambil peran dalam samrah, karena nilai keagamaan di Betawi kala itu lebih beragam.
Tak berhenti sampai disana, makin kuatnya pengaruh kebudayaan melayu di nusantara membuat samrah lebih dikenal sebagai orkes melayu. Namun, penggunaan harmonium mulai jarang, karena sulit didapat. Alternatifnya, digunakanlah arkodeon. “Teman-teman samrah sekarang ini tidka memakai harmonium tapi arkodeon, yang suaranya hamper mirip,” ungkap Rudi Haryanto, Kepala Bagian Pengembangan Kebudayaan Betawi (LKB).
Makin berkembangnya kondisi Jakarta juga terus membuat samrah bermetamorfosis. Orkes samrah tak lagi menggunakan lagu melayu, melainkan bahasa betawi dengan beragam dialek. Bentuk seperti ini membuat nama orkes samrahkembali lebih popular ketimbang orkes melayu.
Walaupun demikian, kini dalam pementasan samrah, group yang masih bertahanpunya pilihan sendirisebagai lagu pengiring. Ali sabeni menilai, lagu-lagu pengiring music samrah ialah lagu-lagu melayu tinggi. “itu kan lagu-lagunya melayu lama, orang betawi lama. Jadi kalao orang tanah abang dialeknya kaya orang melayu,” ujar Ali sabeni.
Pendapat berbeda disampaikan Fifi Muntaco, anak Firman Muntaco salah satu seniman Samrah yang terkenal pada masa jayanya. Music samrah memiliki lagu pengiringnya tersendiri. Lagu-lagu itu memiliki dialek melayu betawi tersendiri, berbeda dengan dialek melayu tinggi. baginya, musik samrah dengan dialek melayu tinggi lebih mirip orkes melayu. “Kalau menurut ajaran orang tua saya. Itu bukan samrah. Itu music melayu. Walau samrah pengaruhnya dari melayu, itu melayu. Samrah punya music sendiri,” sanggah fifi.
Jika dulu tempo musiknya cenderung lambat dan mendayu-dayu, maka tempo music music dan lagu saat ini lebih cepat. Metamorfosis, disorong oleh perubahan zaman dan ketiadaan pakem bagi samrah.
Group Ali Sabeni yang biasa menyenyikan lagu melayu asli, saat penontonya dari kalangan anak muda, lagu-lagu melayu modern yang bertempo lebih cepat turut dipilihnya. Seperti: Asmara Dewi, bahtera Laju, bayangan, Bimbang ragu, Lembaran Bunga, diambang Sore, Lagu rindu.
Selain dari segi lagu dna tempo music, perubahan juga terjadi pada alat-alat musiknya. Penyesuain juga terjadi karena onderdil alat music produk tua sulit didapat, seperti harmonium yang diganti arkodeon. Kini, group samrah tidak ada yang benar-benar akustik, salah satu alat ada yang menggunakan listik. “sekarang tidak ada yang benar-benar akustik. Pasti ada listrik-listriknya,” ujar fifi.
Dari segi pakaian pementasan pun turut beragam, nama pakaianya jung serong (unjungnya serong). Terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas merah tutup dengan pentolan satu warna dan sepotong kain yang dililitkan dibawah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyembul kebawah.
Sejak awal, smarah memang tak punya pakem. Oleh karena itu, sangat memungkinkan baginya untuk melakukan inovasi dan penyesuaian. Apalagi buat group samrah yang masih bertahan guna bertahan hidup.       

 * Diterbitkan dalam rubrik seni budaya majalah Didaktika edisi 41
Tag : ,

Perebutan Akses dan Kontrol

By : secawan kopi tubruk
Perebutan Akses dan Kontrol

Sumber Daya Alam sebagai basis ekonomi merupakan medan pertarungan dalam memperebutkan akses dan kontrol. Tiga kekuatan yang bertarung: masyarakat, negara, pasar.

Judul = Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasan, dan Politik Ekologi
Penulis = Darmanto dan Abidah B. Setyowati
Penerbit = Kompas Populer Gramedia (KPG)
Tebal = 458 halaman





Sumber Daya Alam (SDA) merupakan salah satu titik vital kehidupan masyarakat. Distribusi keuntungan dari SDA akan selalu diperebutkan oleh beragam aktor. Masyarakat lokal akan berusaha meneguhkan klaim kepemilikan. Namun, bagaimana masyarakat lokal dapat meneguhkan klaim kepemilikan SDA ketika mereka berhadapan dengan negara dan pasar? Tindakan apakah yang mereka lakukan untuk mendapatkan distribusi keuntungan dan untuk tujuan apa?
Buku duet Darmanto dan Abidah B. Setyowati Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan dan Politik Ekologi (KPG, 2012) menggambarkan sketsa realitas itu. Melalui pendekatan etnografi, buku ini melihat secara detail masyarakat adat Siberut sebagai kajian utama. Buku ini memijakkan analisisnya pada teori akses dari Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Pelluso untuk melihat dinamika beragam aktor dalam konstelasi memperebutkan hutan Siberut.
Buku ini menarasikan rumitnya perebutan akses dan kontrol terhadap hutan yang mewujud dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Konsep akses dimaknai sebagai proses siapa mendapatkan keuntungan dari SDA, dengan cara bagaimana dan kapan. Akses ialah ‘bundelan dan jaringan’ yang berisikan makna, proses, dan relasi sosial yang membuat aktor-aktor ‘mendapatkan kemampuan untuk mendapatkan kontrol dan memerihara akses terhadap sumber daya alam’.
Hanya berdasarkan klaim berdasarkan hak atas property (property rights) tidaklah cukup untuk menjamin bahwa sumber daya alam akan jatuh ketangan masyarakat lokal. Kemampuan aktor mendapatkan SDA ditentukan oleh ragam faktor seperti akses terhadap teknologi, modal, pengetahuan, otoritas (politik maupun kultural), serta relasi sosial, yang hidup dalam bundel-bundel dan jaringan kekuasaan. Sehingga tidaklah aneh jika masyarakat Siberut mesti berjuang untuk mendapatkan keuntungan dari hutannya. Dengan teori akses, analisis bisa menghindarkan jebakan simplifikasi relasi pada oposisi biner: negara plus rezim kapitalis hutan versus masyarakat dengan kearifan lokalnya.
Buku ini ingin mengatakan bahwa hubungan antara manusia dan hutan selalu dilandasi oleh masalah produksi dan kekuasaan. Jauh sebelum kolonialisme maupun sebelum terikat dengan pasar yang lebih luas, masyarakat Siberut telah terlibat relasi yang saling menguasai dengan hutan. Dalam kepercayaan lokal, hubungan simbolik manusia dengan hutan berarti juga negosiasi dengan roh-roh yang menguasai hutan. Dalam corak produksi yang subsisten maupun nonsubsisten dan struktur sosial yang egaliter, negosiasi ini berlangsung terus-menerus sehingga bersifat mendua. Namun, disisi lain hutan juga memiliki sisi material yang dibutuhkan untuk keberlanjutan hidup.
Ketengangan antara sisi simbolik dan sisi material hutan ini secara berkesinambungan telah membentuk hutan Siberut menjadi lanskap yang tidak homogen dan tidak bebas dari intevensi manusia. Secara sosial, kekuasaan terhadap hutan berada ditangan setiap uma, sebuah keluarga besar (extended family) yang juga merupakan unit kepemilikan lahan dan sumber daya. Perebutan klaim-klaim kepemilikan hutan antar uma itulah yang sering menimbulkan konflik terus menerus. Dengan corak sosial yang egaliter dan otonom, hubungan kekuasaan antar uma terhadap hutan juga bersifat negosiatif.
Di Siberut, hubungan antara hutan dan penduduknya menjadi berbeda setelah keluarnya UU No.5 tahun 1967b tentang ketentuan pokok kehutanan (UU kehutanan). Setelah adanya UU ini, Orde Baru (Orba) membuka 503 izin konsesi hutan, salah satunya di Siberut. Dengan UU ini, Orba menekankan pembangunan ekonomi, terutama Sumber Daya Alam. Dalam rangka melegitimasi penguasaan atas Siberut, negara mengumumkan seluruh area di Siberut adalah kawasan hutan.
Kehadiran negara dan pasar kepelosok Siberut ini mengguncangkan tatanan kehidupan masyarakat yang sudah ada. Masyarakat Siberut merasa hak kepemilikannya telah dilanggar. Namun, tidak ada perlawanan terbuka. Kecemburuan dimanifestasikan dengan tindakan-tindakkan lokal. Meningkatnya kekuatan pasar dan menguatnya intervensi negara untuk mengatur perdagangan sumber daya hutan telah menggeser pandangan orang Siberut tentang nilai hutan. Hutan ternyata memliki nilai ekonomi tinggi.
Pada 1970-an muncul wacana konservasi di tingkat internasional dan nasional. Pulau Siberut menjadi salah satu tempat yang menjadi sasaran konservasi karena banyaknya laporan mengenai tingginya tingkat keanekaragaman hayati. Secara eksplisit, wacana konservasi mengakui dan menerima hak-hak adat penduduk Siberut dan melihatnya bersesuaian dengan agenda konservasi, sementara wacana eksploitasi pada kutup lain, melihat masyarakat sebagai ancaman. Penduduk Siberut tidak pernah ambil pusing dengan dualitas sikap negara karena sikap mereka sendiri ambivalen. Disatu sisi, orang-orang Siberut menerima wacana konservasi beserta progamnya, disatu sisi mereka tetap merambas hutan.
Pasca Orba, kenyakinan dan klaim orang Mentawai sebagai pemilik tanah dan hutan meningkat kuat dan membuat mereka menuntut klaim negara atas kepemilikan tanah. Kebijakan desentralisasi dari Jakarta telah membuat kepulauan Mentawai mendapatkan otonomi sebagai kabupaten yang telah lama mereka perjuangkan. Otonomi ini menguatkan identitas bersama dan meningkatkan kepercayaan diri orang Mentawai ketika berhadapan dengan komponen dari luar pulau.
Adanya kebijakan desentralisasi serta menguatnya jaringan LSM dan masyarakat sipil lainnya, serta pengakuan global terhadap masyarakat yang mengalami marginalisasi akibat proses modernisasi, membawa wacana indigenous people (masyarakat adat). Kebijakan desentralisasi memungkinkan mereka membuka akses penduduk lokal membangkitkan identitas sebagai masyarakat adat.
Dalam perkembangannya, masyarakat Siberut belajar untuk melihat posisinya sendiri dalam kebijakan negara dan juga wacana yang berkembang di tingkat regional maupun global. Orang Mentawai di Siberut perlahan menjadi lebih sadar tentang berbagai dampak pembangunan dan mulai merasa bahwa kebijakan negara kadang-kadang merugikan mereka. Kondisi ekonomi politik baru menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Mentawai tentang dominasi sasareu (pendatang). Identitas kolektif sebagai sebuah kesatuan atas nama Mentawai muncul dari perasaan tertekan itu.
Sehingga, orang Siberut secara aktif mengartikulasi wacana hak-hak adat untuk memperbesar mereka membangun alinasi yang lebih luas dan meningkatkan posisi tawar ketika berhadapan dengan kekuasaan luar yang lebih kuat. Orang Siberut memiliki penafsiran terhadap makna adat yang berbeda dengan para konservasionis dan aktivis LSM. 

Cara memandang masyarakat
Pada kenyataannya, meskipun pengaturan negara, rezim kayu, dan program konservasi senantiasa mengganggu tatanan masyaraat Siberut, masyarakat Siberut tidak serta-merta melawannya secara kolektif, terorganisir, dan tunggal. Di tengah dominasi aktor-aktor luar itu, masyarakat Siberut melancarkan proses negosiasi yang mewujud dalam sikap melawan sekaligus akomodasi. Dalam negosiasi itu, masyarakat Siberut mengalami diaspora, sikap-sikap ambivalen, inkonsisten, bahkan bertentangan. Dulu teriak tolak pertambangan kayu, kini membelanya. Sekarang menolak konservasi, padahal dulu mendukung. Dulu aktif di LSM pembela hak masyarakat adat menolak penambangan kayu, sekarang jadi karyawan tambang.
Mereka menerima program konservasi dan menjual lahan hutannya kepada penambang kayu sekaligus tetap menerabas dan membuka ladang di sana. Mereka tidak sepenuhnya melawan negara karena mereka menggantungkan janji-janji pembangungan dengan segala fasilitasnya. Dari perusahaan kayu, mereka bisa mengantongi uang tunai dengan penjualan hutan. Dari LSM, identitas adat mereka terlegitimasi untuk tetap mengklaim kepemilikan hutan.
Aksi, strategi, dan taktik untuk meraih akses dan kontrol atas hutan terkesan acak, tidak patuh, oportunis, dan egois. Semua itu dinilai semata-mata demi mencapai kehidupan yang lebih baik (modern): makan nasi, punya kendaraan bermotor, televisi dan bersekolah tinggi.
Buku ini, melawan pemikiran bahwa masyarakat adat adalah sekelomok manusia ‘murni’, bijak dan arif, menjaga harmonisasi dengan alam, jauh dari peradaban modern, cenderung religius, dan memiliki kearifan lokal. Paradigma ini hanya ada dianggan-angan kita, karena kita memandangnya dari jarak jauh.
Kita selalu memandang suatu masyarakat hanya dari paradigma jarak jauh. Tidak ada perbedaan sikap antara kalangan aktivis dan pemerintah dalam melihat Siberut. Keduanya sering menyederhanakan masalah dalam membahas isu konservasi sebagai isu ekonomi politik, para aktivis cenderung berkesimpulan adanya masalah ‘budaya’ orang mentawai.

Hal ini merefleksikan bahwa bukannya orang luar yang harus menerima relitas masyarakat yang terus berubah-ubah akibat ketidakpastiaan kondisi hidup dan menerima kenyataan itu sebagai dasar atau pengetahuan baru. Akan tetapi, masyarakatlah yang harus sesuai dan dicocokan dengan konstruksi dari luar, baik atas nama konservasi maupun pembangunan.


Tag : ,

- Copyright © Secawan Kopi Tubruk - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -